NovelToon NovelToon
Pahlawan Tanpa Bakat

Pahlawan Tanpa Bakat

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Sistem / Mengubah Takdir / Kebangkitan pecundang / Epik Petualangan
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Bayu Aji Saputra

Lahir di sebuah keluarga yang terkenal akan keahlian berpedangnya, Kaivorn tak memiliki bakat untuk bertarung sama sekali.

Suatu malam, saat sedang dalam pelarian dari sekelompok assassin yang mengincar nyawanya, Kaivorn terdesak hingga hampir mati.

Ketika dia akhirnya pasrah dan sudah menerima kematiannya, sebuah suara bersamaan dengan layar biru transparan tiba-tiba muncul di hadapannya.

[Ding..!! Sistem telah di bangkitkan!]

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bayu Aji Saputra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Misi Harian

Keesokan harinya, udara pagi yang segar menyelimuti lapangan latihan.

Kabut tipis perlahan terangkat, memperlihatkan luasnya arena yang terbentang di hadapan Kaivorn.

Amon berdiri tegap di sampingnya, memerhatikan dengan mata dingin dan penuh perhitungan.

Kaivorn sendiri berdiri di sana, menatap kosong ke depan.

"50 putaran," gumam Kaivorn dalam hatinya, memandang lapangan yang luas, "ini gila."

Langkah pertamanya terasa seperti rintangan yang sudah sulit dilewati.

Tubuhnya yang kurus dan lemah terasa seolah menolak perintahnya untuk bergerak.

Otot-otot yang belum terbiasa dengan aktivitas berat langsung merespon dengan perih di tiap langkah.

Sementara itu, Amon berdiri tak jauh darinya, matanya tidak lepas dari gerakan Kaivorn.

Tak ada tanda-tanda belas kasihan dari ekspresi wajahnya, hanya tatapan yang memancarkan keyakinan bahwa pemuda di depannya harus melewati batas fisiknya sendiri, atau hancur di tengah jalan.

"Satu langkah, dua langkah..." Kaivorn mencoba menghitung di dalam kepalanya, berharap hitungan itu bisa mengalihkan pikirannya dari rasa lelah yang mulai menyergap."Hanya 50 putaran. Aku bisa... mungkin bisa."

Namun baru setelah beberapa puluh meter, dia bisa merasakan kekurangan tubuhnya dengan sangat jelas.

Nafasnya mulai memburu, dan dada yang tadinya tenang mulai terasa berat.

Keringat mulai mengalir, meski matahari belum sepenuhnya naik.

Udara pagi yang dingin seperti tak mampu menenangkan panas yang perlahan membakar tubuhnya dari dalam.

"Kenapa aku setuju dengan ini?" pikirnya sambil melanjutkan lari kecil yang terasa seperti maraton panjang. "Tubuhku bahkan tidak siap. Ini bodoh. Ini... terlalu banyak."

Langkah-langkahnya semakin berat, dan jarak yang ditempuhnya terasa lebih jauh dari kenyataan.

Setiap kali kaki Kaivorn menapak tanah, ada rasa sakit yang menjalar dari telapak kakinya hingga ke lutut.

Otot-otot yang belum terbiasa bekerja keras mulai menegang, dan detak jantungnya mulai tak terkendali.

"Aku bisa berhenti sekarang," bisiknya dalam hati, setengah berharap Amon akan mendengarnya dan menyuruhnya berhenti. "Siapa yang akan tahu? Amon tahu aku lemah. Semua orang tahu aku lemah. Apa gunanya semua ini?"

Namun, setiap kali pikiran itu muncul, Kaivorn melihat sosok Amon berdiri di pinggir lapangan, memperhatikannya tanpa sepatah kata.

Tatapan ksatria itu seperti tombak tak kasat mata yang menusuk langsung ke dalam benaknya. "Aku tidak bisa menyerah sekarang, tidak di depannya."

Satu putaran akhirnya selesai.

Namun, alih-alih merasa lega, Kaivorn justru merasa putaran itu hanya awal dari penderitaan yang jauh lebih panjang.

Kakinya mulai terasa berat seperti timah, setiap langkah seperti usaha untuk menyeret diri sendiri melalui pasir tebal.

"Satu dari lima puluh," batinnya. "Aku belum melakukan apa-apa, aku bahkan belum mencapai setengah dari latihan ini."

Detik-detik terasa seperti menit, menit-menit terasa seperti jam.

Kaivorn terus berlari, meskipun setiap langkah semakin lambat.

Nafasnya semakin berat, dan paru-parunya terasa terbakar.

Keringat mulai mengalir lebih deras, membuat bajunya basah dan lengket di tubuh kurusnya.

"Aku tidak bisa melakukannya," pikir Kaivorn, hampir terjatuh saat kakinya tersandung sedikit batu.

Dia berhasil menjaga keseimbangan, tetapi kesadarannya terus berperang dengan rasa putus asa. "Tubuhku terlalu lemah, ini bukan latihan untukku. Apa yang dipikirkan Amon?"

Di tengah rasa sakit yang semakin menjadi, Kaivorn mulai memperhatikan hal-hal kecil di sekitarnya.

Kabut yang mulai menghilang, suara kicau burung yang terdengar di kejauhan, bayangan pepohonan yang memanjang di pinggir lapangan.

Semua itu seakan menjadi pengalih perhatian dari penderitaan fisiknya.

Namun, tak lama kemudian, pikirannya kembali pada kenyataan.

Amon masih berdiri di sana, memerhatikannya dengan tenang.

Kaivorn tahu bahwa dia tak bisa berhenti. "Aku harus melanjutkan... aku harus terus bergerak."

Putaran demi putaran dilalui, namun tubuh Kaivorn semakin menjerit kesakitan.

Setiap kali kakinya menyentuh tanah, otot-ototnya terasa seperti robek, sendi-sendinya seperti akan terlepas.

Rasa mual mulai menggelayut di perutnya, dan kepalanya mulai berputar. "Apa ini layak? Apa ini yang harus dilakukan seorang pahlawan? Hanya untuk berlari seperti orang bodoh?"

Di tengah kebingungannya, suara dingin Amon tiba-tiba terdengar dari pinggir lapangan. "Lambat. Teruskan. Jangan berhenti."

Kata-kata itu sederhana, namun seperti cambuk yang membuat Kaivorn tak punya pilihan selain melanjutkan.

Tak ada simpati, tak ada kata-kata penghibur—hanya perintah dingin yang memaksanya melewati batas.

Kaivorn mengatupkan giginya, mencoba mengabaikan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya.

"Amon benar," pikirnya dalam hati. "Jika aku ingin menjadi pahlawan, aku harus melewati ini. Aku harus membuktikan bahwa aku lebih dari sekadar 'Talentless Vraquos'."

Namun, meski tekadnya kuat, tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda menyerah.

Nafasnya semakin terengah-engah, dan pandangannya mulai kabur.

Kaivorn bisa merasakan jantungnya berdetak tak beraturan, seolah-olah tubuhnya tak sanggup lagi memompa darah dengan cukup cepat untuk mengikuti tuntutan fisiknya.

Di tengah penderitaannya, dia mulai berpikir tentang hidupnya sejauh ini.

Sejak kecil, Kaivorn selalu dikucilkan karena dirinya yang tak memiliki bakat untuk bertarung sama sekali.

Semua orang di sekitarnya memandangnya remeh karwna fisiknya, dia selalu di bawah rata-rata.

Tubuhnya kurus, otot-ototnya lemah, dan dia sering sakit. "Apa gunanya pikiran yang brilian jika tubuhku lemah?" pikirnya pahit.

Rasa frustrasi itu terus menggerogoti pikirannya saat dia berjuang untuk menyelesaikan putaran kedua.

Di satu sisi, dia tahu bahwa Amon benar—tubuh yang lemah tidak akan pernah bisa membawa pedang di medan perang.

Namun, di sisi lain, dia merasa marah.

Marah pada dirinya sendiri karena kelemahannya, marah pada Amon karena memberinya latihan yang tampaknya mustahil, dan marah pada dunia karena menuntut terlalu banyak darinya.

"Ini gila," pikirnya lagi. "Tak ada gunanya. Tubuhku tak dibuat untuk ini."

Namun, di saat yang sama, ada suara kecil di dalam dirinya yang terus memaksa. "Lanjutkan. Jangan berhenti. Ini mungkin satu-satunya cara."

Putaran ketiga dimulai dengan lebih lambat dari sebelumnya.

Kaivorn hampir menyeret kakinya di sepanjang lapangan, setiap langkah terasa seperti beban yang tak tertahankan.

Namun, meskipun tubuhnya ingin menyerah, pikirannya menolak untuk berhenti.

"Aku harus membuktikan bahwa aku bisa," pikirnya, meskipun setiap sel di tubuhnya berteriak sebaliknya. "Aku harus menunjukkan bahwa aku bukanlah seseorang yang tak berbakat sama sekali, setidaknya aku bisa mengubahnya dengan kerja keras."

Di kejauhan, Amon tetap diam, memperhatikan dengan saksama.

Ksatria suci itu tak mengatakan apa pun lagi, namun kehadirannya yang tenang dan teguh seolah menjadi pengingat bagi Kaivorn bahwa tak ada jalan keluar kecuali melanjutkan.

Ketika putaran keempat dimulai, Kaivorn merasa hampir pingsan.

Nafasnya semakin pendek, dan keringat menetes dari wajahnya seperti hujan deras.

Dunia di sekelilingnya mulai memudar, hanya menyisakan suara detak jantungnya yang menggema di telinganya.

"Aku... tidak bisa lagi," batinnya. "Tubuhku tak akan bertahan. Ini... terlalu berat."

Namun, meskipun rasa sakit itu semakin menjadi, Kaivorn menolak untuk berhenti. "Aku tak boleh menyerah. Aku tak boleh menyerah."

Di putaran kelima, Kaivorn akhirnya terjatuh. Kakinya menyerah, dan tubuhnya jatuh ke tanah.

Dia merasakan bumi dingin di bawahnya, namun rasa sakit di otot-ototnya lebih menyakitkan daripada kejatuhan itu sendiri.

Amon berjalan mendekatinya, namun tak ada belas kasihan di matanya.

Dia hanya berdiri di samping Kaivorn, menatap pemuda itu dengan ekspresi datar.

"Bangkit," kata Amon. Suaranya terdengar tenang, tetapi penuh otoritas. "Lanjutkan."

"Aku... aku tak bisa," Kaivorn terengah-engah, seluruh tubuhnya bergetar karena kelelahan. "Tubuhku... terlalu lemah."

Amon menatapnya dingin. "Tubuh yang lemah hanya sementara. Namun tekad yang lemah, itu selamanya."

Kata-kata itu menusuk Kaivorn lebih dalam daripada rasa sakit fisiknya.

Dia mengatupkan giginya, berjuang untuk bangkit.

Tubuhnya menolak, tetapi pikirannya memaksanya berdiri.

Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, dia bangkit dari tanah.

"Aku akan melanjutkan," katanya, meskipun suaranya lemah. "Aku... akan melanjutkan."

Dan dengan langkah tertatih-tatih, Kaivorn melanjutkan larinya.

Setiap langkah adalah perjuangan, namun dia menolak untuk berhenti.

Kaivorn mulai berlari lagi, atau setidaknya mencoba.

Langkah-langkahnya tak lagi selincah ketika dia memulai putaran pertama.

Kini, setiap gerakan seolah harus melalui hambatan tak terlihat, seperti berlari di tengah lumpur yang dalam.

Otot-otot kakinya bergetar, hampir menyerah di setiap hentakan.

Meski tubuhnya menolak untuk melanjutkan, pikiran Kaivorn memaksa setiap ototnya untuk tetap bergerak.

"Aku tak bisa berhenti," pikirnya berulang-ulang, seakan-akan kalimat itu menjadi mantra yang menjaga langkahnya tetap stabil. "Jika aku berhenti sekarang, aku tak akan pernah bisa melakukannya."

Rasa sakit di lututnya semakin menjadi.

Setiap hentakan kaki di tanah mengirimkan gelombang rasa nyeri yang menjalar hingga ke pinggulnya.

Kaivorn bisa merasakan betapa tidak siapnya tubuhnya untuk latihan sekeras ini.

Jantungnya berdebar kencang, hampir melompat keluar dari dadanya, dan paru-parunya terasa terbakar oleh udara yang ia hirup dengan terengah-engah.

Dia merasakan keringat mengalir deras di wajah dan lehernya, menciptakan aliran kecil yang membasahi pakaiannya.

"Apa aku akan mati di sini?" pikir Kaivorn, setengah bercanda namun penuh ketakutan. "Apakah ini akhirnya?"

Namun, di balik semua rasa sakit dan kelelahan, ada rasa bangga yang perlahan mulai tumbuh di dalam dirinya.

Meskipun tubuhnya terus-menerus berteriak untuk berhenti, dia tetap bergerak.

Setiap langkah yang ia ambil, sangat lemah dan lambat.

"Aku bisa melakukannya," pikirnya, meski hanya setitik keyakinan yang tersisa. "Aku pasti bisa."

Di sisi lapangan, Amon masih berdiri tegap, memperhatikan tanpa ekspresi.

Matanya tak pernah lepas dari Kaivorn, seolah menilai setiap langkah, setiap usaha yang dilakukan pemuda itu.

Dia tahu betul apa yang sedang terjadi. "Tubuhnya sangat lemah," pikir Amon. "Namun mentalnya di atas rata-rata."

Kaivorn melirik sekilas ke arah Amon.

Tatapan ksatria suci itu menembus dirinya seperti pedang, dingin dan tanpa emosi.

"Apa dia tidak peduli seberapa lelah aku," pikir Kaivorn dengan getir.

Putaran keenam dimulai.

Langkah Kaivorn semakin lambat, lebih menyerupai jalan cepat ketimbang lari.

Kepalanya mulai berputar, dan pandangannya sedikit kabur.

Dia tidak tahu berapa lama lagi dia bisa bertahan, tapi dia tahu satu hal—dia tak boleh berhenti.

Dia tak akan membiarkan Amon, atau siapa pun, melihatnya jatuh sebelum dia benar-benar mencapai batasnya.

"Kenapa aku melakukan ini?" pikir Kaivorn, mencoba mencari alasan yang masuk akal di tengah penderitaannya. "Apa yang aku buktikan? Siapa yang peduli apakah aku bisa berlari atau tidak? Aku sudah cukup pintar... bukankah itu cukup?"

Namun, dalam hatinya, dia tahu jawabannya. Ini bukan tentang orang lain.

Ini tentang dirinya sendiri.

Seumur hidupnya, dia hidup di bawah bayang-bayang kebesaran keluarga dan ekspektasi orang-orang di sekitarnya.

Dia selalu anggap remeh karena bakatnya, tidak pernah dianggap cukup kuat untuk menjadi seseorang yang di anggap.

Sekarang dia dipilih oleh para dewa, tetapi bahkan itu terasa seperti beban yang tak tertahankan, bukannya kehormatan.

"Aku harus berubah," pikirnya dengan kepalan tangan yang gemetar.

Langkahnya terus tertatih-tatih, dan ketika ia mencapai putaran ketujuh, tubuhnya benar-benar terasa kosong.

Kelelahan kini bukan lagi hanya fisik, tetapi juga mental.

Kepalanya penuh dengan keraguan, pertanyaan, dan rasa putus asa yang membebani setiap keputusan yang ia ambil.

Ada dorongan kuat untuk menyerah, duduk di tanah, dan menerima bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan fisik untuk latihan semacam ini.

Namun, setiap kali pikiran itu muncul, ia mengingat satu hal: Amon.

Amon, dengan sikap dinginnya. Amon, dengan keyakinan tak tergoyahkan bahwa Kaivorn harus melewati semua ini.

"Jika dia percaya bahwa aku bisa melakukannya," pikir Kaivorn, "maka aku tidak punya pilihan selain mempercayai diriku sendiri."

Di putaran kesembilan, Kaivorn mulai mendengar suara detak jantungnya di telinga.

Nafasnya terdengar seperti deru mesin rusak, berat dan tak beraturan.

Setiap kali kakinya menyentuh tanah, ia merasa seperti akan jatuh.

Bahkan dalam langkah lambatnya, tubuhnya kini lebih mirip boneka yang dipaksa bergerak.

Tapi entah bagaimana, ia terus berjalan. Langkah demi langkah.

Tiba di putaran kesepuluh, tubuh Kaivorn benar-benar di ambang batas.

Pandangannya mulai kabur, setiap suara terdengar seperti jauh dan bergema.

Keringat yang mengucur deras sudah tak lagi membuatnya merasa dingin, melainkan panas.

Udara yang ia hirup seolah tak cukup mengisi paru-parunya yang sesak.

Dan akhirnya, ia berhenti.

Kaivorn terjatuh ke lututnya, tangan jatuh lemah ke tanah berdebu.

Napasnya terputus-putus, dan jantungnya berdebar sangat keras, hampir menyakitkan.

Pandangannya kabur, dunia di sekelilingnya berputar.

Dia tahu bahwa tubuhnya sudah mencapai batasnya—lebih dari yang bisa ia bayangkan.

Namun, meski terbaring di tanah dengan tubuh yang lemah, ada sedikit rasa bangga di dalam dirinya. "Aku sudah mencoba," pikirnya dengan lemah. "Aku sudah melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan."

Amon mendekat, dan Kaivorn bisa merasakan kehadirannya meski pandangannya mulai gelap.

Ksatria suci itu tidak mengatakan apa-apa, hanya berdiri di sana, menatap pemuda yang hampir tak sadarkan diri di tanah.

Setelah beberapa saat, Amon akhirnya berbicara, suaranya terdengar dingin namun tegas.

"Anda sudah mencapai batasmu," kata Amon tanpa emosi. "Tapi batas itu hanya awal. Mulai besok, Anda akan melampaui ini. Anda akan berlari lebih cepat, lebih jauh. Rasa sakit yang Anda rasakan hari ini akan terasa ringan dibandingkan dengan hari-hari yang akan datang."

Kaivorn ingin membalas, tetapi tubuhnya sudah terlalu lelah untuk bergerak, apalagi berbicara.

Ia hanya bisa mendengarkan suara Amon yang terasa jauh, seperti gema di dalam kepalanya.

"Anda akan menjadi pahlawan," lanjut Amon, "dan ini adalah jalannya. Tak ada yang mudah. Tak ada jalan pintas. Setiap langkah yang Anda ambil hari ini adalah pondasi untuk hari esok. Anda akan jatuh lagi, tapi setiap kali Anda bangkit, Anda akan lebih kuat."

Dengan pandangannya yang kabur, Kaivorn hanya bisa merenungi kata-kata Amon.

Meski tubuhnya lemah dan kelelahan, ada dorongan di dalam hatinya yang mulai muncul.

Dorongan untuk bangkit lagi.

Dorongan untuk terus melangkah, meskipun jalannya panjang dan penuh rasa sakit.

"Aku akan melanjutkan," pikir Kaivorn dengan tekad yang tumbuh. "Aku tak akan menyerah."

Dan dengan itu, ia tertidur di atas tanah, sementara Amon berdiri di sampingnya, seperti penjaga yang memastikan bahwa Kaivorn akan siap untuk hari berikutnya.

1
azizan zizan
di awal rasa sombong bila di beri latihan nah malah tak mampu...cieehhh sampah..
Igris: wkwkwk
total 1 replies
azizan zizan
lah mau tulis pengsan aja ayatnya bertele tele..iesshhh......
𝐉𝐚𝐬𝐦𝐢𝐧𝐞<𝟑
LUCU BNGTTT😭😭
Thinker: lucuan km g si?
total 1 replies
Callian
menurut gua kwsimpulannya gini, Kaivirn pura pura bodoh dari kecil karena dya gapunya bakat buat bertarung, lalu dya mendapatkan sistem yang bikin dya mikir klo dya gaperlu pura pura bodoh lgi(gua mikir gini karena dya nanya ke sistem dlu). ini juga terlihat di bab awal sekitar chptr 1-2 Kaivorn teelihat kek anak kecil polos yang penakut, tapi berubah ketika situasi genting(ketika dya lawan pembunuh—dya jdi bisa nguasain situasi dengan baik). trus kecerdasannya juga udh di tunjukkin di chpter "profil", yang jauh melampaui maid ama kakaknya.
Ray
lah bisa gitu
Ray
yahhhh tumbang
CBJ
BISA BISANYA?!!
Ray
awalannya udah cukup bagus, gatau lanjutannya kek mana, semoga bagus dah
CBJ
mau nanya, rata rata orang dewasa disana dapet stats berapa?
Callian: menurut gua antara 10 kalo ga 15, liat aja si pembunuh yang harusnya cukup terlatih kalah sama bocah statistik sekitaran 15
total 1 replies
Thinker
iyadeh si paling manusia yang di pilih oleh dewa, keren sih tpi
@...?????...@: buset...keren coy keren
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!