Elina Raffaela Escobar, seorang gadis cantik dari keluarga broken home, terpaksa menanggung beban hidup yang berat. Setelah merasakan pengkhianatan dari orang-orang terdekatnya, ia menemukan dirinya terjebak dalam kekacauan emosi.
Dalam sebuah pertemuan tak terduga, Elina bertemu dengan Adrian Volkov Salvatrucha, seorang CEO tampan dan misterius yang hidup di dunia gelap mafia.
Saat cinta mereka tumbuh, Elina terseret dalam intrik dan rahasia yang mengancam keselamatannya. Kehidupan mereka semakin rumit dengan kedatangan tunangan Adrian, yang menambah ketegangan dalam hubungan mereka.
Dengan berbagai konflik yang muncul, Elina harus memilih antara cinta dan keselamatan, sambil berhadapan dengan bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuinya.
Di tengah semua ketegangan ini, siapa sebenarnya Adrian, dan apakah Elina mampu bertahan dalam cinta yang penuh risiko, atau justru terjebak dalam permainan berbahaya yang lebih besar dari dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lmeilan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Elina terengah-engah saat ia memacu motornya menuju rumah sakit. Di benaknya, berbagai pikiran berkecamuk. Neneknya, pekerjaan yang hilang, dan kini pertemuan aneh dengan Adrian Volkov Salvatrucha. Nama itu masih asing baginya, namun sikap dingin dan angkuhnya membuat Elina merasakan amarah yang mendidih. “Siapa dia sebenarnya?” gumam Elina, mencoba mengusir rasa jengkel yang semakin menyesakkan dadanya.
Sesampainya di rumah sakit, ia berlari kecil menuju kamar rawat neneknya. Ia melihat neneknya ya g terbaring lemah, matanya terpejam, dan selang infus menggantung di lengan kurusnya serta banyaknya peralatan medis yang terpasang ditubuh lemah itu. Suasana kamar itu sepi, hanya suara monitor yang terdengar pelan, menambah kesan pilu. Elina mendekat, menggenggam tangan neneknya yang terasa dingin.
“Nek, aku di sini,” bisiknya sambil menahan air mata. Elina tidak ingin neneknya tahu betapa sulit keadaan yang ia hadapi. Tapi, bagaimana ia bisa menyembunyikannya? Biaya operasi nenek yang semakin mendesak, pekerjaan yang hilang, dan sekarang, hanya Tuhan yang tahu darimana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat.
“Lin…” Suara seseorang menyadarkan kesedihannya. Ia menoleh ke arah suara itu berasal, ternyata itu Ibu Sri yang datang membawakan Makanan dan minuman bersama seorang pria yang tidak asing dilihatnya.
“Kau sudah lama disini?" tanya Bu Sri
"ehm ngga Bu, Elina baru sampai juga" ucap Elina dengan suara pelan.
"oh begitu.. Oh iya Lin tadi Ibu ijin sebentar keluar membeli makanan, kau pasti belum makan kan?" ucap Ibu Sri
"i-iya Bu, terimakasih banyak" jawab Elina
"Lin... Kau sudah tau kan, ini anak Ibu Samuel..dia yang terkadang membantu Ibu di Panti jika sedang tidak sibuk" Ucap Ibu Sri menjelaskan dan memperkenalkan kembali Samuel
"i-iya Bu, tadi di Panti saya sudah berkenalan dengan Pak Samuel" jawab Elina merasa canggung.
"Jangan panggil Pak dongg, kan aku masih muda" sela Samuel mencairkan suasana
"ish kamu ini Sam" ucap Ibunya berlagak seolah mencubit Samuel
"Lin kamu makan dulu yaaa" ucap Ibu Sri
"baik Bu" Elina berjalan menuju sofa yang ada dalam ruangan itu
Tak bisa dipungkiri Elina merasa sangat lapar, ia tidak sungkan memakan makanan yang dibawakan oleh Ibu Sri.
"Bu... Sam pamit dulu ya, Sam harus balik lagi ke kantor" Tiba tiba Samuel berbicara dan berdiri berpamitan dengan ibunya.
Samuel menghampiriku dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman
"Lin aku pamit duluan ya" Ucap Sam
Elina mengulurkan tangannya bersalaman dengan Samuel, ia merasa gugup dan canggung.
"baiklah mm hati-hati" ucap Elina dengan suara pelan.
Samuel Adinata
Saat Elina baru selesai makan, dan mencuci tangannya ke wastafel dikamar mandi tiba tiba Ibu Sri memanggilnya.
"Lin..Lin" Bu Sri memanggil sambil berteriak
aku bergegas keluar dari kamar mandi
"a-ada apa Bu?" tanya Elina panik
"Nenekmu Lin, dia sepertinya mulai sadar" ucap Ibu Sri mempersilahkan Elina duduk dikursi samping nakas tempat tidur.
Perlahan wanita tua itu membuka matanya, Elina merasa terharu dan tidak bisa menahan air mata yang mengalir dari matanya.
"Nek..Maafkan Elina Nek, Elina.. Elina ga bisa
Jagain Nenek" ucap Elina terbata bata sambil terisak
“Tidak apa-apa, Nak. Nenek tahu kamu sudah berusaha keras.” Suara neneknya terdengar lirih namun penuh keyakinan.
“Kamu jangan terlalu memaksakan diri. Nenek baik-baik saja.”
Elina menggigit bibirnya, menahan isakan tangis yang hampir pecah. Bagaimana mungkin ia tidak memaksakan diri? Hanya nenek yang Elina miliki sekarang. Ia harus mencari cara, bagaimanapun caranya, dia harus mencari biaya pengobatan neneknya.
“Lin, jangan terlalu cemas. Nenek sudah tua. Jika memang waktunya, nenek akan pergi dengan tenang. Kamu harus kuat,” lanjut neneknya.
“Tidak, Nek! Jangan bicara seperti itu. Aku akan menemukan cara, aku pasti akan mendapatkan uang untuk operasimu. Aku janji, Nek,” ucap Elina sambil menggenggam tangan neneknya lebih erat. Ia tak tahu harus melakukan apa, tapi ia akan berjuang. Apapun caranya.
Tiba-tiba Dokter dan beberapa perawat datang memasuki ruangan tersebut karena mendengar bahwa nenek Elina sudah sadar dan memeriksa kondisi nenek Elina.
Elina dan Ibu Sri beranjak keluar meninggalkan ruangan itu dan menunggu di depan.
Tak berselang lama Dokter pun keluar dari ruangan itu
"Kelihatannya kondisi nenek anda normal.. Huhh akan tetapi operasi harus segera dilakukan 3 hari lagi kita harus melakukan tindakan operasi agar kondisi nenek Amber benar benar pulih" ucap dokter menjelaskan
Elina seakan tak percaya apa yang disampaikan oleh dokter. Bukannya neneknya sudah sadar kenapa operasinya dipercepat apa yang terjadi. Elina seolah bertanya tanya, Ia benar benar tidak tau harus mengumpulkan uang dari mana.
Ibu Sri menghampiri Elina dan memeluk Elina, ia ikut bersedih dan menangis atas apa yang di alami oleh nenek Amber dan masalah yang dihadapi Elina.
"Maaf Nak Ibu tidak bisa membantu banyak, anak Ibu baru saja bangkit dari kebangkrutannya, jadi Ibu tidak bisa meminjam uangnya tapi Ibu akan berusaha mencari pinjaman lain" ucap Ibu Sri menenangkan Elina.
"terimakasih banyak Bu, Ibu jangan terlalu keras memikirkan pengobatan nenek, ini tanggung jawab Elina" ucap Elina sambil menghapus air matanya.
Nenek Amber Raffaela
Bu Sri Adinata
Sore harinya, Elina keluar dari rumah sakit dengan perasaan hampa. Langkah kakinya terasa berat, seperti ada beban tak terlihat yang mengikatnya. Saat sampai di parkiran, ia tertegun. Apa yang harus dilakukannya sekarang?
Ia berniat kembali ke Panti Jompo, mengingat besok dia harus memulai kembali perkuliahan nya. Saat Ia mengendarai motornya.
Pikirannya teringat pada tawaran Desi untuk bekerja di bar. Elina berpikir, itu mingkin satu-satunya jalan keluar yang bisa ia tempuh. Tapi, bekerja di bar? Selama ini ia selalu menghindari pekerjaan seperti itu. Ia tahu banyak orang yang bekerja keras di bar untuk bertahan hidup, namun ia tidak pernah membayangkan dirinya akan melakukannya. Namun, sekarang bukan lagi masalah pilihan. Ini masalah hidup dan mati neneknya.
“Apakah aku benar-benar harus melakukannya?” gumam Elina, mencoba mencari jawaban dari dalam dirinya sendiri.
Sambil mengeluarkan ponselnya, ia mencari nomor Desi dan mengetik pesan.
“Des, aku ingin bicara soal tawaranmu. Bisakah kita bertemu malam ini?”
Tak berapa lama, pesan balasan dari Desi masuk.
“Tentu, Lin. Aku akan menunggu di tempat biasa jam 8 malam. Jangan terlambat ya.”
Elina menatap ponselnya dengan perasaan campur aduk. Apakah ini keputusan yang tepat? Apakah ini satu-satunya jalan yang bisa ia ambil? Elina tak punya jawaban untuk itu. Yang ia tahu, ia harus melakukan sesuatu. Dan inilah satu-satunya kesempatan yang ia punya saat ini.
Jam menunjukkan pukul delapan malam ketika Elina tiba di kafe tempat mereka biasa bertemu. Ia melihat Desi sudah duduk di salah satu sudut, melambaikan tangan saat melihat Elina datang.
“Elina, sini duduk,” ajak Desi sambil tersenyum. Meskipun wajahnya terlihat lelah, Desi berusaha terlihat ceria di depan sahabatnya.
Elina menarik napas dalam-dalam dan duduk di depan Desi. “Des, aku memikirkan tawaranmu. Aku… aku ingin mencoba bekerja di bar itu. Aku butuh uang cepat untuk biaya operasi nenek.”
Desi menatap Elina dengan tatapan serius. “Kamu yakin, Lin? Aku tahu ini keputusan sulit. Tapi jika kamu merasa tidak nyaman, jangan memaksakan diri.”
Elina menggeleng pelan. “Aku tidak punya pilihan lain, Des. Aku harus melakukan ini. Demi nenek.”
Desi mengangguk mengerti. “Baiklah, Lin. Aku akan bicarakan dengan manajer bar itu. Mungkin kamu bisa mulai secepatnya.”
“Terima kasih, Des. Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa lagi.”
“Tidak perlu berterima kasih, Lin. Aku tahu kamu pasti akan melakukan hal yang sama untukku,” ucap Desi sambil tersenyum tulus.
Mereka berbincang sebentar tentang pekerjaan baru itu. Desi memberitahu Elina tentang apa saja yang harus dia persiapkan, mulai dari pakaian yang harus dikenakan hingga jam kerja yang mungkin akan sangat melelahkan. Elina mendengarkan dengan serius, berusaha menyiapkan mentalnya untuk perubahan besar dalam hidupnya ini.
Saat percakapan mereka selesai, Elina merasa sedikit lebih tenang. Setidaknya, dia memiliki rencana sekarang. Mungkin bukan rencana yang ideal, tapi itu satu-satunya jalan yang bisa ia ambil.
.....
Malam itu Elina memutuskan untuk pulang ke Panti Jompo tempat neneknya, Elina duduk di balkon sofa kecil dalam kamar neneknya menghadap ke arah jendela yang terbuka. Angin malam yang dingin membuatnya merapatkan jaketnya. Pikirannya melayang-layang, mencoba mencerna semua yang terjadi hari ini. Besok dia harus memulai lagi perkuliahan nya dan juga pekerjaan barunya akan dimulai besok malam, dan ia masih merasa cemas. Namun, ia tahu, tidak ada waktu untuk ragu.
“Apapun yang terjadi, aku akan melaluinya,” gumamnya pelan. Ia menatap langit malam yang gelap tanpa bintang, seolah mencari jawaban di antara kegelapan itu.
Saat itulah, tanpa sadar, bayangan pria dingin dengan mata tajam itu melintas di benaknya. Adrian Volkov. Mengapa pria itu tiba-tiba muncul dalam pikirannya? Apa yang membuatnya begitu memikirkan pria itu? Elina menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran tersebut.
“Aku tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal tak penting seperti itu,” katanya pada diri sendiri.
Namun, jauh di dalam hatinya, Elina tahu, pertemuan mereka hari ini bukanlah yang terakhir. Sesuatu yang tak terlihat seolah menariknya pada pria misterius itu. Dan entah mengapa, Elina merasa, kisah hidupnya baru saja dimulai.