Di tengah gemuruh ombak kota kecil Cilacap, enam anak muda yang terikat oleh kecintaan mereka pada musik membentuk Dolphin Band sebuah grup yang lahir dari persahabatan dan semangat pantang menyerah. Ayya, Tiara, Puji, Damas, Iqbal, dan Ferdy, tidak hanya mengejar kemenangan, tetapi juga impian untuk menciptakan karya yang menyentuh hati. Terinspirasi oleh kecerdasan dan keceriaan lumba-lumba, mereka bertekad menaklukkan tantangan dengan nada-nada penuh makna. Inilah perjalanan mereka, sebuah kisah tentang musik, persahabatan, dan perjuangan tak kenal lelah untuk mewujudkan mimpi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F3rdy 25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persiapan dan masalah
**Bab 8: Persiapan yang Tak Terduga**
Setelah syukuran di basecamp baru, suasana di antara anggota *Dolfinn Band* semakin solid.
Mereka tahu, setelah kemenangan besar di festival dan mendapatkan tempat latihan tetap, ini adalah momentum yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin.
Namun, di tengah persiapan untuk tampil sebagai band pembuka konser *Kotak Band*, tantangan baru mulai muncul satu demi satu.
Pagi itu, Ferdy, Tiara, Ayya, Iqbal, Damas, dan Puji berkumpul di basecamp.
Mereka sudah merencanakan untuk memulai latihan serius menghadapi konser besar yang tinggal dua minggu lagi.
Namun, suasana sedikit berbeda hari itu. Iqbal tampak lebih murung, dan Tiara beberapa kali tertangkap melirik jam tangannya dengan gelisah.
“Guys, ada yang aneh nggak sih hari ini?” tanya Puji sambil merapikan senarnya. “Kok gue ngerasa kayak ada yang nggak fokus ya?”
Ayya yang duduk di sofa sambil memainkan ponselnya menoleh ke arah Puji. “Lo perhatiin juga ya? Gue pikir cuma perasaan gue doang.”
Ferdy, yang biasanya langsung menyahut dengan candaan, kali ini hanya tersenyum tipis.
Dia tahu persis apa yang membuat suasana jadi canggung. Ada masalah yang belum terselesaikan di antara mereka.
“Ada apa, Bal? Lo dari tadi diem mulu,” tanya Damas sambil menepuk punggung Iqbal. “Biasanya lo yang paling semangat kalau soal latihan.”
Iqbal menarik napas panjang sebelum menjawab. "Gue... sebenernya ada masalah sedikit. Bokap gue tiba-tiba dapet tawaran kerja di luar kota, dan dia mau kita sekeluarga pindah dalam waktu dekat."
Sontak, semua anggota band langsung berhenti dengan aktivitas mereka masing-masing. Tiara menatap Iqbal dengan terkejut. “Lo bakal pindah? Terus gimana nasib band?”
Iqbal hanya bisa mengangkat bahu. “Gue nggak tau. Bokap nyuruh gue ikut, tapi gue juga nggak mau ninggalin kalian.”
Ayya yang biasanya usil, kali ini ikut merasa sedih. “Lo serius, Bal? Pindah? Tapi kita baru aja mulai. Gimana kalau lo tetep di sini? Kan kita udah punya basecamp.”
“Iya, tapi susah, ay. Gue nggak bisa nolak permintaan bokap gue begitu aja. Gue juga bingung.”
Keheningan langsung menyelimuti ruangan.
Ferdy, yang sedari tadi mendengarkan dengan seksama, akhirnya angkat bicara. “Gue ngerti posisi lo, Bal. Kalau lo harus ikut, kita nggak bisa maksa. Tapi kita juga nggak bisa ngebiarin band ini berhenti di sini.”
“Betul,” tambah Tiara. “Lo penting buat kita, Bal, tapi kalau situasi udah kayak gini, kita harus cari solusi. Mungkin lo bisa bolak-balik sementara? Atau minimal kita tetep latihan intens sebelum lo pergi.”
Iqbal mengangguk pelan, namun tetap terlihat bimbang. “Gue bakal coba ngomong lagi sama bokap nanti malam. Tapi, sementara ini, gue janji bakal latihan serius. Gue nggak mau ngecewain kalian di konser nanti.”
Mendengar tekad Iqbal, suasana sedikit mencair. Mereka tahu masalah ini berat, tapi mereka juga tahu bahwa mereka harus tetap bersatu menghadapi apapun yang akan terjadi.
---
Satu minggu setelah percakapan itu, latihan *Dolpfin Band* berjalan cukup lancar.
Mereka mulai mempersiapkan setlist untuk konser, meskipun dalam hati, mereka semua masih cemas soal masa depan band tanpa kehadiran Iqbal.
Hari itu, mereka memutuskan untuk latihan lebih lama dari biasanya.
Ferdy mengusulkan beberapa perubahan di bagian solo gitar yang menurutnya akan membuat penampilan mereka lebih keren.
Namun, di tengah latihan, suara gitar Damas tiba-tiba berhenti.
“Dam, lo kenapa?” tanya Tiara heran.
Damas terlihat gelisah dan segera meletakkan gitarnya. “Gue... gue ada urusan bentar. Lo bisa lanjutin dulu tanpa gue.”
Semua terdiam. Mereka tahu Damas bukan tipe orang yang gampang meninggalkan latihan tanpa alasan.
Tiara langsung melangkah mendekati Damas, menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Apa yang sebenernya terjadi, Dam?”
Damas menghela napas panjang. “Gue lagi ada masalah keluarga. Bokap gue lagi sakit, dan gue harus sering-sering ke rumah sakit buat ngurusin dia.”
Suasana kembali tegang. Ferdy, yang paling peka di antara mereka, segera menepuk bahu Damas. “Gue ngerti, Dam. Kalau lo butuh istirahat atau waktu buat keluarga, nggak apa-apa. Kita bisa atur jadwal latihan yang fleksibel.”
“Iya,” tambah Ayya. “Keluarga lo yang paling penting sekarang. Kita bisa kompromi soal latihan.”
Damas tersenyum kecil. “Gue nggak mau ganggu latihan kita juga. Tapi kadang gue harus keluar tiba-tiba, jadi maaf kalo nanti bikin kalian ribet.”
Tiara memeluk Damas dengan penuh kehangatan. “Kita keluarga, Dam. Lo nggak sendirian.”
---
saya Pocipan ingin mengajak kaka untuk bergabung di Gc Bcm
di sini kita adakan Event dan juga belajar bersama dengan mentor senior.
jika kaka bersedia untuk bergabung
wajib follow saya lebih dulu untuk saya undang langsung. Terima Kasih.