Seperti artinya, Nur adalah cahaya. Dia adalah pelita untuk keluarganya. Pelita untuk suami dan anaknya.
Seharusnya ...
Namun, Nur di anggap terlalu menyilaukan hingga membuat mereka buta dan tak melihat kebaikannya.
Nur tetaplah Nur, di mana pun dia berada dia akan selalu bersinar, meski di buang oleh orang-orang yang telah di sinarinya.
Ikuti kisah Nur, wanita paruh baya yang di sia-siakan oleh suami dan anak-anaknya.
Di selingkuhi suami dan sahabatnya sudahlah berat, di tambah anak-anaknya yang justru membela mereka, membuat cahaya Nur hampir meredup.
Tapi kemudian dia sadar, akan arti namanya dan perlahan mulai bangkit dan mengembalikan sinarnya.
Apa yang akan Nur lakukan hingga membuat orang-orang yang dulu menyia-nyiakannya akhirnya menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Nur di larikan ke rumah sakit oleh bantuan tetangga yang di mintai tolong oleh Amanda.
Tak henti-hentinya Amanda menangis meratapi nasib sang ibu.
Amanda sudah berusaha menelepon sang ayah, tapi tak sekali pun panggilannya di angkat.
Bahkan dia juga menghubungi Sisil, sama seperti sang ayah calon madu ibunya itu pun tak mengangkat panggilannya.
Tak berselang lama Dokter keluar dan menemui Amanda yang masih terisak.
"Saudari keluarganya?"
Amanda mengangguk, "bagaimana keadaan mamah saya Dok?"
"Beliau baik-baik aja, mungkin hanya kelelahan. Setelah ini kami akan pindahkan ke ruang rawat, sementara ibu Nur harus di rawat ya. Silakan mbaknya menuju ruang administrasi."
Tanpa bertanya lebih jauh Amanda menuju ruang Administrasi. Dia memang memiliki simpanan uang dari uang jajan yang di berikan sang ayah.
Lagi pula rumah sakit tak meminta bayaran full hanya tanda jadi untuk persetujuan rawat inap yang masih bisa Amanda sanggupi.
Amanda masih mencoba menghubungi sang ayah, tapi usaha belum juga membuahkan hasil bahkan setelah dua jam lamanya dia mencoba.
Akhirnya dia menyerah dan memilih menunggu ibunya siuman.
Tak lama Nur sadar. Wanita itu memegang kepalanya yang berdenyut nyeri.
"Mah," panggil Amanda lega.
Dengan perlahan Nur membuka matanya. Rasa sakit di kepalanya tak kunjung hilang, tapi Nur tetap memaksakan diri untuk membuka mata.
"Kakak? Mamah di mana?"
"Mamah di rumah sakit Mah, tadi mamah pingsan. Manda cemas mah," lirih Amanda sembari terisak.
Nur yang masih sakit lantas menepuk bahu sang putri untuk menenangkannya.
"Maafkan mamah udah buat kakak khawatir ya. Mamah baik-baik aja ka."
"Mah," lirih Amanda.
"Jangan berpisah. Jangan cerai," ucap Amanda yang tak bisa melihat situasi.
Nur menarik napas panjang, sepertinya sang putri mendengar pembicaraan mereka tadi.
"Boleh mamah minta minum ka? Mamah haus," pinta Nur mengalihkan pembicaraan.
Amanda segera mengambil air putih dan memberikannya kepada sang ibu.
"Mamah makan dulu ya, ini ada makanan dari rumah sakit. Amanda suapi ya."
Nur mengangguk, bagaimana pun dia harus tetap waras. Meskipun tahu dirinya tak mungkin bisa merasakan rasa makanan itu, tapi Nur bertekad tak ingin merugikan diri sendiri lagi.
Amanda dengan telaten menyuapi sang ibu. Meski dalam hati dia tetap berdoa kalau ibunya akan mengurungkan niatnya untuk berpisah dengan ayahnya.
Tak ada pembicaraan sampai makanan itu telah masuk semua ke dalam tubuh Nur.
Setelah makan dan meminum obat, Nur merasakan sakit di kepalanya sedikit berkurang.
Nur tahu dia hanya kurang asupan energi saja dan dia merasa bodoh menyiksa diri sendiri seperti ini.
Amanda lantas menatap sang ibu setelah ibunya menyelesaikan makannya.
"Mah," Amanda menggenggam tangan ibunya erat.
"Tolong tarik keputusan mamah, jangan menyerah mah, jangan biarkan keluarga kita hancur," pinta Amanda penuh harap.
"Kalau cuma mamah yang berusaha untuk mempertahankan rumah tangga kami, semua akan percuma sayang. Kamu enggak mengerti," balas Nur sendu.
Amanda menggeleng. "Amanda mengerti mah, Amanda tahu mamah sakit, tolong bertahan mah, apa mamah tega buat Amanda sama Bisma jadi anak broken home karena keegoisan mamah?"
Nur benar-benar tak mengerti kenapa anaknya justru menyalahkan dirinya. Apa setidak peduli itu Amanda terhadap perasaaannya.
"Kamu anggap mamah egois?" tanya Nur tak percaya.
"Iya mamah egois kalau mamah mentingin perasaan mamah sendiri!" pekik Amanda kesal.
Gadis berusia dua puluh tahun itu frustrasi hingga tak sadar telah menyakiti hati wanita yang telah melahirkannya.
"Apa kamu mau lihat mamah gila Ka?"
Amanda terkesiap, dia lalu menatap sang ibu nanar.
"Mamah ngga usah terlalu mendramatisir, nyatanya mamah harus sadar kalau kita semua ini bergantung sama papah!"
Nur membuang muka. Dia tak mau menatap sang putri dan menangis karena ucapan putrinya.
Sungguh Nur takut, air mata seorang ibu yang turun karena sikap anaknya akan membuat nasib anak itu buruk, begitulah yang Nur tahu dari nasihat orang tuanya dulu.
Nur tak mau Tuhan menegur Amanda. Dalam hati dia selalu mengucapkan kata jika dia memaafkan putrinya yang tak tahu apa-apa.
"Jadi ini semua karena harta? Kamu takut kita akan ke kurangan tanpa sokongan harta dari papahmu Ka?"
Amanda membuang muka, dia tak menampik ucapan ibunya.
Memang benar ia takut tak bisa menikmati segala kenikmatan hidup yang selama ini selalu di perolehnya dari sang ayah.
"Sudahlah Mah, lagi pula mamah ngga akan ke kurangan, biarkan papah, harusnya sekarang mamah berubah, ingat nasihat Amanda kalau penampilan wanita itu nomor satu, mamah selalu mengabaikan ucapan Manda dan lihat akhirnya, papah terpikat sama tante Sisil."
"Jangan hanya menyalahkan mereka berdua aja, mamah juga harusnya berkaca kalau mamah ikut andil dengan keinginan papah!"
.
.
.
Lanjut