Penasaran dengan kisahnya yuk lansung aja kita baca....
Yuk ramaikan...
Sebelum lanjut membaca jangan lupa follow, like, subscribe , gife, vote and komen yah....
Teruntuk yang sudah membaca lanjut terus, dan untuk yang belum hayuk segera merapat dan langsung aja ke cerita nya....
Selamat membaca....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Arumi yang sudah dipenuhi emosi berhasil melukai Nijar. Pria itu dipukul menggunakan vas bunga hingga terluka di bagian pelipis. Saat lengah itulah, Arumi melarikan diri dari vila, lalu berhari-hari bersembunyi hingga tidak seorangpun yang mengetahui.
Arumi menyingkir dari hiruk-pikuk dunia malam, menghilang dengan membawa sedikit bekal sisa gajinya saat bekerja di toko roti. Dirinya pindah ke kota lain. Menghindari Nijar, juga mamanya.
Ia sudah lelah hidup diremehkan, direndahkan oleh setiap pria yang dekat dengannya. Suatu hari, ia mendatangi sebuah kajian. Di sana ia mendalami ilmu agama, sambil mencari-cari pekerjaan yang baru, yang lebih baik dan membuatnya aman terhindar kaum laki-laki.
Hasilnya nol, nihil. Pekerjaan itu sulit sekali didapatkan. Akhirnya, ia berinisiatif menyewa kontrakan untuk membuat kue dan menjajakannya secara online. Bulan pertama meraup keuntungan cukup besar. Ia bisa menggunakan modalnya yang sudah terkumpul kembali untuk mencari seseorang untuk Di bulan berikutnya omset penjualannya naik dua kali lipat dari sebelumnya.
Berkah itulah membuat Arumi berpikir, betapa Sang Maha Kuasa sangat baik kepadanya. Di bulan berikutnya, ia memutuskan melengkapi jalan pertaubatan dengan merubah penampilan. Arumi mengenakan pakaian tertutup, memakai hijab.
Di saat yang tidak disengaja, ia malah bertemu dengan Nijar. Pria itu masih mencari-carinya. Bahkan kali itu, melibatkan orang-orang bayaran. Arumi pun semakin terpojok, ia tidak berani keluar sementara pekerjaannya mengharuskan keluar rumah, untuk mengantar pesanan kue menggunakan sepeda motor. Maka, muncul ide
menggunakan cadar. Cara ini ternyata ampuh untuk menghindar dari kejaran Nijar dan orang-orangnya. Arumi menjadi lebih nyaman mengenakannya, lebih percaya diri dan yakin bahwa tidak akan ada laki-laki yang
Mengganggunya.
Dengan penampilan baru itulah ia semakin mendapat kemudahan. Rasa syukurnya semakin bertambah, apalagi orderan kue-kuenya juga semakin Arumi mengganti tempat usahanya dengan menyewa sebuah ruko. Di sanalah dirinya tinggal dan mengembangkan usaha hingga suatu hari dipertemukan dengan Hasnan, pelanggan sekaligus teman saat di kajian.
Hubungan mereka semakin dekat. Hingga berkali-kali mengajak Arumi mampir ke rumah untuk dikenalkan dengan Aris, putra sulungnya.
Arumi masih bersimpuh di atas karpet bulu, sedangkan Aris sudah berpindah tempat. Di depan jendela menjadi pilihan merenung setelah mendengar pengakuan istrinya.
"Aku memang bukan wanita baik, Mas. Setelah menceritakan semuanya, aku harap Mas Aris mau menerima aku dengan semua kekurangan ini," ucap Arumi.
Mata yang mengembun menceritakan kisah hidupnya itu masih memandang sang suami dengan tatapan penuh harap. Aris bukannya menanggapi. Ia masih belum mempercayai sepenuhnya bahwa wanita yang dianggapnya sangat suci adalah kekasih sahabatnya.
"Aku akan membuka cadar mulai sekarang."
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Arumi berdiri lalu mendekati Aris. Ia menghadap pria itu sambil mengangkat wajah, sedikit mendongak agar bisa bersitatap dengan suaminya.
"Bukalah. Aku sudah ikhlas memperlihatkan wajahku , Mas."
Aris tidak bergerak sama sekali dari tempatnya berdiri. Sementara Arumi sudah merapat padanya.
"Bukalah, bahkan permintaanmu yang sebelumnya akan aku tunaikan saat ini juga. Mas Aris boleh menyentuhku. Aku sudah ikhlas mengabdikan hidupku."
Kata-kata Arumi seperti siraman air yang menyejukkan dikala dahaga itu datang. Tapi anehnya, Aris masih saja tidak bergerak.
"Mas...."
Arumi menunduk, merasa Aris tidak menginginkan dirinya.
"Mas boleh membuktikannya sekarang, apakah aku masih perawan atau tidak."
Mendengar ucapan yang serupa dengan merendahkan dirinya sendiri itu, sontak membuat mata Aris melebar.
"Kamu tidak harus merendahkan dirimu dengan cara seperti ini." Aris membuang pandang ke arah luar melewati jendela yang sengaja dibuka gordennya.
"Aku istrimu. Apa menawarkan diri pada suami sendiri seperti ini Mas anggap rendah?" Arumi jelas-jelas tersinggung dengan jawaban yang didengarnya.
Aris mengubah pandangannya, menatap Arumi yang juga menatapnya penuh harap.
"Maaf, Rum, aku belum bisa. Selama masih ada keragu-raguan di dalam hatiku, aku nggak bisa melakukannya. Jika kita melakukannya sekarang, itu berarti aku sudah siap menerima segala kekuranganmu. Sementara, aku belum yakin dengan keputusan itu."
Arumi memundurkan langkah, kakinya goyah dan terasa lemas.
"Jangan berkecil hati. Aku bukan menolakmu. Aku hanya butuh waktu untuk memahami semuanya sampai aku
benar-benar yakin bahwa kamu pantas menjadi ibu dari anak-anakku nanti."
Mata mengembun, tersembunyi di balik cadar bukan berarti Aris tidak mengetahui rona kesedihan istrinya. Ia tau, sepenuhnya menyadari jika ucapannya telah melukai hati istrinya.
"Pertemukan aku dengan laki-laki yang memberimu uang di bar malam waktu itu. Mungkin aku bisa mendapatkan kepercayaan darinya," ucap Aris lagi.
.
"Namanya Farhan." Lirih ucapan Arumi menyebut nama itu.
"Ya ... siapapun dia, aku ingin bertemu."
Arumi mengangguk sebagai jawaban atas persetujuan.
"Baik. Aku akan mempertemukan kalian."
"Dan masalah uang yang kamu terima itu ... bukan uang haramkan?" Aris menatap Arumi, menuntut memberinya penjelasan.
"Itu uangku, Mas. Sengaja tidak kuambil dan aku titipkan dengan di bar itu. Saat ini aku modal. Jadi uangnya aku ambil dengan meminta tolong Farhan. Itu uang halal bagiku. Kudapatkan dari bekerja sebagai pelayan di tempat itu, bukan hasil menjual diri. Entah menurut Mas Aris, mungkin haram karena berasal dari tempat maksiat."
Arumi benar-benar tidak enak hati dengan pikiran Aris. Siapapun memang berhak menilai apapun tentang diri orang lain. Terapi, Arumi berharap Aris adalah orang pertama yang seharusnya mempercayainya.
"Aku nggak bilang begitu. Makanya sekarang, pertemukan aku dengan Farhan.
Biar aku nggak salah paham."
"Ya, kita akan segera bertemu dengannya. Mas maunya kapan?" tanya Arumi. Ia harus membuat janji lebih dulu. Sebab, Farhan memiliki kesibukan lain selain bekerja di bar itu.
"Secepatnya. Kamu atur saja di mana tempatnya," jawab Aris.
Satu langkah telah ia tempuh menuju titik terang siapa sebenarnya diri Arumi. Jujur, semakin melangkah maju, Aris justru semakin dibuat ragu.
Sementara bagi Arumi, hatinya sangat sakit mendengar beberapa pernyataan tentang dirinya. Aris bahkan tidak mempercayainya. Arumi merasa Aris mulai terang-terangan menunjukkan kebencian pada dirinya.
"Mungkin kamu jijik padaku karena pernah bekerja di tempat hina seperti itu. Wajar, Mas. Tapi, kok rasanya sakit sekali mendengar kata-katamu tadi." Ia hanya bisa mengikuti alur cerita hidup. Berharap nasib baik akan segera datang, membuka tabir kenyataan tentang masa lalunya.
Pagi-pagi sekali, Arumi sudah sibuk mempersiapkan sarapan.Semalam Aris menginap di rumah itu, sehingga ia berinisiatif menyiapkan makanan.
Pagi-pagi sekali pula, Aris sudah bersiap-siap ke kantor. Ia tampak terburu-buru.
"Mas, aku sudah memasak untukmu. Kita sarapan dulu." Arumi siapkan segala keperluan sarapan di meja makan saat Aris menemuinya.
"Aku Arumi. Aku harus menemui seorang klien pagi ini. Kapan-kapan saja aku-"