Santi sigadis kecil yang tidak menyangka akan menjadi PSK di masa remajanya. Menjadi seorang wanita yang dipandang hina. Semua itu ia lakukan demi ego dan keluarganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8_Sekeping Harapan di Tengah Derita
“Jadi begini, Bu. Bulan lalu, Pak Burhan meminjam uang senilai dua juta rupiah, katanya untuk kebutuhan anak sekolah. Pak Burhan berjanji akan membayarnya dengan cara dipotong dari gaji. Itulah sebabnya Pak Burhan sering lembur dan pulang terlambat, karena dia sedang menyicil utang itu. Namun, yang sudah terbayar baru seratus ribu rupiah. Sisanya, satu juta sembilan ratus ribu, belum terbayar sama sekali. Saya tidak berani memaksa Pak Burhan untuk melunasinya, karena saya tahu keadaannya, apalagi uang itu digunakan untuk keperluan anak sekolah,” terang Pak Bani.
Dada Sumi terasa sesak mendengarnya. Bagaimana mungkin suaminya, Burhan, meminjam uang sebanyak itu, namun uang tersebut tidak digunakan untuk kebutuhan keluarga mereka? Bahkan dari dua juta rupiah yang dipinjam, tak ada sepersen pun yang diberikan kepada anak-anak atau kepada Sumi, istrinya.
Sumi mulai bertanya-tanya, ke mana sebenarnya uang itu digunakan oleh Burhan.
“Apa Ibu tidak tahu tentang itu?” Pak Bani bertanya lagi.
“Saya tahu, Pak,” jawab Sumi, berbohong. Jika ia jujur tentang tidak mengetahui pinjaman uang tersebut, Burhan pasti akan marah besar, dan bisa saja bertindak kasar. Sumi harus berhati-hati dan akan menanyakan hal ini dengan hati-hati kepada Burhan nanti.
“Syukurlah jika Ibu sudah tahu,” ucap Pak Bani, seraya saling bertukar pandang dengan Lusi.
“Jadi, sebelumnya kami mohon maaf, Bu, karena belum bisa membantu memberi pinjaman sebelum utang bulan lalu dilunasi,” lanjut Pak Bani.
Spontan, Sumi bangkit dan memohon di kaki Pak Bani.
“Tolong saya, Pak, Bu. Saya tidak mau anak-anak saya putus sekolah. Tolong saya,” Sumi menangis di kaki Pak Bani.
Santi, yang mengkhawatirkan ibunya yang lama tidak pulang, akhirnya pergi mencari. Salah satu tetangga mengatakan bahwa ia melihat Sumi menuju ke rumah Pak Bani, satu-satunya orang kaya di kampung mereka. Dengan nekat, Santi menekan tombol pintu yang tidak terkunci, meski tahu itu tidak sopan. Ia ingin memastikan apakah ibunya ada di dalam rumah itu. Dan ternyata, ia benar. Namun, pemandangan yang disaksikan sangat memilukan.
“Tolonglah saya, Pak, Bu. Anak saya, Santi, butuh uang, anak saya, Riski, juga. Saya tidak ingin mereka putus sekolah, mereka harus sekolah agar tidak hidup susah seperti saya. Tolonglah saya,” Sumi memohon di kaki Pak Bani.
Santi menahan tangisnya, namun air mata tidak bisa dibendung. Melihat ibunya harus merendahkan diri seperti itu, Santi merasa sangat hancur.
“Sudah, Bu, mari duduk kembali di sofa,” ucap Pak Bani lembut, sementara Lusi segera membantu Sumi berdiri dan memapahnya kembali ke sofa.
“Ibu tenanglah,” ujar Lusi sambil mengelus punggung Sumi.
“Anak saya butuh uang, Bu. Saya tidak ingin anak saya putus sekolah,” Sumi berbisik.
Santi tidak bisa lagi menahan rasa sakit hati dan dengan cepat keluar dari rumah itu. Ia berlari menuju rumahnya, tak peduli pada sapaan tetangga. Ia ingin menghindari perhatian siapapun, tak ingin ada yang tahu bahwa ia sedang berduka.
*****
“Santi!!!” terdengar suara panggilan ibunya dari luar.
Santi yang sedang menangis di kamar, segera mengusap air matanya dan membuka pintu.
“Iya, Bu. Sebentar,” jawabnya, sambil membukakan pintu.
“Ayahmu sudah berangkat bekerja?” tanya Sumi.
Santi menganggukkan kepala. “Sudah, Bu.”
“Adik-adikmu sudah ke sekolah semua?” tanya Sumi lagi.
Santi kembali mengangguk. “Iya, Bu. Riski, Ridho, Ujang, sudah ke sekolah semua. Sisil dan Lili baru saja pergi bermain ke rumah Bi Tami. Mereka sudah makan dan mandi.”
“Bagus, nak. Kamu sendiri kenapa enggak sekolah hari ini?” tanya Sumi.
Santi menunduk.
“Ya sudah, besok kamu sekolah ya. Ibu sudah ada uangnya,” ucap Sumi sambil mengeluarkan sejumlah uang dari kantong kumuhnya.
“Ini, uangnya, satu juta enam ratus ribu. Kamu simpan, jangan sampai hilang atau tercecer. Segera lunasi tunggakan sekolahmu agar kamu bisa ikut ujian,” ujar Sumi sambil memberikan uang tersebut kepada Santi tanpa amplop.
“Dari mana ibu dapat uang sebanyak ini?” tanya Santi dengan suara bergetar, tak bisa menahan air matanya.
“Kamu tidak perlu tahu, yang penting kamu bisa sekolah,” jawab Sumi, sambil tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca.
“Santi enggak bisa nerima, Bu. Lebih baik Santi putus sekolah saja,” ujar Santi, merasa uang itu pasti didapat ibunya dari Pak Bani.
Santi tahu, meskipun ia membayar utang dua juta di sekolahnya, utang serupa akan terus ada. Setiap semester pasti ada tunggakan baru. Jadi, ia merasa lebih baik berhenti sekolah saja dan bekerja sebagai pembantu atau pelayan warung, pekerjaan yang biasa dilakukan oleh orang-orang seperti dirinya.
“Jangan bilang begitu, nak. Ibu susah payah mendapatkan uang ini, jangan kecewakan ibu, ya? Besok kamu harus pergi ke sekolah,” kata Sumi, berusaha menenangkan anaknya. Namun, Santi hanya menggelengkan kepala.
“Kalau begitu, bunuh lah ibu, nak. Ibu sudah tidak sanggup hidup seperti ini,” Sumi berkata putus asa, air matanya jatuh tanpa bisa dibendung.
“Jangan bilang begitu, Bu! Santi janji besok Santi akan pergi ke sekolah,” jawab Santi, tangisnya semakin pecah.
“Ya sudah, ibu mau berangkat ngarit dulu. Ibu sudah terlambat. Kasihan kambing-kambing Pak Jiwo belum makan.”
“Ibu sendiri belum makan?” tanya Santi, mengkhawatirkan ibunya. Tadi, saat Sumi pergi, ia belum makan sama sekali.
“Tidak apa-apa, ibu masih kenyang. Tadi di rumah Pak Bani, ibu dikasih kue, manisan, dan jus buah naga. Ternyata jus buah naga enak sekali, San. Ibu ingin membawakan untukmu dan adik-adik, tapi ibu malu. Jadi, ibu habiskan sendiri. Maafkan ibu, ya nak. Nanti, kalau kamu sudah tamat sekolah dan bekerja, kamu belikan jus buah naga untukmu dan adik-adik,” ujar Sumi, lalu beranjak menuju dapur untuk mengambil arit dan karung goni.
Santi hanya bisa menatap bisu, air mata terus mengalir.
“Jaga adik-adikmu, Santi. Kamu anak tertua di rumah ini. Sayangi mereka. Maafkan ibu karena belum bisa memberi kebahagiaan. Maafkan ibu juga karena melahirkan kalian dalam keadaan miskin. Ibu mungkin jahat, tetapi ibu sangat sayang pada kalian,” ujar Sumi, lalu melangkah keluar dari rumah.
Santi hanya bisa menganggukkan kepala. Ia tidak tahu harus menjawab apa lagi. Jika ia bicara, suara tangisan yang keluar.
Sumi pun pergi meninggalkan rumah, hendak ke padang rumput untuk mengarit pakan kambing. Pikirannya kosong, pandangannya kosong. Ia teringat lagi dengan hutangnya yang total mencapai lima juta rupiah—dua juta utang dari Burhan yang tidak ia ketahui ke mana uang itu digunakan, dua juta utang untuk melunasi Santi dan Riski, serta satu juta untuk utangnya kepada lima tetangga.
Ia tersenyum pahit. Ia tidak ingin anak-anaknya putus sekolah, tetapi ia juga tidak tahu harus mencari uang dari mana lagi. Dunia terasa begitu kejam baginya.