Menceritakan seorang remaja yang bertekad untuk bertahan hidup apapun caranya. Kenapa harus begitu ? Karena dirinya telah berpindah ke dunia lain.
Cerita ini masih berlatar Multiverse dari cerita 'Pindah Dimensi Lain'.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ryn_Frankenstein, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 08 : Tidak Bisa.
Awalnya tak mau mencoba, tapi akhirnya Dika akan mencoba karena tak terima melihat senyuman ejekan dari Arc. Dika pun segera bangkit berdiri, lalu ia mengarahkan tangan kanannya ke arah pohon lain sebagai targetnya. Dalam pikirannya, ia memilih-milih salah satu mantra sihir tingkat dasar yang telah ia pelajari.
Setelah siap, ia pun mulai merapal. "Wahai Api yang membakar segalanya, serta yang telah menghangatkan semuanya, pinjamkan 'lah kekuatanmu untuk menghadapi musuh yang berbahaya, fire ball!"
Setelah Dika mengucapkan atau merapal mantranya, tak terjadi apapun. Pohon yang dijadikan target masih baik-baik saja, Arc memandang Dika dengan tatapan tanpa ekspresi.
Sedangkan remaja itu, masih mengarahkan tangan kananya ke arah pohon. Sepuluh detik, lima belas detik, dua puluh detik tak terjadi apa-apa, bola sihir tak muncul.
"Kok gak muncul ya ?" gumam Dika terheran-heran.
Lalu ia memandangi telapak tangannya, terlihat baik-baik saja, setelahnya ia menggoyangkan telapak tangannya ke kanan dan ke kiri, masih tak terjadi apa-apa. Dika pun memandangi Arc. "Kenapa gak keluar apinya ya ?" tanyanya lagi.
Arc menghela nafasnya. "Sepertinya kamu belum bisa mengontrol energi mana yang ada dalam dirimu."
Dika mengangkat alis sebelahnya. "Terus caranya gimana ?"
"Bukankah tadi aku sudah menjelaskannya ?" tanya Arc memastikan.
Dika menyengir sambil menggaruk-garuk pipi kanannya yang tak gatal sama sekali. "Hehehe, aku gak tau caranya."
Arc menepuk jidatnya, kacau sudah dengan remaja ini, karena setahunya anak kecil yang sudah tertarik dengan sihir pasti bisa melakukannya meskipun tingkat dasar. Dan untuk Dika, dari dasar orangnya saja yang tak begitu tertarik dengan ilmu sihir. Memang kalau soal pola pikir otak dan fisiknya bagus, tapi begitu membahas soal ilmu sihir, tak sesuai harapan.
Memang benar untuk mengajari ilmu sihir kepada seseorang yang baru belajar tidak mudah dan tidak instan. Semua pasti berawal dari nol, ibaratkan seperti bayi yang baru saja dilahirkan, mana mungkin langsung bisa berjalan, pasti ada tahap awal untuk bertumbuh.
Sepertinya Arc melewatkan suatu hal kali ini, yaitu memberi contoh untuk mengontrol mana dalam tubuh. Ia menghela nafasnya. "Sekarang kita belajar yang paling mendasar."
"Ikuti aku." titah Arc sambil duduk bersila di tanah.
Melihat Arc yang seperti duduk bermeditasi, Dika pun mengikutinya, walaupun terpaksa. Lalu Arc memerintahkan Dika untuk ikut memejamkan kedua matanya agar fokus. Ya, untuk sekarang mungkin Arc harus melatih remaja itu dalam hal yang mendasar untuk mempelajari cara mengontrol energi mana dalam tubuh.
Alhasil belum berhasil juga, dan hari juga akan gelap, Arc menyudahi melatih Dika. Keesokan harinya, setelah selesai mencari kayu bakar, dan mendapat tumbuh-tumbuhan untuk bahan makanan, Arc kembali mengajak Dika untuk latihan mengontrol energi mana. Susah payah Dika mempelajarinya bahkan selalu kena omelan.
.....
Beberapa hari kemudian setelah Dika memulai belajar sihir, mungkin sudah 4 hari terlewati. Dika yang masih dalam pelatihan dasar, belum juga bisa mengontrol energi mananya. Selama duduk bersila, memejamkan kedua matanya dan ia terus mencoba fokus, ia mencoba mengontrol pernafasannya terlebih dahulu.
Metode ini adalah memang yang paling mendasar agar seseorang yang ingin bisa mengontrol energi mana, maka orang itu harus bisa merasakan energi alam. Karena dengan merasakan energi alam, maka orang itu juga bisa merasakan energi mana, karena dasarnya energi mana itu berasal dari alam.
Jadi dengan begitu semua orang yang bisa mengontrol energi mana akan bisa menggunakan sihir. Disisi Arc yang tengah duduk di potongan pohon yang mungkin 10 meter dari tempat remaja itu, tengah melihatnya dengan tatapan kasihan. Sudah 4 hari Dika belum bisa mengontrol energi mana.
Luar biasa menurutnya karena anak-anak berusia 7 tahun saja sudah bisa mengontrol energi mana dalam beberapa hari. Kasus seperti Dika adalah pertama kali ia melihatnya. Lalu terlintas suatu hal yang bisa jadi ada kemungkinan.
"Apa karena anak ini dari dunia lain, jadi raga dan alam ini tak saling menerima ?" gumamnya bertanya-tanya.
Arc menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak-tidak, bahkan para pahlawan dari dunia lain di zaman dulu saja bisa mengontrol energi mana." lalu ia memperhatikan Dika kembali.
"Seharusnya dia juga bisa." tambahnya.
Sedangkan Dika, ia masih bersila dan terlihat sangat tenang, meski dalam pikirannya sedikit kacau, dalam pikirannya membanding-bandingkan tempat didik di dunia ini dan dunia asalnya, sangatlah berbeda. Masa iya hanya untuk mendaftar masuk ke akademi harus bisa menggunakan sihir.
Tadinya yang terlihat serius, tiba-tiba Dika menguap, dan itu membuat salah sudut bibirnya Arc berkedut. Bisa-bisanya menguap saat disuruh fokus untuk merasakan energi alam.
"Bagaimana ? Apa kau sudah bisa merasakannya ?" tanya Arc dengan nada sedikit berteriak.
Tak menjawab, Dika hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Lagi-lagi Arc menghela nafasnya. "Terus selama kau bermeditasi, kau ngapain saja ? Tak mungkin kau tak bisa merasakan apa-apa, ini sudah hari keempat."
Dika terlihat berfikir. "Aku cuma ngerasain angin hutan, aroma hutan, dan suara hewan, dan ocehanmu." jawabnya.
Bagus, jawaban Dika membuat sudut bibir kanannya Arc berkedut. Lagi dan lagi ia menghela nafasnya. "Sepertinya kau tak memiliki bakat dalam menggunakan sihir."
Dika mengangkat alis sebelahnya. "Jadi..., aku harus bagaimana, apa itu adalah aib di dunia ini kalau tak bisa menggunakan sihir ?" tanyanya dengan nada meremehkan.
Arc menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak. Bukan begitu, orang-orang di dunia ini tak sepenuhnya bisa menggunakan sihir. Perbandingannya hampir sebagian lebih sedikit orang-orang di dunia ini bisa tak menggunakan sihir." ucapnya sambil berdiri dari duduknya.
"Tak bisa menggunakan sihir bukan berarti menjadi halangan orang-orang untuk berhenti maju, karena masih ada banyak pilihan untuk terus maju dalam mencapai tujuan." tambahnya sambil melangkah maju mendekati remaja itu.
Dika tersenyum senang mendengarnya, bukan karena di dunia ini masih banyak yang tak bisa menggunakan sihir seperti dirinya, melainkan cara hidup mereka yang tak berhenti untuk menyerah, karena benar apa yang dikatakan Arc barusan, ada banyak pilihan untuk terus maju dalam menjalani kehidupan.
Arc pun menepuk dahinya. "Astaga, aku melupakan satu hal."
"Apa itu ?" sahut Dika.
"Sebenarnya untuk masuk ke akademi tak harus bisa menggunakan sihir. Karena di tempat itu memiliki 2 jurusan, jurusan ilmu sihir dan jurusan ilmu bela diri." jawab Arc.
Mendengar itu, sudut bibir kanan Dika berkedut. "Kalau begitu, kenapa aku dipaksa belajar ilmu sihir ?!?!" tanyanya dengan perasaan kesal.
Arc menggaruk-garuk kepalanya yang gatal. "Hehehe, aku lupa, secara aku adalah seorang penyihir, jadi aku tak kepikiran untuk mengatakannya."
Mendengar jawaban Arc, sudut bibir kanannya Dika berkedut. Alasan macam apa itu, bilang saja kalau dirinya terlalu terobsesi dengan ilmu sihir, itulah kata-kata yang di kepala remaja itu. Ingin sekali menghajarnya, tapi Dika urungkan, karena Arc adalah orang tua dan pandai menggunakan sihir, bisa-bisa dirinya dibuat babak belur atau kena hukum karma.
lanjutkan