Terima atau tidak, mau tak mau manusia harus menerima kenyataan itu. Bahwa mereka terlahir dengan apa adanya mereka saat ini. Sayangnya manusia tak bisa memilih akan dilahirkan dalam bentuk seperti apa. Kalau bisa memilih, mungkin semua orang berlomba-lomba memilih versi terbaiknya sebelum lahir ke dunia.
Terkadang hal istimewa yang Tuhan beri ke kita justru dianggap hal aneh dan tidak normal bagi manusia lain. Mereka berhak untuk berkomentar dan kita juga berhak memutuskan. Mencintai diri sendiri dengan segala hal istimewa yang Tuhan tuangkan dalam diri kita adalah suatu apresiasi serta wujud syukur kepada sang pencipta.
Sama seperti Nara, yang sudah sejak lama menerima kenyataan hidupnya. Sudah sejak dua tahun lalu ia menerima panggilan spiritual di dalam hidupnya, namun baru ia putuskan untuk menerimanya tahun lalu. Semua hal perlu proses. Termasuk peralihan kehidupan menuju hidup yang tak pernah ia jalani sebelumnya.
Sudah setahun terakhir ia menjadi ahli pembaca tarot.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Dipa Pratiwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ritual Pengusiran Pertama
Baron berjalan lebih dulu di depan. Mencoba meyakinkan gadis itu jika tidak ada hal buruk yang akan terjadi. Namun tetap saja Nara masih merasa ketakutan. Terlebih saat pria itu bilang bahwa mereka akan melakukan penangkapan roh jahat yang diduga berasal dari dalam lemari.
"Jadi, siapa yang akan menjadi umpannya?" tanya Baron tiba-tiba.
Nara mendadak gelagapan. Ia tak tahu harus menjawab apa. Yang jelas, ia tak mau jika harus sampai dijadikan sebagai umpan.
"Hanya ada kita berdua di sini," kata Baron.
Itu berarti salah satu dari mereka akan menjadi umpannya.
"Kau mau mencobanya?" tawar pria itu.
Nara langsung menggeleng dengan cepat, menolak tawaran Baron mentah-mentah.
"Jika kau yang menjadi umpannya, ia hanya akan menggunakan tubuhmu sebagai alat berkomunikasi denganku. Akan ku pastikan tidak ada yang tersakiti apalagi sampai terluka," jelas pria itu dengan tenang.
"Tapi jika aku yang menjadi umpannya, maka kau tak boleh ragu dalam mengambil keputusan. Kau harus bertindak cepat dan tepat untuk menyelamatkan kita," sambungnya.
Baron memberikan dua pilihan kepada gadis itu untuk mengambik peran sebagai umpan atau sebagai master yang akan menghabisi roh itu nantinya. Dengan begitu banyak pertimbangan dan negosiasi alot dengan dirinya sendiri, Nara memutuskan untuk menjadi umpan saja. Sepertinya itu jauh lebih baik. Setidaknya Baron memberikan jaminan mereka akan selamat setelahnya. Lagi pula akan cukup beresiko jika Nara yang mengambil alih tugas pria itu. Nara tak pernah melakukan ritual pengusiran sebelumnya. Bertindak tanpa jam terbang yang cukup, akan sangat membahayakan. Jadi ia mempercayakan semuanya pada pria itu.
Baron mulai mengeluarkan sehelai selendang sutra suci dengan panjang sekitar tiga meter. Cukup untuk dijadikan sebagai tali pengikat. Ia mengikatkannya di tubuh Nara, sementara sisi lainnya di sebuah tiang balet.
Ia sengaja melakukan ini untuk berjaga-jaga. Roh jahat yang masuk ke tubuh Nara nantinya akan jauh lebih mudah dikontrol dalam keadaan terikat seperti ini. Membatasi pergerakannya adalah salah satu langkah awal untuk melumpuhkan lawan.
"Pastikan jika kainnya sudah terikat dengan kuat," kata Baron sambil mengencangkan simpulnya.
"Cobalah memberontak dengan sekuat tenaga, aku mau tahu sekuat apa kainnya menahan tubuhmu," perintahnya.
Gadis itu lantas segera melakukan perintah Baron dan syukurnya kain ini masih terikat dengan aman.
Pria itu kemudian mengeluarkan sebilah pedang yang selalu ia bawa kemana-mana. Terutama pada saat ritual pengusiran seperti ini. Dan tentu saja yang terpenting adalag ayamnya.
Mereka percaya jika ayam mampu menyerap energi negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan roh jahat itu.
"Kau sudah siap?" tanya Baron.
Gadis itu mengangguk pelan, mengiyakan perkataan Baron. Jujur ini adalah pertama kalinya ia terlibat langsung dalam ritual pengusiran. Nara hanya berharap agar semuanya baik-baik saja dan berjalan sesuai dengan rencana.
Nara berdiri di tengah-tengah ruangan dengan kondisi tubuh yang terikat kain sutra suci. Sementara di sisi lain Baron sibuk berkomat-kamit merapalkan mantra. Sesekali bersiul. Konon katanya bersiul bisa mengundang mereka untuk datang.
Tidak perlu waktu lama, sosok yang mereka maksud sudah hadir di sini.
"Bersiaplah Nara!" peringati Baron.
Berselang satu detik kemudian, suasana menjadi hening. Benar-benar sunyi dan mencekam. Baron berhenti merapalkan mantra dan mulai bergerak mendekati Nara yang sepertinya sudsh kerasukan. Hal itu tampak jelas dari sorot matanya yang berubah drastis. Mendadak menjadi sangat tajam.
"Dengan siapa di sana?" tanya Baron.
Namun gadis itu sama sekali tak menjawab. Ia hanya tersenyum dengan mengangkat salah satu sudut bibirnya.
"Siapa kau?" tanya Baron lagi.
"Bukan urusanmu!" gertak gadis itu.
Kini giliran Baron yang tersenyum tipis. Sudah jelas jika ini bukan Nara, ia telah dirasuki.
"Jelas urusanku, tempat ini adalah milikku sekarang. Dan aku tak mengizinkanmu untum berada di sini lagi," jelas Baron dengan tenang.
"Jika aku tak mau pergi, bagaimana?" tanya sosok yang merasuki Nara.
"Maka aku yang akan mengusirmu dengan cara paling mematikan," jawab Baron.
"Jadi, kau ingin pergi dengan baik-baik atau aku yang memaksamu pergi?" tawar pria itu.
"Tidak dengan keduanya," jawab sosok tersebut.
"Sudah ku peringatkan untuk tidak menantangku," balas Baron.
Pria itu lalu menggoreskan pedang tersebut berkali-kali ke lengannya. Namun tak ada luka sedikit pun. Ini lah yang ingin dia pamerkan pada sosok tersebut, bahwasanya ia kebal dan kuat. Agar sosok itu tak berani main-main dengannya.
"Sekali lagi kuberikan kesempatan untuk meninggalkan tempat ini secara baik-baik," ujar Baron.
"Jangan memaksaku!" tegas sosok itu.
Tak punys pilihan lain, Baron lantas membaca mantra setelah penawaran terakhir darinya di sia-siakan.
Reaksi sebaliknya timbul dari sosok itu. Ia meronta-ronta tak karuan. Terkadang menjerit histeris. Baron cukup menikmati pemandangan tersebut. Sambil tetap membaca mantra, ia mulai meraih ayam yang dibaawanya tadi. Menunggu waktu yang tepat untuk menyerang. Dan...
'SRATTT!'
Ketika waktunya sudah ditentukan, Baron dengan cepat mengarahkan pedangnya ke agam tersebut. Hingga membuatnya terluka dan kehilangan nyawa secara perlahan. Nyawanya pergi bersamaan dengan roh jahat yang ikut dengannya.
Di saat yang bersamaan pula tubuh Nara ambruk, lemas tak berdaya. Dengan cepat Baron menyelesaikan rangkaian ritualnya, lalu berlari menghampiri Nara. Gadis itu tak sampai kehilangan kesadaran. Ia sukses mengontrol dirinya sendiri.
"Kau baik-baik saja?" tanya Baron lalu melepaskan ikatannya.
"Ya," balas Nara singkat.
Untuk memastikan jika tidak ada energi negatif yang tersisa di tubuh mereka, Baron lantas menyapukan tubuhnya dengan beberapa genggam garam yang ia ambil. Begitu pula dengan Nara. Ia harus memastikan jika semuanya baik-baik saja setelah ritual.
Sementara menunggu Nara merasa jauh lebih baik, Baron segera menempelkan beberapa kertas jimat. Serta tak lupa untuk membakar dupa di setiap sudut ruangan.
Setelah memastikan jika semuanya selesai, Baron membantu Nara untuk turun ke bawah dan memberikannya air putih untuk menetralisir tubuhnya.
"Bagaimana? Apakah buruk?" tanya Baron.
"Hanya sedikit melelahkan," jawab Nara apa adanya.
Meski hanya menjadi umpan, tapi energi Nara benar-benar terkuras habis. Apalagi menjadi Baron. Mungkin ia sudah tak sadarkan diri lagi. Tapi jam terbang berhasil membuktikan hal tersebut. Baron masih tampak baik-baik saja setelahnya. Seolah yang tadi itu bukan apa-apa. Nara harus mengakui kehebatan pria itu.