Mendadak Jadi Sugar Baby

“Wah, mobil baru nih, panen ya, Mir?” goda salah seorang tetangganya saat melihat sebuah mobil towing sedang menurunkan mobil di depan rumah Mira.

Tak menjawabnya, Mira tak mau menanggapi suara sumbang tetangganya.

Amel yang baru bangun tidur pun keluar rumah dengan wajah penuh takjub, mobil impiannya kini benar-benar secara nyata bisa ia miliki, padahal baru kemarin ia minta dibelikan.

Segera ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, lalu berjalan masuk kembali ke dalam rumahnya.

“Om, terima kasih banyak ya, Amel suka sekali mobilnya. Uh, sayang Om banyak-banyak, muaaah,” ucapnya manja.

“Sama-sama, Sayang. Jangan lupa janjinya ya, gaya baru,” jawab Om Rehan dari ujung panggilan.

Baru juga serah terima mobil, tiba-tiba rumah mereka kedatangan tamu tak diundang, seorang wanita usia 35 tahunan mendatanginya dan langsung menampar Mira dengan keras.

Mira yang tak terima, ganti menampar wanita tersebut, tapi berhasil ditangkisnya.

“Dasar emak-emak peyot, sudah tua bukannya tobat, malah maksiat! Saya tahu kamu semalam main sama suami saya! Dasar murah!” labrak wanita itu.

“Heh, jaga mulutmu! Aku tidak pernah menawarkan diri, tapi suamimu yang mau! Tanya dia, kenapa ingin bermain denganku, mungkin karena permainanmu tak bagus!" Mira tak mau kalah.

Wanita itu kembali menampar Mira sekali lagi, hingga membuat ibu Amel itu terjatuh, sedangkan wanita itu langsung pergi begitu saja.

Sontak Amel yang baru saja menutup teleponnya, berlari menolong sang ibu yang terjatuh. “Ibuuu.”

Tak disadarinya, beberapa tetangga menonton aksi pelabrakan ini, hingga membuat Amel pun mengusir mereka semua.

***

Setelah kejadian malam itu, Binar terus menangis. Batinnya terguncang. Ia trauma. Makanan yang diantar oleh asisten rumah tangga pun tak ada yang disentuhnya.

“Tuan, sudah dua hari ini Nyonya tidak mau makan, wajahnya pucat,” lapor Yuli pada tuannya.

Adrian bergegas turun tangan mendatangi Binar di kamar.

“Jangan banyak drama! Jangan suka akting di depanku, dasar wanita sok suci!” Adrian masih mengeluarkan amarahnya.

Ia lalu menyodorkan piring pada Binar dan memaksanya makan. Binar yang masih enggan untuk makan, terpaksa harus mendapat kekerasan lagi dari suaminya. Adrian menjejalkan makanan ke mulut Binar hingga makanan itu jatuh semua ke lantai.

Sedangkan Binar hanya bisa menangis menunduk.

Sejujurnya, seperti ada rasa iba dalam diri seorang Adrian, tapi di satu sisi, jika mengingat kondisi sang ibu yang sudah tak berdaya, ia begitu marah pada istrinya itu.

Tanpa memedulikan Binar, ia berjalan keluar dari kamar.

“Ambilkan dia makanan yang baru dan paksa dia makan!” titah Adrian pada seluruh ART-nya.

Sementara ART Adrian yang tengah berkumpul di dapur, membicarakan perlakuan tuannya.

“Aku hampir tidak percaya Tuan Adrian bisa sekasar itu. Aku yang mengasuhnya sedari kecil, tahu benar dia bukan lelaki yang jahat. Tuan berubah ketika orang tuanya sering bertengkar dulu sampai akhirnya ibu sakit,” ujar Yuli, selaku ART tertua, yang dulu pernah menjadi ART di rumah orang tua Adrian.

Hingga saat malam harinya, Adrian meminta Nia menyampaikan pesannya pada Binar, untuk mengantarkan makan malamnya di kamarnya di lantai 2.

ART tersebut langsung melaksanakan perintah tuannya, dengan meminta Binar mengantarkan makan malam untuk suaminya. “Ini bakinya, Nyonya, hati-hati. Kamar Tuan Adrian tepat di sebelah kiri tangga.”

Dengan wajah pucat, Binar membawa baki menuju kamar suaminya.

Saat sampai di depan kamarnya, samar-samar ia mendengar suara suaminya yang sepertinya tak sendirian, melainkan juga terdengar suara seorang perempuan. Hatinya tiba-tiba merasa gelisah. Setelah mengetuk pelan, ia membuka pintu kamar.

Benar saja, dilihatnya Adrian sedang bercumbu dengan seorang wanita berpakaian terbuka, di meja kerjanya. Mereka tampak bercanda mesra satu sama lain. Seketika baki yang Binar bawa terjatuh.

Tak terganggu dengan suara pecahan piring dan gelas kaca, Binar masih terus memandangi suaminya. Hatinya tiba-tiba sakit melihat pemandangan ini, seakan telah ada getaran cinta dalam dirinya, meski Adrian telah memperlakukannya dengan buruk. Sakit yang ia rasakan sejak pernikahan saat itu, seakan tak ada apa-apanya dibandingkan dengan sakit hatinya malam ini.

Tak menyadari pecahan piring di bawahnya, Binar berlari begitu saja ingin kembali ke kamarnya, hingga kakinya tertusuk pecahan kaca dan berdarah.

“Arrgghhhh.”

Sedangkan Adrian hanya memandangi istrinya sedikit panik dengan keadaan kakinya, meski ia juga tak dapat menolongnya langsung.

***

Di sudut lain kota Jakarta, seorang wanita sebaya Binar, tengah mondar-mandir tak jelas. Raut wajahnya memperlihatkan kecemasan yang luar biasa. Berusaha menenangkan dirinya, ia menarik nafas berkali-kali, dan mengeluarkannya perlahan.

“Tenang, Biani, tenang. Bukan kamu pembun*hnya. Kecelakaan itu murni karena insiden semata, bukan karenamu,” ucapnya menguatkan dirinya sendiri.

...****************...