Cinta datang tanpa diundang. Cinta hadir tanpa diminta. Mungkin begitu yang dirasakan oleh Halim saat hatinya mulai menyukai dan mencintai Medina-gadis yang notabene adalah muridnya di sekolah tempat dia mengajar.
Halim merasakan sesuatu yang begitu menggebu untuk segera menikahi gadis itu. Agar Halim tidak mengulangi kesalahannya di masa lalu.
Apakah Halim berhasil mendapatkan hati Medina?
Apakah Medina menerima cinta dari Halim yang merupakan Gurunya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ils dyzdu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Reno : [Lim. Elu gak ke rumah? Nih Bagas udah di sini.]
Halim yang tadinya masih sibuk memandangi foto Medina, mengernyit saat membaca pesan dari Reno.
[Oke! Gue otw.]
Halim mengambil jaket dan kunci motornya. Tak lupa Halim mengenakan helm sebelum memacu motor kesayangannya itu.
Hanya beberapa menit, Halim sudah sampai di rumah Reno.
“Assalamu’alaikum,” ucapnya saat masuk.
“Wa’alaikumsalam, Ustadz.” Bagas menjawab dengan kekehan.
“Lim, dah datang?” Reno datang membawa minuman kaleng dingin dan meletakkannya ke atas meja.
Halim mengangguk seraya mendudukkan dirinya di sofa. “Tumben pagi-pagi udah disuruh ke rumah. Ada apaan?”
“Gak ada,” jawab Reno enteng. Dia mengambil satu kaleng minuman dan meneguknya.
Halim berdecak. “Ck! Padahal gue ada kerjaan tadi di rumah.”
Padahal kerjaan yang dimaksud Halim adalah memandangi foto Medina di layar hp.
“Kita udah lama gak touring. Kapan-kapan touring, yok?”
Halim dan Reno menoleh pada Bagas yang sibuk makan kacang, lalu mereka saling tatap.
“Gimana, Lim?” Reno mengangkat dagunya pada Halim.
Halim menaikkan alisnya sebelah. “Kok nanya gue?”
“Ya iya, dong! Diantara kita bertiga, kan elu yang paling sibuk!”
Halim merotasikan bola matanya. “Banyak cerita! Ayo kapan?”
Reno dan Bagas terkekeh dengan sumringah.
“Bener elu bisa, Lim? Asiik.” Bagas tepuk tangan dengan semangat. “Enaknya bawa pasangan ya, kan?”
“Nah, itu! Kalau nunggu kita dapat pasangan, entah kapan akan berangkatnya,” cicit Reno.
“Tapi waktu yang cocok pas liburan sekolah aja. Gimana? Gue sama Reno 'kan masih ngajar. Gimana menurut elu, Gas?”
Bagas manggut-manggut. “Ya udah, gas ajalah! Sebentar lagi juga liburan!”
“Ya, ya gue setuju.”
“Assalammu’alaikum.” Terdengar suara lembut sang pengucap salam dari luar rumah.
Halim tersentak. Dia spontan menoleh ke arah luar.
‘Itu suara Medina.’
“Eh, tunggu, ya! Calon jodoh gue datang!” Reno segera bangkit dan ngacir keluar.
Bagas menepuk dada Halim pelan. “Elu suka kan sama Adek itu?”
Halim terkesiap lalu tersenyum tipis. “Apa kelihatan, ya?”
Bagas menggeleng dan terkekeh. “Kelihatan banget, tahu! Kalau elu suka, perjuangkan! Jangan sampai keduluan sama Reno.”
“Memang Reno suka, ya?”
Bagas mengedikkan bahu. “Tapi dari tingkahnya ‘sih iya.”
Halim menghela nafas. “Gas, biar elu tahu, Adek itu murid gue di sekolah.”
Bagas yang lagi minum langsung tersedak. “Whaaat? Beneran, Lim? Emang dia kelas berapa?”
Halim mengangguk. “Iya bener. Kelas XI.”
Bagas geleng-geleng kepala. “Ck, ck! Emang kalau jodoh kagak ke mana, ya.”
Halim terkekeh dan dalam hati mengaminkan apa yang diucapkan Bagas.
“Awal gue ketemu malah bukan di sekolah.”
“Lah, jadi di mana, Lim?”
“Gue kehujanan waktu pulang ngajar dan gue neduh di halte dekat sekolah. Gak lama, Adek itu datang dan meneduh di sana juga.”
Halim tersenyum dengan pandangan lurus ke depan. Bagas yang memperhatikannya pun sontak ikut tersenyum.
“Di sekolah dia kayak mana, Lim?”
“Dia beda dari yang lain, Gas. Dia kalem, tenang dan santai. Terus gaya pakaian dia yang gue suka. Pokoknya dada ini berdebar terus kalau lihat dia.” Halim memegang dada kirinya.
Bagas terkekeh dan menutup mulutnya dengan genit. “Ceileeeh. Babang Halim akhirnya membuka hati juga.”
Halim tersenyum. “Gas, elu mau kan bantuin doa supaya gue lancar dekatin Adek itu?”
Bagas berdecak. “Ck! Ngapain cuma berdoa!” Bagas bangkit lalu menarik tangan Halim keluar dari markas nge-band mereka. “ayo! Gue bantu juga elu secara nyata!”
Bagas merasa gemas sendiri melihat Halim. Dari dulu Halim kalau suka sama perempuan, tidak mau langsung terus terang.
“Gas! Gas! Elu mau ngapain?” protes Halim yang tangannya ditarik begitu saja oleh Bagas.
Di luar, Medina sedang mencatat pesanan Mama Reno yang sudah disampaikan pada Reno. Karena Mamanya sedang pergi keluar.
Melihat keributan antara Halim dan Bagas, membuat Medina dan Reno menoleh.
Medina mengernyit. “Pak Halim?”
Deg, deg. Jantung Medina berdebar kala melihat penampilan Halim kali ini. Halim terlihat berbeda, ketika memakai celana jeans hitam dan kaos oblong berwarna senada yang melekat sempurna dengan tubuhnya yang atletis itu.
Medina langsung menundukkan pandangannya dan segera beristighfar. Karena tanpa sadar dia sudah melihat dan mengagumi bentuk tubuh seseorang yang bukan mahramnya.
Bagas menarik Halim hingga mendekat pada Medina dan Reno.
“Eh, ngapain kalian? Ganggu aja!” sungut Reno.
“Iihh, biarin! Ini Halim mau lihat anak muridnya,” cecar Bagas yang membuat Halim dan Medina tersentak dan kemudian saling tatap sekilas.
Reno berbinar. “Bener Adek ini anak murid elu, Lim? Wah! Wah!” Reno mengedipkan matanya sebelah pada Bagas yang sudah terkekeh.
Sebenarnya Bagas sudah cerita pada Reno, perihal Halim yang sepertinya-suka pada gadis pengantar tempe ke rumah Reno beberapa hari yang lalu.
Reno yang awalnya memang suka pada Medina, memilih mengalah demi sahabatnya-Halim, yang notabenenya pernah gagal menikah.
Lagi pula Reno hanya sekedar suka saja, tidak untuk melangkah lebih jauh.
Karena Halim tidak menjawab dan terlihat salah tingkah, Reno malah ingin bertanya pada Medina yang sibuk mencatat dengan grogi pula.
“Dek, bener Pak Halim guru Adek di sekolah?”
“Ceileeeh. Pak Halim gak tuh!” Bagas menggoda Halim. Halim menepuk kesal lengan Bagas.
Medina mengangkat wajahnya dan menolehkan kepalanya sekilas ke Halim yang ternyata sedang memandanginya.
Kemudian dia menoleh pada Reno dan mengangguk. Jujur saja, dalam hati Medina begitu grogi karena ada gurunya di sini. Mana tampan banget lagi orangnya.
“Asey geboy!! Dek, katanya Pak Halim mau jadi langganan tempe juga, nih.” Reno menahan geli melihat Halim yang sudah melotot padanya.
“Iya, Dek. Pak Halim dari dulu suka banget makan tempe,” sambung Bagas yang sudah bersiap menahan serangan dari Halim.
Medina grogi. Lagi-lagi dia melirik pada Halim yang ternyata masih setia menatapnya.
“Lim, elu lihatinnya jangan gitu, dong. Adek ini jadi takut, kan?”
Halim terkesiap. Ingin sekali rasanya dia memukul kepala Reno.
“Egh, pesanannya udah siap aku catat, Bang. Nanti aku tinggal bilang sama Ibu.”
Reno mengangguk dan tersenyum. “Oh, iya, Dek?”
Melihat Reno memasang senyum sok manis begitu pada Medina, entah kenapa Halim kesal sendiri jadinya.
“Egh, Pak Halim jadi pesan tempenya?”
Halim tersentak kemudian tersenyum pada Medina yang menatapnya sebentar, lalu menunduk. “Eh, Apa, Dek?”
Bibir Medina yang semula terkatup karena grogi, langsung terbuka sedikit mendengar Halim memanggilnya dengan sebutan ‘Dek’. Entah kenapa, ada rasa yang tidak bisa dia artikan di dalam hatinya.
Sedang Reno dan Bagas sudah mulai menggoda Halim lagi. Mereka benar-benar gemas dan agak sedikit kesal dengan Halim.
“Ayo cepat ngomong, Pak Halim. Jangan grogi gitu dong, Pak Halim!” goda Bagas.
Halim kembali melotot dan mengepalkan tangannya ke udara ke arah Bagas.
“Dek, Abang pesan tempenya, ya?” Halim akhirnya memberanikan diri untuk bicara pada Medina.
Medina mengangkat wajahnya tidak percaya.
“Hah?”
.........****........
zaina kaget lihat rmh raina jadi gudang sampah
jangan jangan selangkah maju dari musuh y lim
Om Ocong Vs Mbak Kunti Ngasih iklan