NovelToon NovelToon
Maaf Yang Terlambat

Maaf Yang Terlambat

Status: tamat
Genre:Tamat / Konflik etika / Anak Kembar / Masalah Pertumbuhan / Keluarga / Persahabatan / Teman lama bertemu kembali
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Rianti Marena

Konon tak ada ibu yang tega 'membuang' anaknya. Tapi untuk wanita seperti Ida, itu sah-sah saja.
Lalu tidak ada yang salah dengan jadi anak adopsi. Hanya, menjadi salah bagi orang tua angkat ketika menyembunyikan kenyataan itu. Masalah merumit ketika anak yang diadopsi tahu rahasia adopsinya dan sulit memaafkan ibu yang telah membuang dan menolaknya. Ketika maaf adalah sesuatu yang hilang dan terlambat didapatkan, yang tersisa hanyalah penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rianti Marena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keceplosan

Deru motor khas milik Senja mendekat, berhenti. Suaranya dari halaman depan rumah, berhenti persis di depan garasi.

"Woyyy! Pada ke mana, sih? Adaw! Apa, sih, Nja? Main timpuk kepala orang!" Fajar mengusapi kepala belakangnya yang ditimpuk telapak tangan Senja. Padahal tadinya ia riang dan sangat bersemangat untuk menyapa orang-orang di rumah. "Itu tangan buat motret, jangan buat nimpuk kepala orang. Ntar aku jadi bodoh. Tahu, nggak?"

Mendengar Fajar berkata demikian, Senja mundur dan terdiam. Katanya, "Emangnya kamu udah pernah pintar? Kapan, Jar?"

Fajar membalas dengan membuat mimik jelek.

"Kalau masuk rumah itu mbok ya biasakan kasih salam dulu. Menyapa. Biar sopan. Tahu etika, nggak, sih?"

Diomeli begitu, Fajar memutar bola matanya. Memang sudah sejak lahir mereka punya tabiat berbeda. Senja itu sok dewasa. Semua serba ada aturannya. Harus begini. Harus begitu. Kalau enggak begini dan begitu, salah. Pokoknya salah. Lain dengan dirinya yang serba ingin bebas, tidak terkekang oleh aturan ini dan itu, larangan tidak boleh begitu begini dan begitu.

Sayangnya, sejengkel apapun dirinya terhadap Senja, selalu saja hati nuraninya memaksa untuk mendengarkan semua ocehan Senja. Terlepas dari dia memang melakukan kesalahan atau tidak, pokoknya yang penting dengarkan Senja sampai ia selesai bicara. Nuraninya tahu persis, Senja bersikap semenyebalkan itu semata karena menyayanginya, peduli kepadanya.

"Udah?" Tanya Fajar.

"Apanya?"

"Ngomelnya," terang Fajar.

Dan hanya dijawab, "Hm."

"Ya udah, sana, disapa dulu. Kasih salam. Katamu biar sopan. Nanti kalau tetangga dengar dikira kita nggak diajari etika. Gih!"

Senja yang sudah surut emosinya kini tersulut lagi. Matanya melirik Fajar lalu mendelik jengkel. "Yo kamu, to! Kok malah nyuruh aku? 'Kan kamu tadi yang salah. Makanya aku tegur, biar kamu paham kesalahanmu. Cepat! Kasih salam!"

Tanpa diduga, Fajar memetik selembar daun dari pohon beranting pendek yang ada di dekat mereka. Pohon itu memang pohon salam yang daunnya memiliki aroma khas. Biasanya Budhe Suryani atau Ibu sering memetiknya untuk keperluan dapur.

Daun itulah yang diambil Fajar. Lalu dilayangkannya daun itu ke teras depan rumah seperti melayangkan pesawat kertas. Melihat perbuatan Fajar, Senja terpana.

"Kasih salam, Jar! Ngapain kamu kasih daun salam ke teras? Kotor, 'kan?"

Lalu kata Fajar kalem, "Katanya suruh ngasih salam? Ya itu, udah, to?"

"Salam sapa, Jar! Selamat malam. Aku pulang. Kami pulang. Halo, Pak, Bu, Budhe! Gitu. Malah lempar daun. Please, deh, Jar! Anak kecil aja mesti paham yang aku maksud, kok. Hash, mbuhlah. Mangkel, aku!"

'Kan, 'kan, drama 'kan? Fajar mendumel dalam hati. 'Ya udah, deh, Jar. Nggak usah dibikin panjang. Ngambeknya bisa seabad, tuh!' Alhasil, Fajar mengalah.

"Halooo, selamat malam, sugeng dalu, anybody home?"

"Nah, gitu dong," kata Senja akhirnya, lalu mendului masuk rumah. Fajar diam mematung, sengaja.

Geleng-geleng kepala adalah reaksi ekstrim jika diperlihatkan kepada Senja pada saat-saat sensitif semacam ini. Maka, Fajar bergeming sampai Senja tidak terlihat lagi olehnya.

Demi menghindari saudara sedarahnya kembali bertanduk, Fajar memilih untuk melakukan afirmasi positif versinya sendiri. Itu pun dengan suara yang super lirih.

"Aku ganteng. Aku nggak kelebihan berat badan. Aku terlahir baik hati dan tidak sombong. Aku disukai semua orang. Aku baik-baik saja walau semua orang di dunia ngomel dan ngoceh berlebihan tak beraturan. Aku paham bahwa aku nggak gitu paham banyak hal aneh dan unik di dunia, yang mana salah satunya adalah Senja," Fajar terdiam sebentar. Lalu sambungnya cepat, "...emm kadang-kadang. Aku cerdas. Aku jenius. Aku kaya. Aku loveable. Aku bebas merdeka. Aku bahagia. Aku luar biasa."

Setelah beberapa kali menghela nafas panjang, Fajar pun menyusul ke dalam. Langsung menuju dapur. Maka, tampaklah pemandangan di teras belakang.

"Woy, baru pada ngapain? Kok rame-rame?"

Mendengar suara kakaknya, Rani langsung bersorak girang. "Asiiik, bala bantuan datang! Tepat waktu banget. Sini, Mas!"

Senja yang baru saja keluar dari kamar kecil melangkah di belakang Fajar. Matanya menelusuri aneka kotak kardus dan tumpukan album yang berjejer di lantai. Beberapa lembar foto bahkan bertebaran dengan letaknya yang telah diatur. Entah untuk apa. Sementara itu, kakaknya, adik bungsunya, juga Budhe Sur melantai dengan pose ternyaman masing-masing. "Album foto lama, nih, kayaknya," ujarnya lalu ikut melantai. "Wiih, ada foto kamu pas ultah kelima, Dik!" Senja menunjuk selembar foto di dekatnya, menggeser foto itu kepada Rani. "Ingat, nggak, waktu itu kamu nangis karena kue ulang tahunmu hancur kena bola dari Fajar?"

"Gara-gara kamu, yo, Nja! Kamu godain aku. Terus bolaku meleset," kilah Fajar. Diliriknya Senja penuh rasa kesal, tepatnya pura-pura kesal. Dia ingat betul peristiwa yang disinggung Senja. Bagaimanapun ketika tragedi kue tart itu terjadi, dirinya adalah target keisengan Senja. Kue tart ulang tahun itu adalah korban sekaligus bukti ulah saudara kembarnya. Sampai hari ini Fajar masih menyesalkan kejadian itu meski ia tahu ia tidak bersalah. Walau demikian, Fajar tidak marah sekalipun saudara-saudarinya kerap menggodanya dengan kejadian serupa. Fajar tahu, mereka hanya bercanda.

"Ooh, jadi gara-gara Mas Fajar ulang tahun kelimaku berantakan?" Rani ikut menggoda.

"Aku tuh nggak sengaja. Kangmas sayang dedek bungsu sampai ke bulan dan punggung, wis. Beneran, Bungsu! Mbak Nuri bantuin lah!"

Nuri melirik galak menantang, "Wani piro? Ha-ha-ha!" Tawa jahat Nuri mendadak lenyap kala ia terheran-heran dengan sebuah foto lama. "Haaakok ada foto ini, ya? Ini foto-foto siapa? Ada Ibu. Ada Bapak. Emm, lah, yang masih ABG ini sekilas mirip Budhe. Tapi, masak Budhe, sih?"

Fajar dan Rani mendekat. Mereka ikut memperhatikan foto yang dimaksud Nuri. Benar, dalam foto itu ada wajah kedua orang tua mereka versi remaja dewasa. Ada pula wajah lainnya yang tanpa mirip seperti Budhe Suryani.

"Nggak mungkinlah. Umur Budhe 'kan lebih tua dari Ibu. Masa Ibu udah dewasa, muka Budhe masih remaja?" Sebagai anak paling logis, Senja langsung mematahkan asumsi kakaknya. "Mana, lihat? Paling juga itu saudara, tetangga, atau siapanya Budhe Suryani. Iya nggak, Budhe?"

Orang yang dipanggil mendekat. "Oo, iya, itu adik sepupu Budhe Sur. Dulu sering diajak main bareng. Kenapa? Mirip Budhe, ya, mukanya?"

"Nah, iya, 'kan? Apa kubilang? Beneran saudara sepupu Budhe. Emm. Lho? Lhooo!" Senja malah heboh sendiri kala mendapati sebuah foto lain pada lembar album yang sama. Sikapnya pun mengundang rasa penasaran kembarannya.

Fajar pun mendekat. "'Lho-lho' apa, sih? Kamu heboh lihat foto siapa?" Lalu dijawab Senja dengan jari telunjuk mengarah pada foto yang ia maksud. Fajar memandangi foto yang dimaksud. "Hmm. Lho? Kok kita punya foto ini? Ini 'kan bapaknya bakal kandidat Mas calon ipar kita. Iya benar, deh."

Senja mengangguk yakin. "Benar, 'kan, Jar? Aku nggak salah lihat, 'kan? Ini foto yang sama dengan yang kita lihat di rumah kakak tingkatmu?"

"Ho-oh. Sama. Tapi, kok Bapak Ibu bisa punya foto yang sama?"

"Aaah, aku nggak paham deh, kalian ngomongin apa. Budhe, emang orang di foto ini siapa, sih?" Si bungsu ikut penasaran.

"Hm? Oo. Itu foto Om Yunus. Adiknya Ibu yang sudah lama meninggal."

Jawaban singkat itu membuat keempat anak muda yang mendengarnya bersorak kaget. "Haah?"

Sedetik kemudian orang yang menjawab pun tersadar, ia telah melakukan kesalahan besar.

...*...

Suryani berdiri takut-takut. Ia dipenuhi rasa bersalah. Jemari tangannya tak hentinya gemetar. Tubuhnya mulai basah oleh keringat dingin. Ia tahu telah berlaku sembrono meski tanpa sengaja. Kini konsekuensi apapun siap diterimanya asalkan mendapat maaf.

Di depannya Ayunita dan Gunung sedang tercengang. Gunung terdiam, masih mencerna laporan asisten rumah tangga mereka dan memikirkan apa sebaiknya yang mesti dilakukan untuk mencegah bencana yang mengancam keluarganya. Lain lagi istrinya. Ayunita kini telah naik pitam. Digebraknya nakas kayu jati di sisi tempat tidurnya.

BRAK!

"Hiih! Bisa-bisanya kamu menyebut-nyebut nama Yunus di depan anak-anak! Siapa yang kasih izin kamu bicara soal itu? Siapa?"

Dengan sedih dan menyesal, Suryani menunduk. "Maaf, Bu. Saya salah. Saya betul-betul lupa kalau soal itu masih rahasia, termasuk album-album foto lama itu, Bu."

Mendengar itu Ayunita malah semakin marah. "Lupa? LUPA? Whuah! Budhe itu ikut kami sudah lama, lo! Bertahun-tahun. Semua yang terjadi di keluarga ini, yang baik, yang buruk, yang membanggakan, yang memalukan, yang boleh dikatakan dan yang harus dirahasiakan, Budhe juga tahu. Lha kok bisa rahasia sepenting itu Budhe lupa?"

Suryani jatuh berlutut di tempatnya. Ia menangis penuh sesal. "Iya, Bu. Maaf, saya khilaf. Saya sungguh-sungguh minta maaf. Tidak akan saya ulangi. Janji, Bu."

"Bu, sudah to. Sabar. Nadanya tinggi terus, lo. Sabar sedikit to, Bu," bujuk Gunung terhadap istrinya.

"Yo nggak bisa! Kayak gini kok disuruh sabar? Kalau anak-anak sampai tahu soal Yunus, Ida, dan semua tragedi yang terjadi di keluarga kita, memangnya Budhe mau bertanggung jawab?"

Kemarahan Ayu membuat Suryani makin deras menangis. "Mohon maaf sebesar-besarnya, Ibu. Saya mohon maaf. Saya tidak pernah punya niat buruk, apalagi sama keluarga Ibu dan Bapak. Saya juga sayang sama keluarga ini."

"Lha kalau memang betul sayang, kenapa mulut itu nggak dijaga?" Ayunita naik pitam.

"Bu, cukup! Tahan amarah Ibu. Sudah, Bu, cukup marah-marahnya. Budhe sudah paham dengan teguran Ibu. Tidak perlulah kasar dan bersikap sejauh itu. Budhe sudah mengakui dan menyesali kesalahannya. Sudah, cukup. Tidak perlu diperkeruh. Monggo, Budhe kembali ke kamar dan istirahat. Soal ini tidak usah dibahas lagi."

Gunung menyilakan Suryani keluar dari kamar tidurnya. Berharap dengan begitu kemarahan istrinya sedikit mereda. Ia hafal betul, emosi Ayu kalau sudah tersulut memang akan butuh waktu untuk dipulihkan.

Suryani bangkit berdiri perlahan. "Iya, Pak, maturnuwun. Sekali lagi saya mohon maaf karena tidak becus menjaga mulut saya. Maaf ya, Bu, saya sudah bikin Ibu dan Bapak kecewa. Maaf. Saya permisi, Bu, Pak."

"Iya, iya, monggo, Budhe," timpal Gunung lalu menghela napas panjang, melepas penat setelah pintu ditutup dari luar oleh Suryani. Tinggallah ia berdua dengan istrinya.

"Bapak itu terlalu lembek. Sikap Bapak tidak menyelesaikan masalah. Kemarahan Ibu belum selesai." Ayunita menyambar tas tangan di nakas lalu bergegas keluar kamar. Dibantingnya pintu keras-keras, meluapkan kemarahan.

BRAKK!

"Astaga, Tuhanku! Ealahh, barrr, sabar." Gunung hanya bisa mengelus dada. Ia sendiri masih bingung, bagaimana harus menyikapi situasi ini. Bagaimana pun ia harus membicarakan hal-hal yang dihindari istrinya selama bertahun-tahun. Sebab sudah bisa dipastikan, anak-anak mereka akan banyak melontarkan pertanyaan setelah foto lama itu ditemukan.

"Ohhh, Tuhan. Aku harus bagaimana? Aku dan istriku harus menjelaskan dengan cara seperti apa?"

...*...

1
Sabina Pristisari
yang bikin penasaran datang juga....
Rianti Marena: ya ampun.. makasih lo, udah ngikutin..
total 1 replies
Sabina Pristisari
Bagus... dibalik dinamika cerita yang alurnya maju mundur, kita juga bisa belajar nilai moral dari cerita nya.
Sabina Pristisari: sama-sama... terus menulis cerita yang dapat menjadi tuntunan tidak hanya hiburan ya kak...
Rianti Marena: makasih yaa..
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!