"Seharusnya aku tahu, kalau sejak awal kamu hanya menganggap pernikahan ini hanya pernikahan kontrak tanpa ada rasa didalamnya. Lalu kenapa harus ada benihmu didalam rahimku?"
Indira tidak pernah mengira, bahwa pada suatu hari dia akan mendapatkan lamaran perjodohan, untuk menikah dengan pria yang bernama Juno Bastian. Indira yang memang sudah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Juno, langsung setuju menikah dengan lelaki itu. Akan tetapi, tidak dengan Juno yang sama sekali tidak memiliki perasaan apapun terhadap Indira. Dia mengubah pernikahan itu menjadi pernikahan kontrak dengan memaksa Indira menandatangani surat persetujuan perceraian untuk dua tahun kemudian.
Dua tahun berlalu, Indira dinyatakan positif hamil dan dia berharap dengan kehamilannya ini, akan membuat Juno urung bercerai dengannya. Namun takdir berkata lain, ketika kehadiran masa lalu Juno yang juga sedang hamil anaknya, sudah mengubah segalanya.
Apa yang akan terjadi pada rumah tangganya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma Kirana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Kembali Rumah Papa!
Diantara Indira dan Dikta yang kenal 6 tahun lalu dalam sebuah insiden membuat mereka berdua semakin dekat setiap harinya. Terlebih lagi Dikta memang bekerja di rumah sakit negeri singa itu. Dia dan Devan juga cukup dekat, sehingga mereka tidak berbicara formal satu sama lain, alias sudah akrab.
Rupanya Dikta salah mengira, bahwa selama ini Indira sudah berstatus janda dan bercerai dari suaminya. Mungkin secara agama iya, mereka sudah bercerai. Akan tetapi secara hukum negara, perceraian mereka belum sah. Sebab, mereka masih terdaftar sebagai pasangan suami istri di KUA.
"Indira, yang tadi datang kesini itu... Kalau nggak salah dia mantan suami kamu kan?" Dikta mengulang lagi pertanyaannya, karena Indira yang tak kunjung menjawab dan hanya diam saja.
"Sebenarnya-"
"Iya Kak, benar. Pria yang tadi ada di depan gerbang itu adalah mantan suami kakak saya," kata Hilman yang menjawab lebih dulu pertanyaan dari Dikta kepada Indira. Sontak saja Indira menoleh dengan tajam kepada adiknya itu yang berbicara tidak sesuai dengan fakta
Wajah Dikta langsung berubah kala mendengar jawaban dari Hilman. Sorot matanya tampak menggelap.
"Jadi, kamu dan Devan sudah bertemu dengan mantan suami kamu itu ya?" tanya Dikta dengan raut wajah yang sedih.
"Iya Mas. Kami tidak sengaja bertemu dipesta bosnya Hilman," jelas Indira. Entah kenapa Indira merasa tidak enak menjelaskan semua ini kepada Dikta, sedangkan Dikta bukanlah siapa-siapanya.
"Oh begitu ya. Jadi aku terlambat lagi?" gumam Dikta pelan, kedua tangannya terkepal diatas paha. Dentuman dadanya terasa menyakitkan terdengar olehnya sendiri, hatinya berkecamuk dan pikirannya mulai dikuasai oleh spekulasi negatif.
'Apa Indira akan kembali pada mantan suaminya itu? Apa aku terlambat?' kata Dikta dalam hatinya. Dia merasa terlambat.
"Maaf Mas, mas bicara apa barusan? Aku nggak dengar, karena suara Mas pelan?" tanya Indira dengan kening berkerut seraya menatap Dikta yang tampak gelisah, juga tampak sendu.
"Enggak, aku nggak ngomong apa-apa kok. Aku cuma mau bilang kalau aku kangen sama Devan!" dusta Dikta sambil tersenyum guna menyembunyikan kesedihan dan pertanyaannya dalam hati.
"Oh, iya Mas. Nanti mas bisa bertemu sama Devan kalau dia sudah bangun," kata Indira sambil tersenyum. "Diminum dulu ya Mas," imbuhnya lagi seraya menyodorkan kopi yang selalu dinikmati oleh Dikta setiap kali berkunjung ke rumah itu.
"Makasih Indira." Dikta mengucapkan terimakasih, lalu dia pun mengambil cangkir berisi kopi kesukaannya itu dan meneguknya perlahan.
Dreet...
Dreet...
"Oh ya Kak Indira, Kak Dikta, saya permisi dulu ke belakang ya. Ada telpon," ucap Hilman yang berpamitan kepada kakaknya dan juga Dikta, karena dia memiliki telpon penting.
Hilman bergegas pergi dari sana dan meninggalkan Indira dan Dikta di ruang tengah. Hening di sana, tak yang memulai percakapan lebih dulu.
"Eum...Indira gimana pekerjaan kamu? Apa kasus bu Santi berjalan baik?"
Akhirnya Dikta memiliki bahan pembicaraan agar mereka bisa berbicara seperti biasa. Entah kenapa Dikta merasa tidak nyaman dengan kehadiran Juno yang baru saja bertemu Indira.
"Alhamdulillah, semuanya berjalan baik Mas. Terimakasih atas dukungan Mas. Aku tahu kalau Mas yang sudah banyak membantuku dan Bu Santi," kata terimakasih Indira ucapkan kepada Dikta yang selama ini banyak membantunya. Bahkan Dikta juga adalah salah satu orang yang merekomendasikan Indira ke kampus terbaik di sana, juga memperkenalkan Indira kepada orang-orang yang memiliki jabatan tinggi. Pada akhirnya, apa yang dilakukan oleh Dikta itu membuat perubahan besar dalam hidup Indira. Indira jadi mengenal klien-klien yang bisa dipercaya dan menjadi pengacara tersohor dengan banyak penghargaan.
"Jangan berterima kasih sama aku, itu semua berkat usaha dan kerja keras kamu sendiri. Aku hanya memberi jalan," kata Dikta sambil tersenyum lembut.
'Dari dulu Mas Dikta sangat baik padaku, selain menyelamatkanku dan Devan dari ambang kematian. Mas Dikta banyak sekali membantuku' kata Indira dalam hatinya. Dia merasa kagum dan bersyukur karena Dikta menghadirkan sebagai penolongnya.
'Oh God, sebenarnya aku ingin sekali bertanya pada Indira. Apakah dia akan kembali kepada mantan suaminya? Tapi, kenapa bibirku ini tidak bisa bertanya demikian dan hanya bisa menyimpannya dalam hati'
Dikta sungguh gelisah karena harus menyimpan pertanyaannya dalam hati. Sungguh, dia tidak nyaman dan penasaran dengan Indira.
"Tapi...tetap saja aku harus berterimakasih pada Mas Dikta. Sebenarnya rasa terimakasih saja tidak cukup untuk mas Dikta, atas apa yang Mas lakukan selama ini," ucap Indira lagi dengan tulus.
"Jika Mas ingin meminta sesuatu, bantuan atau apapun itu, Mas bisa minta bantuan aku! Aku akan membantu Mas Dikta, sebisa mungkin," imbuhnya lagi dengan bersungguh-sungguh.
"Aku tidak mengharapkan apa-apa dari kamu Indira, aku tulus membantu kamu dan Devan. Tapi, kalau kamu memang ingin membantuku, aku memang butuh bantuan."
"Bantuan apa Mas?"
"Untuk sekarang belum ada, tapi nanti aku akan bilang, saat aku membutuhkan bantuan dari kamu!" kata Dikta dengan senyuman lembut yang menunjukkan dua lesung pipinya yang menawan itu.
Seketika Indira langsung menundukkan wajahnya, setiap kali dia melihat senyuman Dikta. Akhir-akhir ini dia merasa aneh. 'Ya Allah, tolong jauhkan perasaan ini dari hatiku. Karena sesungguhnya perasaan ini tidak pantas untuk kumiliki"
"Ya udah Mas, nanti kalau Mas Dikta butuh sesuatu. Mas bisa minta bantuan sama aku," kata Indira dengan senyuman hangatnya seperti biasa, namun kepalanya masih menunduk malu.
"Mama!" Devan terlihat berlari menghampiri ibunya. Lantas dia pun menoleh ke arah Dikta yang ada di sana.
"Eh...ada om doktel ganteng! Halo Om!" sapa Devan seraya menghampiri Dikta dan menyalami tangan pria itu dengan sopan.
"Halo jagoan! 1 minggu nggak ketemu kamu, om dokter kangen terus bawaannya. Nggak sabar pengen jalan-jalan sama Devan, besok." Dikta menyayangi Devan, dia bahkan terlihat nyaman saat Devan duduk dipangkuannya. Mereka terlihat seperti ayah dan anak.
"Becok ya? Aduh, maaf om dokter...kita jalan-jalannya lain kali aja ya. Soalnya hali besok Devan ada janji," ucap anak laki-laki itu menjawab dan dia menolak janji mereka sebelumnya untuk jalan-jalan pada hari esok.
"Loh? Kenapa? Janji sama siapa? Sama Mama kamu?" tanya Dikta seraya menatap anak laki-laki berwajah polos itu.
"Iya, sama Mama sama Papa juga. Kita mau pulang ke rumah Papa di Jakarta," kata Devan dengan senyuman polosnya.
Dikta dan Indira terkejut mendengar perkataan Devan, yang mengatakan kalau ia dan ibunya akan pulang ke Jakarta bersama dengan papa Devan? Juno?
"Apa maksud kamu? Siapa yang akan pulang ke Jakarta!" tanpa sadar, Indira membentak putranya itu. Seketika Devan pun tercengang, mendengar suara mamanya yang membentak.
****
Di hotel tempat Juno menginap, dia sedang berbicara dengan asistennya yaitu Wildan. Mereka sedang membicarakan jadwal Juno selama di Singapore dan lusa rencananya Juno akan pulang ke tanah air.
"Itu saja Pak, lusa nanti kita akan kembali ke Indonesia," kata Wildan menutup pembicaraan dan pembahasan mereka seputar pekerjaan.
"Ya, Wildan."
"Oh ya, pesankan 3 tiket lagi untuk ke Jakarta lusa nanti."
"3 tiket lagi, Pak?"
"Iya, karena saya juga akan pulang bersama dengan anak dan istri saya," jawab Juno sambil melihat foto Devan yang tadi diambilnya dan langsung dijadikan wallpaper di ponselnya. Foto Devan diedit dengan foto Viola menjadi satu. Dua kesayangannya.
"Anak bapak? Istri bapak? Maaf, bukankah nona Viola ada bersama dengan bu Lusi dan bu Sheila di Bali?" kata Wildan yang rupanya belum mengetahui tentang Indira dan Devan.
****
penyesalan mu lagi otw juno