Marsha Aulia mengira, ia tidak akan pernah bertemu kembali dengan sang mantan kekasih. Namun, takdir berkata lain. Pria yang mengkhianatinya itu, justru kini menjadi atasan di tempatnya bekerja. Gadis berusia 27 tahun itu ingin kembali lari, menjauh seperti yang ia lakukan lima tahun lalu. Namun apa daya, ia terikat dengan kontrak kerja yang tak boleh di langgarnya. Apa yang harus Marsha lakukan? Berpura-pura tidak mengenal pria itu? Atau justru kembali menjalin hubungan saat pria yang telah beristri itu mengatakan jika masih sangat mencintainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Sandra Bertemu Marsha.
Aldo mengerutkan dahi ketika melihat mobil Rafael tiba-tiba berhenti di depan lobby hotel. Waktu menunjukkan pukul delapan pagi, pria itu tidak pernah datang sepagi ini jika tidak ada hal penting.
Ah, seketika Aldo menepuk dahinya. Tentu sekarang ada hal penting di hotel yang ingin Rafael lihat. Apalagi jika bukan tentang Marsha.
Maka, Aldo pun menormalkan raut wajahnya. Ia berdiri di depan meja resepsionis untuk menunggu sang atasan.
“Selamat pagi, bos.” Sapa Aldo sedikit membungkuk. Ia menunjukan adab kesopanan di depan para pekerja hotel, agar menjadi contoh yang baik.
Rafael membalas dengan mengangguk pelan. Aldo pun mengikuti langkah sang atasan.
“Mau sarapan, bos?” Tanya Aldo ketika Rafael berjalan menuju restoran.
Rafael mendengus kesal. “Kamu tahu apa yang aku cari.” Ketusnya.
“Tetapi yang bos cari tidak ada, dia sedang libur.” Jawab Aldo.
Rafael pun menghentikan langkahnya. Sontak membuat Aldo juga ikut berhenti.
“Tahu darimana kamu?” Selidik Rafael.
Aldo mengedikan bahu. “Aku mencari tahu sebelum kamu perintahkan. Sudah aku katakan, aku ingin memastikan dia tetap berada disini dan tidak lari lagi.”
Rafael menatap lekat asisten sekaligus sahabatnya itu. Aldo terlihat jujur dengan ucapannya.
Sedetik kemudian, Rafael memutar langkah menuju lift yang akan membawanya ke kamar pribadi pria itu.
Tadinya, ia begitu bersemangat untuk datang ke hotel supaya bisa melihat Marsha. Walau gadis itu menghindarinya, paling tidak Rafael bisa melihat dari dekat. Namun siapa sangka jika gadis itu sedang tidak bekerja hari ini.
“Dia tinggal dimana, Al?” Tanya Rafael saat mereka sudah berada di kamar pribadi pria itu.
Sebuah kamar hotel bertipe President Suite Room. Tipe kamar paling mewah dengan fasilitas lengkap di hotel itu.
Aldo tak langsung menjawab. Ia menatap sang atasan dengan tatapan yang sulit di artikan.
“Jangan gila, Raf. Dia bisa benar-benar pergi jika kamu sampai mendatangi tempat tinggalnya.”
Rafael memang tidak tahu di gedung apartemen mana para Staff cabang dari Bali tinggal. Ia tidak pernah seratus persen mengurus hotel itu selama ini, karena fokusnya masih mencari keberadaan Marsha.
Namun, sepertinya setelah saat ini, Rafael akan menghabiskan lebih banyak waktunya di hotel daripada di kantor. Ia akan mengerjakan pekerjaannya di kamar ini.
“Aku hanya ingin berbicara dengannya.” Tukas Rafael. Ia berjalan menuju dapur untuk membuat secangkir kopi.
“Tetapi Marsha tidak mau berbicara denganmu, bos.” Jawab Aldo yang mengundang tatapan tajam dari atasannya.
“Sepertinya kamu tahu banyak tentang Marsha, Al. Jangan katakan jika kalian sering bertemu di belakangku?”
Kepala Aldo menggeleng pelan. “Kami memang beberapa kali bertemu. Tetapi, di pertemuan pertama aku sempat bertanya tentang kabar dia lima tahun lalu, dan Marsha tidak ingin membahas hal itu. Mungkin luka yang kamu goreskan begitu dalam, Raf. Karena itu, Marsha tidajk ingin mengingatnya.”
\~\~\~
Rasa khawatir Marsha sebelum berangkat ke Jakarta dua bulan yang lalu, kini menjadi kenyataan. Pria yang telah pergi begitu saja lima tahun lalu, dan membuatnya merasakan sakit hati, sekarang kembali menganggu hidupnya.
Rafael Haditama, mantan kekasih dan cinta pertamanya itu kini berstatus pria beristri dengan seorang anak. Tetapi, kemarin dengan lancangnya pria itu memeluk dan mengatakan merindukan Marsha. Sungguh gadis itu tidak habis pikir. Pria macam apa Rafael itu.
Tidak ingin otaknya terus di penuhi dengan bayang-bayang masalalu, Marsha memutuskan untuk pergi ke sebuah pusat perbelanjaan untuk menikmati hari liburnya.
Waktu akan terbuang percuma, jika kita hanya berdiam diri dan memikirkan sesuatu yang tidak berguna. Lebih baik pergi berbelanja untuk menghibur diri sendiri.
Tiba di salah satu pusat perbelanjaan dengan menumpang taksi, kedai es krim kekinian adalah tujuan pertama gadis itu. Kata orang, makanan manis bisa merubah mood buruk menjadi baik. Jadi, Marsha pun memilih es krim untuk memperbaiki suasana hatinya.
“Ah rasanya segar sekali.” Ucap Marsha setelah menyuap sesendok es krim vanila ke dalam mulutnya.
“Eh.”
Dia menunduk. Mendapati seorang balita perempuan menabrak kakinya.
“Es klim.” Ucap gadis itu menengadah. Menatap es krim di tangan Marsha.
Gadis berusia dua puluh tujuh tahun itu kemudian berjongkok. Mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan balita itu.
“Kamu mau es krim?” Tanya Marsha.
Gadis kecil itu mengangguk sembari menatap ke arah tangan Marsha.
“Tetapi kamu datang dengan siapa?” Marsha melihat ke sekeliling, tidak terlihat ada orang tua yang panik mencari anaknya.
“Sama mama sama bibi.”
Marsha menuntun gadis kecil itu untuk duduk di atas bangku yang tersedia di depan gerai es krim.
“Kamu duduk dulu. Tante akan belikan kamu es krim. Jangan kemana-mana, oke?” Marsha meletakkan es krim miliknya di samping balita itu. Ia akan membelikannya es krim, setelah itu baru mengantar anak itu ke pihak keamanan Mall, jika tidak ada orang tua atau keluarga yang mencarinya.
Gadis kecil itu menganggukkan kepalanya. “Oke tante.”
Kurang lebih sepuluh menit, Marsha telah kembali. Ia membelikan es krim vanila dan stroberi untuk gadis kecil itu.
“Aku tidak suka lasa strobeli, tante.” Balita itu menolak cup es krim yang di berikan oleh Marsha.
“Kenapa? Stroberi itu enak loh. Kamu mau coba?”
“Karena papa tidak suka. Katanya, stobeli itu asem.” Cara balita itu berbicara sangat menggemaskan.
Marsha mencebikan bibirnya. Ia teringat dengan Rafael yang juga tidak menyukai stroberi, karena buah berwarna merah dengan biji pada kulitnya itu dominan memiliki rasa asam.
“Kamu coba dulu sedikit. Ini sudah di olah. Jadi, rasanya tidak seasam buahnya.” Marsha menyendok seujung sendok plastik, kemudian menyodorkan di depan bibir balita itu.
Gadis kecil itu mengembungkan kedua pipi, matanya mengerejap beberapa kali, hingga ia setuju untuk mencicipinya.
“Bagaimana? Tidak asam ‘kan?” Tanya Marsha lagi.
Dan gadis kecil itu mengangguk. Ia pun meraih cup es krim dari tangan Marsha.
“Thank you, tante baik.” Ucapnya kemudian.
Senyum merekah terbit di bibir Marsha. Ia merasa jatuh hati dengan bocah kecil itu. Rambut hitam dengan panjang sebahu, hidung mancing, dan kulit yang sangat bersih. Marsha yakin, balita ini pasti anak orang kaya.
“Safa.”
Suara seoarang wanita terdengar meneriakkan sebuah nama. Marsha menoleh kebelakang, dan gadis kecil itu pun melompat turun dari atas bangku.
“Mama.” Ia berlari ke arah seorang wanita yang sedang duduk di atas kursi roda. Ada wanita dewasa lainnya— Marsha yakin itu bibi yang di maksud oleh balita tadi, sedang mendorong kursi roda itu.
“Kamu kemana saja? Mama khawatir, sayang.” Wanita di atas kursi roda itu meraih tubuh sang putri, kemudian memangkunya.
“Es klim, mama.” Balita itu memperlihatkan cup es krim yang ia bawa.
“Kamu beli pakai apa?” Tanya sang mama bingung.
“Itu, tante cantik.” Balita itu menujuk ke arah depan gerai es krim.
Marsha merasa perlu menjelaskan sesuatu pada orang tua gadis kecil itu, agar tidak di anggap sebagai penculik.
“Maaf, Bu. Karena saya telah lancang membelikan es krim untuk adeknya.” Ucap Marsha dengan sopan. Ia takut jika orang tua balita itu marah karena memberikan jajan sembarangan.
Namun, mama dari balita itu tidak menjawab. Ia hanya melihat Marsha dengan tatapan yang sulit di artikan.
‘Marsha? Dia Marsha ‘kan? Aku tidak mungkin salah mengenalinya.’
Batin wanita itu bergejolak. Bagaimana bisa putrinya sedang bersama mantan kekasih dari suaminya? Dan Safa pun terlihat menyukai gadis itu.
Ya. Balita yang ditemukan oleh Marsha adalah Safa. Anak Sandra dan Rafael. Gadis kecil itu ikut ke mall bersama sang mama yang akan bertemu dengan seorang pemilik butik di pusat perbelanjaan itu. Namun, gadis itu malah pergi ketika melihat seorang anak kecil lain membawa es krim.
“Terimakasih.” Ucapnya kemudian, ia memaksakan bibirnya untuk tersenyum.
“Safa, sudah bilang Terimakasih sama tante?” Tanya Sandra pada sang putri.
“Sudah mama.”
Marsha ikut tersenyum melihatnya. Apalagi, melihat mama balita itu sangat menyayangi anaknya.
“Kalau begitu, saya pamit Bu.” Ucap Marsha. Ia kemudian membungkuk mengusap kepala Safa dengan lembut. “Tante pergi dulu ya, sayang. Lain kali, kamu jangan pergi sembarangan lagi. Kasihan mamanya khawatir.”
Safa menganggukkan kepalanya. “Iya, tante. Nama aku Safa. Senang bisa beltemu dengan tante baik.”