CAMARADERIE : Alesha & Airlangga

Ale sedang sibuk di dapur, ditangannya ada mixer yang membantunya meratakan adonan kue bolu. Di meja makan ada Ara yang memberikan aba-aba dan mengawasi putrinya.

"Habis ini diapakan lagi, ma?" tanya Ale.

"Masukkan ke dalam cetakan, sayang. Habis itu dipanggang." jawab Ara.

"Ocee." beo Ale. Ia memilih cetakan yang berbentuk love lagi. Sambil menunggu kuenya matang, Ale mencuci wadah dan perlengkapan yang tadi ia gunakan.

"Kalau gagal gimana, ma?" tanya Ale. Ia tidak terlalu bisa membuat kue, meskipun sering merecoki Ara di dapur.

"Bikin lagi dong. Ini masih sore, kalau bisa, sampai malam sekalian, sampai kuenya enak." jawab Ara. Ia sangat bangga terhadap anak perempuannya yang begitu berambisi membuat kue sendiri, meskipun ini sudah percobaan yang ke 7 kalinya.

"Terima kasih mama. Gak apa-apa kok uang jajan kakak di potong, soalnya sudah menghabiskan beberapa bahan kue mama untuk sebulan."

"Nggak, sayang, mama malah senang. Itu tandanya mama gak perlu khawatir jika nanti sudah tua dan ingin makan kue, mama hanya tinggal menelpon kakak."

"Kenapa harus ditelpon ma?"

"Kan nanti kakak nikah, terus tinggalnya gak sama mama lagi. Makanya perlu ditelpon kan?"

"Yah, gak usah nikah kalau gitu. Kakak mau sama mama terus." ujar Ale.

"No, sayang. Kan nikahnya gak sekarang, jadi masih banyak waktu untuk hidup bersama mama dan belajar bikin kue." Ara tersenyum.

Saat kuenya sudah matang, Ara menjadi tester pertama untuk menilai apakah kue buatan anaknya layak untuk dimakan atau tidak?

"Enak, kak." puji Ara. Kue buatan anaknya memang enak.

"Serius ma?"

Ara mengangguk. Setelahnya, Ale menghiasi kue itu dan menuliskan kalimat Happy Birthday Kak Genta di atas kuenya.

✨✨✨

Semalam Ale sudah menyusun rencana untuk hari ini. Dadang dan Aidil bersedia membantunya untuk memata-matai Genta. Rencananya, Ale akan memberikan kuenya saat jam istirahat nanti. Biarlah Genta hidup tenang pagi ini, tanpa mendengar teriakan Ale dan juga humor receh gadis itu.

"Apa perlu aku live di ige?" tanya Liona.

"Jangan deh. Cukup di video saja, terus kirim ke aku nanti." jawab Ale.

"Semangat, Le!" Salwa menepuk pundak Ale.

Ale mengangguk. Hingga waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba, Ale berjalan ke kantin sambil membawa kue ditangannya. Di belakangnya ada Liona dan juga Salwa yang memberikan semangat.

HAPPY BIRTHDAY TO YOU

HAPPY BIRTHDAY TO YOU

HAPPY BIRTHDAY HAPPY BIRTHDAY

HAPPY BIRTHDAY TO YOU

Teman-teman Genta yang tahu tentang rencana Ale ikut bernyanyi mengiringi langkah Ale mendekati Genta.

"Selamat ulang tahun kakak ganteng!" seru Ale senang.

Genta menatap Ale dengan sangat tajam. Perempuan di depannya ini benar-benar menguji kesabarannya.

"Tiup lilin du-"

Bruk brak!

Ucapan Ale terhenti bersamaan dengan jatuhnya kue yang tadi ia bawa, pekikan orang-orang tertahan melihat adegan di depan mereka. Dimana Genta dengan sangat tega menghempaskan kue yang dipegang Ale, alih-alih meniup lilin seperti yang seharusnya.

"Gue rasa ini bisa bikin lo berhenti. Gue gak ingin diganggu, apalagi oleh lo. Gue pikir bokap lo yang anggota itu bisa ngajarin lo menjadi perempuan mahal, tapi nyatanya tidak, karena pangkat nya juga bukan perwira kan?"

Ale menatap Genta dengan perasaan campur aduk.

"Kenapa dekatin gue? Karena gue kaya? Karena gue tampan? Karena gue populer? Dan lo ingin panjat sosial lewat gue? Sorry banget, gue gak tertarik dengan cewek miskin kayak lo." cerca Genta seolah tidak memiliki perasaan.

"Nta, udah Nta." Randi dengan cepat menyela.

"Le, sekarang lo balik ke kelas dulu." suruh Aidil. Ia memberikan kode kepada kedua teman Ale untuk membawa Ale pergi.

Tiara tersenyum penuh kemenangan, akhirnya saingannya ditolak secara terang-terangan oleh Genta sendiri. Ia jadi tidak perlu bersusah payah memperingati Ale lagi.

Tiba di kelasnya, Ale dibantu minum oleh Liona. Tatapannya berubah menjadi kosong, seolah kaget dengan reaksi Genta tadi. Apakah pangkat begitu pentingnya? Kenapa materi dan fisik selalu harus didahulukan? Kenapa bukan perasaan dulu?

"Kalian pasti malu yah punya teman miskin dan jelek kayak aku?" beo Ale.

"Nggak, Le. Kamu cantik. Kak Genta pasti berbohong. Kamu adalah nerd tercantik yang pernah aku lihat." jawab Liona cepat.

"Kenapa harus bawa-bawa materi segala sih? Kayak dibawa mati aja. Sialan tuh senior." umpat Johan.

"Gue gak tahu miskin dan kaya itu seperti apa? Yang gue tahu, kita akan bertanggung jawab atas apa yang kita miliki. Le, kita ini hanya segumpal daging yang diberi nyawa, terbuat dari tanah pula, jadi apa yang mesti membuat kita bersifat langit? Jangan sedih lagi yah." Wana menepuk pundak Ale.

"Terima kasih yah semuanya. Maaf sudah membuat kalian repot " ucap Ale.

"Santai jo. Kuy makan makan, sa yang bayar." ajak Johan.

"Asek, ko panen emas kah?" tanya Agam, teman sekelas Ale juga.

"Papa su transfer uang ini dan dilebihkan, makanya sa ajak kalian makan eh." ujar Johan.

"Aku makan di kelas saja. Bawa bekal kok" ucap Ale cepat. Ia masih tidak ingin melihat wajah Genta. Takutnya Genta masih ada di kantin.

"Kita orang makan di kantin maci maaacee Lena sajalah." paksa Johan.

"Iya, ayo Lee!" ajak Liona.

Ale akhirnya setuju. Namun ia tetap membawa bekalnya ke kantin yang berada di belakang sekolah.

"Ale, gue minta bekal lo boleh? Sudah lama gak makan masakan nyokap." pinta Salwa.

Ale mengangguk. Salwa pernah bercerita jika mamanya sudah meninggal sebelum mereka masuk SMA. Mungkin perempuan itu sedang galau dan merindukan mamanya.

"Terima kasih Ale" ucap Salwa.

"Sama-sama." Ale mengangguk.

"Le!" panggil Agam.

"Iya?"

"Gue tahu kalau lo gak semiskin seperti apa yang ada di kepala si brengsek. Kenapa lo gak melawan?" tanya Agam.

Ale menatap satu persatu wajah teman-temannya. Meskipun mereka baru kenal tiga bulan belakangan, Ale bisa merasakan jika teman-temannya ini bisa dipercaya.

"Buat apa melawan, Agam? Gak akan mengubah sesuatu juga kan? Yang benci akan tetap benci." jawab Ale.

Ale tidak menyangka jika hal-hal menyenangkan yang sempat ia bayangkan semalam dan membuatnya kesulitan tidur, sangat berbanding terbalik dengan kenyataan yang ia dapatkan hari ini. Kejutan untuk Genta tadi benar-benar menjadi tamparan tak kasat mata untuknya. Ia memang suka Genta, tapi bukan karena uang, kepopuleran atau apapun itu. Ia hanya suka melihat wajah tampan itu. Tapi Ale pastikan, hari ini akan menjadi hari terakhir ia mengakui ketampanan lelaki itu.

"Makan, Le. Coto lo udah dingin itu " ucap Wana. Sejak tadi ia melihat jika Ale hanya mengaduk-aduk makanannya.

"Iyaa, sabar dulu Wana." nada bicara Ale sudah kembali ceria, membuat teman-temannya yang lain bernapas lega.