Sassy Savannah menempelkan kepalanya di kaca jendela kereta, yang akan membawanya kembali ke tanah kelahirannya. Lima tahun bukan waktu singkat, untuk mengubur kenangan yang telah terjadi. Apalagi harus kembali berhadapan dengan orang dari masalalunya, yang hingga saat ini masih bersemayam di lubuk hatinya paling dalam. Rasanya malas harus kembali bertemu dengan mantan suaminya, yang mencampakkannya dengan semena-mena.
Aidan Darma Saputra, lelaki yang dicintainya sekaligus di bencinya. Dia telah menorehkan sebuah kesakitan, juga sekaligus kebencian dalam jiwanya. Hanya karena sebuah aduan tidak berdasar yang di tuduhkan padanya, dia dengan teganya mencampakkan dirinya.
Dengan kekuatan yang tersisa, Sassy bisa keluar dari istana yang mengurungnya selama ini. Berbekal tekad kuat dan dorongan semangat dari ke dua orangtuanya, Sassy melanjutkan hidup jauh dari lelaki yang di cintainya sekaligus orang yang mematahkan harapannya bisa bersanding hidup bersama sampai ajal memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yaya_tiiara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 : Tamu tak di undang
(POV Sassy 2)
Karena belum memiliki kesibukan, aku bertandang ke rumah orangtua ku. Sambil menenteng rantang berisi masakan kesukaan ayah, aku menyusuri jalanan dengan sepeda motor. Hanya butuh setengah jam, aku tiba di kediaman keluarga ku. Ayah baru saja pulang dari mesjid, saat ku parkirkan motor ku. Beliau terlihat bahagia, ketika melihat ku mampir ke rumah.
"Bagaimana kabarnya, Yah?" tanya ku, begitu beliau membuka pagar. Sambil menerima uluran tangannya untuk ku cium, aku memperlihatkan bawaan ku. "Ayah, aku masak semur jengkol" ucap ku, dengan riang.
"Alhamdulillah, ayah sehat. Benarkah kamu bawa ?!" Ayah terlihat antusias, mengambil rantang bawaan ku. "Ibu mu melarang ayah makan jengkol, katanya kamar mandi jadi bau" adunya, sambil meringis.
"Anaknya di suruh masuk dulu, Yah" Ibu berdiri di pintu rumah, melihat kami yang masih berbincang di halaman. "Kangen-kangenannya di dalam, kasian Sassy kepanasan di jalan."
"Iya, kita minum jus jambu biji merah kesukaan mu. Kebetulan, tadi ayah beli banyak dari penjual keliling."
"Wah, asyik dong. Panas-panas gini, minum yang dingin-dingin" ucap ku tertawa kecil.
Ayah memeluk bahu ku, sambil menjinjing rantang makanan. Aku mengambil tangan Ibu, dan menciumnya dengan takzim begitu sampai di depan beliau.
"Bu, jangan marah ya" aku memeluk Ibu, yang terlihat bahagia melihat kedatangan ku.
"Marah, kenapa?" tanya Wina, dengan dahi mengeryit.
"Aku bawain ayah, semur jengkol. Ibu kan, paling antipati dengan baunya" ujar ku menerangkan.
"Bukan Ibu gak suka, tapi kebanyakan mengkonsumsi jengkol juga gak baik. Sekali-kali sih, bolehlah!"
"Jadi, ibu gak marah kan?"
"Enggaklah! Masa ibu marah sama kamu, yang udah susah payah masak. Udah yuk, kita ke ruang makan. Sekalian, makan siang. Ibu masak banyak, soalnya kamu mau mampir ke sini."
"Iya, Bu. Kebetulan perut ku udah keroncongan, minta di isi."
Kami memasuki ruang makan, di atas meja sudah berjejer menu masakan yang masih mengepul. Ayah duduk di kepala meja, sedangkan aku dan ibu duduk saling berhadapan di kiri kanan beliau.
"Bu, Mas Rian gak makan di rumah."
"Enggak, Mas mu biasanya makan dengan teman-temannya di kantin kantor" ucapnya lembut. Ibu kemudian mengambilkan nasi dan lauknya buat Ayah, yang menunggu dengan sabar.
"Oh, padahal aku ke sini pengen makan bareng."
"Menginap di sini saja, Mas mu pasti senang" kata Ayah, sembari menerima piring yang di sodorkan Ibu.
Setelah piring kami terisi semuanya, Ayah lalu memimpin doa. Kami menikmati hidangan dalam diam, hanya terdengar denting alat makan beradu.
Kami berkumpul di teras rumah ketika selesai makan, dengan jus jambu biji tersaji di meja.
"Nikmat sekali masakan, ibu" puji ku tulus, sembari mengusap-usap perut. "Aku sampe ngantuk, karena kekenyangan."
"Dari dulu juga, masakan Ibu mu paling enak" timpal Ayah, mengacungkan jempolnya.
"Ah, kalian bisa aja" tutur Ibu tersipu.
"Ngomong-ngomong, kamu betah tinggal di rumah baru mu" Ayah melirik ke arah ku, ketika aku sedang mengaduk-aduk jus.
"Sejauh ini, aku betah Yah. Tapi, aku sebel sama tetangga ku."
"Kenapa memangnya? Apa mereka mengganggu mu?" tanya Ayah menyelidik.
"Bukan itu, Yah. Tapi pemilik rumah di depan itu, ternyata Aidan mantan ku."
"Kok bisa?!" pekik Ibu terkejut. "Terus, bagaimana tindakanmu?" lanjutnya.
"Ya, gak gimana-gimana. Aku udah terlanjur pindah, masa harus takut menghadapi Aidan."
"Hadapi saja, kalian kan udah gak ada hubungan apapun" timpal Ayah bijaksana. "Kecuali sudah mengusik kehidupan mu, baru bicara sama Mas mu atau Ayah."
"Tapi, Ibu kok takut Yah" ucap Ibu khawatir.
"Percaya sama anak mu, Bu. Sassy sudah cukup dewasa, lagipula lingkungan di sana cukup kondusif."
"Selama tinggal di sana, apa pernah Aidan mengusik mu?" tanya Ibu penuh selidik.
"Aidan pernah datang bertamu, memberitahu ku untuk menghubunginya bila ada kesulitan" jawab ku menerangkan.
"Biarkan saja, selama tidak mengganggu" ucap Ayah tenang.
Sebuah mobil berhenti di depan rumah, ketika kami tengah berbincang-bincang. Terlihat seorang wanita paruh baya keluar dari kendaraan, yang pintunya di buka oleh sang supir. Aku seperti mengenal wanita itu, dari postur tubuhnya. Tidak salah perkiraan ku, beliau ternyata Ny Riyanti. Dia adalah Maminya Aidan, mantan mertua ku.
"Bukannya itu, Ny Riyanti" bisik Ibu ku.
"Iya, mau apa dia ke sini?" tanya ku pelan.
"Permisi, boleh saya masuk" sapanya sembari membuka pintu pagar.
"Oh, silahkan Bu" balas Ibu ramah, beliau kemudian berdiri dari kursi di ikuti oleh Ayah.
Mereka saling bersalaman, dengan wajah Nyonya Riyanti yang terlihat dingin. Sedangkan pada ku, ia hanya memandang sekilas.
"Silahkan duduk dulu, Jeng" Ibu meminta agar tamunya duduk.
"Enggak usah repot-repot, saya gak akan lama" ucapnya menolak permintaan Ibu. "Saya hanya ingin memperingatkan putri kalian, agar jangan mendekati Aidan lagi."
"Maaf, darimana datangnya berita seperti itu?" tanya ku heran, menyela kalimat yang akan di ucapkan Ayah. Karena ku lihat Ayah geram, dan hendak membalas perkataan mantan besannya itu. "Saya baru tiba dari Surabaya seminggu yang lalu, dan pindah rumah baru dua hari. Saya rasanya, Nyonya salah alamat."
Kini Ibu yang mengusap-usap pundak ku, menenangkan. Hati ku di liputi emosi, yang tiba-tiba menggelegak. Bagaimana aku tidak marah? Tadi pagi anak lelakinya yang berulah, sekarang ibunya juga turut serta.
"Saya mendapat laporan dari calon istrinya Aidan, kalo tunangannya mulai berpaling. Siapa lagi, yang membuat kekacauan? Selain kamu, Sassy. Dulu Aidan seperti orang gila, mencari mu ke sana kemari. Begitu ia mulai bisa menata hatinya lagi, kamu kembali masuk kehidupannya. Mau mu apa sebenarnya? Kalo uang, saya bisa memberikan."
Wajah Ayah merah padam menahan amarah, pastinya ia murka mendengar putrinya selalu jadi pihak yang di salahkan.
"Maaf Jeng Rianty, jangan asal mendengar laporan yang belum tentu kebenarannya. Putri saya tidak pernah mendekati putra anda, malah sebaliknya Aidan yang selalu berusaha menghubungi Sassy. Jadi tanyakan pada putra anda, kebenarannya. Anda tentu paham soal hukum bukan? Tindakan Nyonya yang menuduh tanpa bukti, bisa menjadi bumerang bagi anda." Suara Ayah terdengar agak keras, ia rupanya sudah muak dengan tingkah laku keluarga Aidan. Apalagi Nyonya Rianty yang begitu arogan, mendatangi rumah Ayah tanpa sopan-santun. Harga diri Ayah terinjak-injak dengan kelakuan wanita itu.
"Huh!" dengusnya keras. "Saya akan buktikan, kalau tidak ada kebohongan. Tunggu saja!" ancamannya berapi-api. Nyonya Rianty, lalu berbalik pergi tanpa pamit.
"Enggak ada hujan gak ada angin, kita kedatangan tamu yang gak diundang" kata Ibu, menatap kepergian tamunya dengan nanar.
"Sudah Bu, jangan jadi pikiran. Anggap saja, angin lalu" hibur Ayah menenangkan. "Kamu juga Sassy, kalo Aidan datang ke rumah mu. Usir saja!"
Aku menggangguk tanda mengerti, apa yang jadi ketakutan ku kini terbukti. Satu-persatu, orang dari masa lalu ku bermunculan. Harus mulai waspada, dan menyiapkan amunisi untuk menghadapi mereka.
****