Ia hanya sesosok boneka pada awalnya, hingga satu panggilan membuatnya terjaga.
Bergerak, bicara, bahkan menuruti apa yang kau pinta.
Ia melakukan apapun, asal kau berikan darahmu, sebagai bayarannya.
Namun, jangan sampai lengah! Karena ia akan menghisap jiwamu!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedelapan
“Kenapa kamu tidak menjual boneka buatanmu? Pasti banyak yang berminat,” cetus Deny spontan. Kalau boneka-boneka itu bisa ditukar dengan uang, Deny yakin Maila tidak akan menolaknya.
“Tidak. Mereka semua tidak dijual, mereka temanku,” tegas Maila. Sangat berbeda dengan yang Deny bayangkan sebelumnya. Ada apa sebenarnya dengan Maila?
“Tapi kamu punya sangat banyak.” Deny mengamati boneka-boneka kayu di sekeliling kamar Maila, sepertinya lebih dari delapan boneka.
“Aku senang punya banyak teman.”
“Kamu bisa melakukan itu, Maila. Keluarlah, banyak sekali anak seusia kita di luar sana.”
“Kamu nggak ngerti.” Maila menerawang, masih ingat banyaknya penolakan dari dunia luar hanyak karena ia anak pembantu, yang miskin dan tidak sederajat dengan para tetangganya, Sejak saat itu, Maila bersumpah tidak akan mendekati orang lain. Tidak bergaul dan tidak menganggap mereka ada.
“Nggak ngerti apa? Kamu sendiri yang nggak pernah mau buka diri. Malah sibuk sama teman-teman bonekamu yang jelas-jelas benda mati!” Deny mencibir. Pandangan Maila sontak terarah pada Deny. Ia melebarkan kedua kelopak mata itu. Kali ini Maila benar-benar marah, bukan karena Deny mengatainya, tapi karena Deny menyebut bonekanya hanyalah benda mati.
“Mereka hidup. Mereka bukan benda mati!” jelas Maila penuh penekanan.
“Dasar konyol.” Deny tergelak, pandangannya mencibir. Ia lambaikan tangan ke sekeling, “kalau mereka semua hidup, aku ucapkan salam untuk semua.” Dan Deny merasa sangat bodoh saat berlagak bicara pada boneka-boneka yang berjajar di lantai tersebut.
“Berhenti tertawa, Bodoh!” gertak Maila. Namun hal itu tak membuat Deny diam, remaja itu justru balas mengatakan, “kamu yang bodoh! Mana ada boneka yang hidup?”
Hening. Maila hanya menatap Deny dengan muka datar. Emosinya telah kembali terkontrol. “Mereka bisa diajak bicara, mereka bisa disuruh dan mereka bisa memenuhi permintaanku.”
“Omong kosong!” Deny memutar bola mata dan memutuskan keluar dari kamar Maila.
***
Deny kembali ke kamarnya dengan membanting pintu. Perdebatan dengan Maila barusan cukup menyebalkan. Ia tidak pernah berdebat dengan gadis sebelumnya, tapi Maila itu… ah, sepertinya gadis itu memang sinting. Ia mengatakan hal yang tidak-tidak, pikirannya terlalu berfantasi. Mungkin karena Maila tidak punya teman dan mengidamkan ada yang bisa dijadikan sebagai teman.
Deny meraih tas sekolahnya yang tergeletak di meja belajar, merogoh buku bahasa Inggris dan mulai mengerjakan tugas sekolah. Dengan duduk tenang, Deny mengerjakan tugas itu dengan lancar, dengan sesekali teringat pada Maila. Apa ia tadi keterlaluan, ya? Deny sempat mengatakan hal yang kurang sopan tadi, apalagi Maila hanya perempuan yang pasti memiliki hati yang sangat sensitif. Deny menghembuskan napas lelah, semoga saja Maila tidak tersinggung.
Sepuluh soal dikerjakan Deny tanpa hambatan yang berarti, tinggal mengerjakan tugas esai-nya. Harusnya bisa dikerjakan dalam waktu beberapa menit, Deny akan menyelesaikannya dengan cepat. Ya harusnya begitu, tapi suara derik aneh di pintu kamarnya membuat ia kehilangan konsentrasi.
“Siapa?” tanya Deny namun tak ada sahutan. Suasana pun kembali hening sehingga Deny kembali terfokus pada LKS-nya. Namun, baru mulai menuliskan sesuatu di lembar jawaban, suara derik aneh itu kembali terdengar. Deny mengangkat kepalanya, lantas menutup buku dan melangkah menuju pintu kamar. Saat membuka pintu, Deny tak mendapati sesiapapun yang berdiri di depan pintu kamarnya. Sungguh aneh. Tapi remaja itu hanya mengendikkan bahu dan berlalu, kembali ke dalam kamar. Namun bukan untuk menyelesaikan PR-nya, tapi membaringkan tubuh di atas ranjang.
Ia menggeliat dan menguap. Rasanya mengantuk, berat sekali untuk kembali bangkit dan berkutat dengan pelajaran. Mungkin besok sebelum wali kelas datang Deny akan mengerjakannya di kelas.
Deny menarik selimut tebalnya hingga sebatas leher. Baru memejamkan mata saat Deny melihat lampu kamarnya yang tiba-tiba padam. “Pemadaman bergilir, ya?” tanya Deny, lebih pada dirinya sendiri. “Biasanya tiap hari Jum’at.” Ia meraba meja kecil di sisi ranjang. Deny masih ingat ada senter di sana. Ia tidak suka gelap, jadi selalu menyiapkan lampu senter di dekatnya.
Setelah menemukan lampu senter yang dicarinya, Deny menyalakannya, dan kegelapan di kamar sedikit berkurang. Mata Deny bisa melihat sekeliling yang disorot lampu senter.
Brak! Suara benda jatuh itu berasal dari dekat lemari. Deny langsung menyorot lemari dengan lampu senter dan menemukan sesuatu yang membuatnya tercekat, boneka Salima yang masih setengah jadi itu berdiri di sana. Benar-benar berdiri, tidak bersandar. Wajahnya berbeda dari yang tadi. Deny masih ingat Maila menggukir bibir yang rata pada boneka itu, namun sekarang ia tersenyum mengerikan.
“Huaaaaaa….!”
***
Napas Deny tersengal. Sama sekali tidak terpikirkan hal apapun kecuali segera keluar kamar. Deny menemukan lampu di luar kamarnya masih menyala. Sial, ini makin membuat bulu kuduknya meremang. Boneka tadi, Deny yakin tidak salah lihat. Boneka Salima yang tersenyum padanya. Senyum yang mengerikan. Mengingat ada darah pula yang mengaliri wajah boneka kayu itu membuat Deny makin ngeri. Boneka itu, benar-benar hidup? Itu mustahil, Deny menggeleng lemah. Sangat tidak mungkin jika Deny tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri.
Apa yang dilakukan Maila pada boneka itu?
“Bagaimana, Tuan Pecundang?”
Suara itu membuat Deny membalik tubuhnya. Ada Maila yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya. Melipat kedua tangannya di depan dada dengan gaya begitu congkak.
“Apa maksudnya semua ini?” Deny menatap Maila dengan was-was. “Kamu ngerjain aku?”
Maila angkat bahu. “Salima yang melakukannya untukku.”
Jawaban yang membuat Deny merasa ingin tertawa, tapi di saat yang bersamaan Deny melihat Maila sedang tidak bercanda—lebih tepatnya tidak pernah bercanda. “Omong kosong.”
“Masih nggak percaya?” tanya Maila, dan dengan mantap Deny menjawab, “nggak.”
“Aku nggak masalah meski kamu nggak percaya.” Maila pergi begitu saja, melewati Deny yang masih berdiri terpaku. Masih sulit menerima apa yang terjadi barusan.
“Maila tunggu!” Tahan Deny tanpa menatap Maila, atau sebatas membalik tubuhnya agar menghadap Maila. Gadis itu yang berbalik, “ada apa?”
“Serahkan Salima…” Deny memang tertarik dengan boneka itu sejak pertama kali melihatnya. Meski sangat seram, tapi boneka itu juga membuatnya penasaran. Deny ingin memilikinya.
“Maksudmu?”
“Berikan padaku,” ucap Deny.
“Jangan mimpi…” Baik Salima atau bonekanya yang lain, Maila tidak pernah berniat menyerahkannya pada siapapun. Maila membuat boneka itu untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain.
“Aku akan bayar.” Bahkan berapapun yang diminta Maila, Deny tidak akan keberatan. Tapi sayangnya, Maila tidak tertarik sama sekali. Dengan tegas Maila menjawab, “aku tidak menjualnya.”
“Jika boneka itu memang teman-temanmu, buktikan. Buktikan padaku dengan jelas.”
“Setengah jam lagi, kutunggu di halaman belakang.”
Deny hanya diam ketika Maila pergi.