Raden Syailendra Atmajaya, pria kota dengan kehidupan yang liar, terpaksa menikah dengan Sahara, gadis desa yang cantik dan baik, karena perintah dari kedua orang tuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sisile, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 8
Pagi yang cerah di kawasan perumahan di kota itu, Sahara melangkah keluar rumah dengan langkah ceria. Dia membawa kantung sampah yang penuh dengan harapan menyambut kebersihan baru di awal hari. Saat dia tiba di bak sampah depan rumah mereka, sesuatu yang tidak biasa menarik perhatiannya.
Sebuah mobil yang terparkir tepat di depan gerbang rumah mereka, dengan jendela tertutup rapat. Sahara terkejut, tidak pernah sebelumnya ada yang memarkirkan mobil di depan rumah mereka seperti itu. Dengan cepat, dia memanggil suaminya, Raden, yang sedang berada di dalam rumah.
Raden, segera melihat ke luar jendela dan heran melihat mobil tersebut. Dia bergegas keluar dan mendekati Sahara.
“Ada apa?” Raden bertanya kepada Sahara yang menunjuk ke arah mobil.
Pintu pengemudi langsung terbuka, nemampilkam sosok pria dengan tampang sedikit berantakan. Dia adalah Marcel, yang disusul pula oleh tiga pria yang tak lain adalah Karel, devan dan Romi. Wajah ketiganya tak kalah berantakan seperti Marcel. Raden bisa menebak bahwa tadi malam mereka mabuk sepulangnya dari klub.
“Kalian kok bisa ada di sini?” Tanya Raden dengan keheranan.
Marcel, dengan rambut berantakan dan mata yang masih terpejam, berusaha mengumpulkan kesadarannya untuk berbicara, "Raden, kami... kami ngeliat lo keluar dari rumah ini tadi malam. Lo kemana aja sih?" Marcel memijit keningnya yang masih terasa pusing dengan mata menyipit.
Raden memandang mereka dengan campuran antara heran dan kebingungan. Bagaimana bisa mereka menemukannya di rumah ini?
Karel, yang memegang ponsel dengan alamat rumah mereka, berkata dengan lesu, "Kami dapat info ada yang liat lo disini, makanya kami kesini. Lo kemana aja sih bangsat? Kita nyariin lo tau ga?”
Mereka terus saja mengomeli Raden dengan kata-kata kasar yang sangat jarang didengar oleh Sahara.
Sahara, yang sedari tadi berdiri di samping Raden, menatap mereka dengan sorot mata sedikit takut. Belum lagi bau alkohol yang sangat kuat menguap masuk ke dalam pernafasannya. Berantakan, Kasar, bebas , itulah yang Dapat Sahara nilai terhadap mereka. Menurutnya pria-pria itu terlalu frontal dalam berujar. Sahara mulai menemukan beberapa sisi lain dari suaminya. Apakah anak muda Jakarta memang seperti ini?
Ketika Karel, Marcel, Devan, dan Romi melihat Sahara berdiri di samping Raden, kebingungan dan kejutan melintas di wajah mereka. Mereka saling pandang, tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Hati mereka dipenuhi oleh prasangka dan asumsi yang salah.
Karel, yang sering kali spontan dalam memberikan komentar, akhirnya mengucapkan apa yang ada di pikirannya, "Eh buset cakep amat nih cewek, Raden, ini siapa? Gila lo ya ada main sama anak di bawah umur."
Sahara merasakan keheningan yang memenuhi udara dan melihat ketidakpercayaan dalam mata mereka. Dia merasakan adanya luka di dalam hatinya yang baru terbentuk mendengar kata itu, tetapi dia memahami bahwa mereka hanya khawatir tentang Raden.
Raden, dengan suara yang tenang namun penuh keyakinan, berbicara kepada teman-temannya, "Dia Sahara, istri gue. Lagian dia udah delapan belas tahun kok, bukan di bawah umur lagi."
Ketidakterpercayaan dan kebingungan mulai terbaca di wajah Karel, Marcel, Devan, dan Romi. Mereka tidak tahu apa yang harus dipikirkan atau diucapkan. Mereka masih belum percaya hingga Sahara, dengan hati yang terbuka dan penuh pengertian, berkata, "Benar kak. Saya istrinya kak Raden.”
Devan dan Romi mengangguk setuju, menunjukkan ekpresi yang sama. “Eh serius? Kapan kalian nikah? Kok mendesak gitu? Jangan bilang kalo istri lo hamidun?”
“Apaan sih lo? Ya enggak lah.”
“Wahhh gilaa. Kapan lo nikah? Bangsat.. lo nikah kok kagak ngundang-ngundang kita sih?” karel terlihat kesal.
“Ya enggak lah. Kita nikah baik-baik kok.”
“Lah terus kenapa buru-buru banget? Perasaan baru dua minggu yang lalu deh kita ketemu.”
“Ceritanya panjang, gue males buat ngejelasin.”
“Kita ga percaya.”
“Bodo amat.”
“Makanya lo jelasin ke kita biar kita ga penasaran.”
Akhirnya Raden pun mengalah dan menjelaskan kepada teman-temannya bahwa ia menikahi Sahara karena dijodohkan. Mereka mendengarkan penuturan Raden dengan kondisi antara percaya dan tak percaya. Mereka seperti masih belum bisa mencerna kabar tersebut dengan baik.
“Kalian udah tau kan alasannya? Sekarang kalian mending pergi deh dari rumah gue. Ganggu tau ga?”
“Anjirr, kita malah diusir.”
“Idihh, giliran udah punya bini aja lo sekarang ngusir kita. Ga asik lo,” sinis Karel.
Sahara menjadi merasa sedikit bersalah atas omongan Karel. Ia tidak berniat untuk membuat Raden menjauhi teman-temannya. Sahara pun mengambil inisiatif. “Ga usah pulang dulu kak. Kita sarapan dulu, kebetulan aku masak banyak.”
Karel yang mendengar itu langsung begitu antusias. “Wihh, boleh tuh.”
“Yee…makan gratis.”
Sahara mempersilakan Mereka untuk masuk ke dalam rumah dengan ramah. Sementara Raden hanya mengikutinya dengan wajah datar dicampur sedikit tidak suka.
“Cuci muka dulu kak, biar seger,” Sahara mendorong pintu kamar mandi, dan mereka berhenti disana.
“Hehe, iya Sahara,” angguk mereka. “Duh, udah cantik pengertian lagi,” Puji karel yang sudah entah ke berapa kali.
Sahara hanya tersenyum membalasnya. Sementara karel yang langsung mendapatkan tatapan tajam dan tidak suka dari Raden langsung buru-buru melenggang masuk ke dalam kamar mandi.
“Kami tunggu di meja makan ya kak,” Sahara dan Raden langsung menuju ke area dapur yang tak lama kemudian disusul oleh keempat pemuda itu dengan kondisi wajah yang lebih segar dan rapi.
Mereka duduk bersama di meja makan, tercipta suasana yang hangat dan penuh kebersamaan. Sahabat-sahabat Raden asyik mengobrol dengan Sahara, membagikan cerita dan tawa mereka. Mereka saling mengenal dengan lebih baik, sementara Marcel, Karel, Devan, dan Romi tidak ragu memuji masakan lezat yang disajikan oleh Sahara.
"Wow, Sahara, enak banget nasi gorengnya,”puji devan dengan senyum lebar.
Karel mengangguk setuju, "Iya lagi! Cantik iya, pengertian iya, sekarang pintar masak lagi. Kok lo mau sih sama Raden? Karena duitnya banyak ya? Gapapa juga sih, jadi cewek emang harus materialistis."
Mendengar pujian dan keakraban yang terjadi di sekelilingnya, perasaan kesal mulai memenuhi hati Raden. Ia merasa cemburu dan iri melihat sahabat-sahabatnya begitu dekat dengan Sahara. Meskipun sebenarnya ia tahu bahwa pujian dan kehangatan tersebut adalah hal yang baik, namun perasaan negatif terus membayangi pikirannya.
Devan langsung memukul bahu karel, memperingatinya untuk tidak asal bicara. Devan bisa melihat ekspresi Sahara yang tampak langsung berubah saat karel menuduhnya menikah dengan Raden karena harta. Namun lagi, dengan lapang dada Sahara mencoba untuk tetap tersenyum ramah. “Kak Raden orang yang baik kak. Makanya aku mau nikah sama dia,” Puji Sahara yang langsung membuat Raden merasa begitu tersanjung. Apa benar seperti itu penilaian Sahara terhadapnya?
“Idihhh, baik dari mananya? Lo belom tau aja Raden aslinya kayak mana.”
“Bisa diam ga lo?” Raden tersulut emosinya mendengar penuturan Karel yang menurutnya sudah kelewatan dan ia merasa terpojokkan. Kenapa Karel menjadi begitu menyebalkan hari ini? Padahal Raden sudah mencoba untuk menutupi sisi buruknya dari Sahara, namun sekarang karel malah mau membongkarnya?
Melihat suasana yang memanas, Sahara mencoba untuk meredakan ketegangan diantara pria-pria itu dengan mengalihkan ke beberapa topik lain. Dan hasilnya suasana yang tadinya sempat panas mulai seperti sedia kala.
Setelah sarapan pagi selesai, Raden menginstruksikan sahabat-sahabatnya untuk mencuci piring karena mereka telah disajikan sarapan gratis di rumahnya. Namun, Sahara dengan lembut melarangnya. “Ehh, ga usah kak, biar nanti aku aja. Masa tamu disuruh nyuci piring sih, hehe.”
“Tuh kan, tapi kali ini gue ga bakal muji lo lagi deh Sahara, nanti ada yang cemburu lagi,” Karel bermaksud meledek Raden. Namun Raden hanya memasang muka datar dan malas.
“Yaudah, kalo ga mau cuci piring, kalian pulang aja,” tutur Raden.
“Tadinya kita pengen pulang sih, tapi kayaknya bentar lagi aja. Nongkrong si sini asik nih,” jawab Marcel.
“Bang…?” Raden berekspresi seperti minta ingin dimengerti oleh Marcel.
“Udahlah, sekali-kali juga. Iya ga?”
“Yoii…”
Raden hanya bisa mengerlingkan bola matanya menatap sahabat-sahabatnya itu dengan malas dan ikut bergabung bersama mereka.
Sahabat-sahabat Raden belum berpikir untuk segera pulang. Mereka merasa nyaman dan ingin menghabiskan lebih banyak waktu di rumah Raden. Mereka duduk di ruang tamu, saling bercerita dan tertawa. Mereka menjadi lebih akrab dengan Sahara. Pun Sahara yang mulai terbiasa dengan candaan khas yang mereka lontarkan.
Setelah bercerita dengan canda dan tawa di ruang tamu, sahabat-sahabat Raden akhirnya pamit untuk pulang. Mereka memberikan ucapan terima kasih kepada Sahara atas keramahannya dan momen yang menyenangkan yang telah mereka habiskan bersama. Sahara tersenyum dan mengucapkan selamat tinggal kepada mereka dengan hangat.
Setelah para sahabat Raden pulang, Sahara bersiap-siap untuk mencuci piring kotor di wastafel. Namun, tiba-tiba Raden menghampirinya dengan senyuman manis di wajahnya.
"Sahara?”
“Iya kak?”
“Aku bantuin ya?" tawar Raden dengan penuh perhatian.
“Eh, ga usah kak! Biar aku sendiri aja” tolak Sahara dengan lembut karena tidak mau merepotkan suaminya.
“Udah gapapa, ayo!” Raden menarik tangan Sahara menuju ke dapur.
“Kakak yakin?”
“Yakin dong. Eumm..tapi pertama aku harus ngapain dulu?”
Sahara terkekeh saat melihat Raden yang tampak kebingungan. “Hehe, udah kakak istirahat aja. Biar aku aja.”
“Engga, aku mau bantuin kamu!”
“Yaudah, kalo gitu Kakak bantu nyusun piring ke dalam rak aja ya,”
“Oke,” Raden langsung mengambil posisi. Mereka mencuci piring bersama.
“Ra?”
“Iya kak?” Jawab Sahara dengan tangan yang sibuk menyabuni piring dan gelas.
“Eumm…ga jadi deh,”
“Heuh?” Sahara tampak bingung.
“Hehe, gapapa kok,”
“Kakak yakin?
Raden tidak bisa menahan diri lagi. Dalam sekejap, ia mencuri ciuman lembut dari Sahara. Dalam momen itu, waktu terasa berhenti, dan dunia di sekitar mereka memudar menjadi tidak penting.
Sahara membulatkan bola matanya, terpaku dan tidak percaya terhadap apa yang dilakukan oleh Raden. Ia menatap Raden dengan heran.
Raden tersenyum kikuk disambut Sahara dengan wajah merah merona menahan rasa malu yang menyelimutinya.
Raden, merasakan kegugupan yang memuncak setelah mencuri satu ciuman di bibir Sahara, segera melepaskan pelukan dan dengan cepat ingin berbalik menuju kamar. Wajahnya bersemu merah, dan langkahnya tidak stabil karena perasaan malu yang melanda. Namun kenapa juga ia harus malu? Bukankan berciuman adalah keahliannya? Padahal sebelumnya ia sudah sangat terbiasa mencumbui banyak gadis.
Raden masih kikuk,"Maaf, Sahara... Aku... aku ke kamar dulu ya."
Sahara, yang masih tertegun di dapur, mengamati kepergian Raden dengan tatapan campuran antara kebingungan dan juga bimbang. Ia merasa tersanjung dengan keberanian suaminya, tetapi juga bingung dengan tindakan tiba-tiba tersebut. Dan piring kotor ini belum selesai, Raden tidak jadi membantunya?
BERSAMBUNG…