Nasib sial tak terhindarkan menimpa Faza Herlambang dan mahasiswinya, Caca Wijaya, saat mereka tengah melakukan penelitian di sebuah desa terasing. Tak disangka, sepeda motor yang menjadi tumpuan mereka mogok di tengah kesunyian.
Mereka pun terpaksa memilih bermalam di sebuah gubuk milik warga yang tampaknya kosong dan terlupakan. Namun, takdir malam itu punya rencana lain. Dengan cemas dan tak berdaya, Faza dan Caca terjebak dalam skenario yang lebih rumit daripada yang pernah mereka bayangkan.
Saat fajar menyingsing, gerombolan warga desa mendadak mengerumuni gubuk tempat mereka berlindung, membawa bara kemarahan yang membara. Faza dan Caca digrebek, dituduh telah melanggar aturan adat yang sakral.
Tanpa memberi ruang untuk penjelasan, warga desa bersama Tetuah adat menuntut imereka untuk menikah sebagai penebusan dosa yang dianggap telah mengotori kehormatan desa. Pertanyaan tergantung di benak keduanya; akankah mereka menerima paksaan ini, sebagai garis kehidupan baru mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA PULUH LIMA
Setelah kedua dosen itu melangkah naik ke lantai atas, aku hanya bisa terpaku di tempat,mencengkram tangkai sapu pel dengan kuat. Tiba-tiba seperti ada beban tak terlihat yang menekan dadanya. Udara seketika terasa begitu pengap, bahkan untuk bernapas saja Caca kesulitan.
Perasaan Caca kacau—sebuah campuran antara takut, bingung, dan bersalah yang saling berlomba-lomba menguasai pikirannya.
"Ya Tuhan, bagaimana ini?" batinnya gelisah. Kalau saja Pak Alfin sampai tahu soal hubunganku dengan Pak Faza, aku tahu masalah ini tak akan selesai begitu saja. Aku tahu betapa dekatnya Pak Alfin dengan Kak Felin—mereka sudah seperti saudara, tak mungkin Alfin merahasiakan ini darinya.
Namun, pikiran bahwa Felin, kakaknya akan mengetahui hubungannya dengan kekasihnya, membuat Caca gemetar ketakutan. Caca tidak ingin Felin semakin membencinya, meskipun mungkin dia sudah menganggap Caca sebagai adik yang tidak berguna. Caca juga tidak sanggup membayangkan ekspresi kecewanya jika dia mengetahui bahwa adiknya menjalin hubungan dengan pria yang seharusnya setia padanya.
Caca tahu ini salah, Caca juga tahu jika dirinya tanpa sengaja sudah menyakiti bahkan menghancurkan hati Felin. sebelum dia tahu apa pun. Tapi... apakah Caca benar-benar bisa melepaskan perasaannya pada Faza..? Rasanya Caca semakin tenggelam, dan terjebak dalam kekacauan yang tak sengaja buat sendiri.
"Ya Tuhan...bagaimana aku bisa keluar dari lingkaran ini?" tanya Caca pada dirinya sendiri, meskipun Caca tahu jawaban itu tidak akan mudah didapat.
Sesampainya mereka di ruang kerja Faza, Alfin seperti biasanya mengambil minuman dingin di kulkas yang ada di sudut ruangan, dan langsung duduk di sofa yang disediakan.
"Mana filenya, sini coba aku lihat," pinta Faza pada Alfin, setelah sahabatnya itu duduk.
Alfin membuka tasnya, merogoh benda kecil dari dalam.
"Ini, semua ada di dalam, coba dicek semuanya" ujar Alfin memberikan sebuah flashdisk ke Faza.
Dengan cepat Faza menyalakan laptopnya dan menghubungkan flashdisk ke laptop
mengecek data yang Alfin berikan.
Sedang serius tiba tiba, Caca mengetuk pintu,
"Permisi Pak," ucap Caca mengintrupsi obrolan Faza dan Alfin.
"Masuk Ca," jawab Faza dengan suara lembutnya. Alfin diam diam memperhatikan interaksi Faza dan Caca.
"Ini kopinya Pak,diminum" ucap Caca dengan sopan.
"Hem...makasih, kamu boleh lanjutkan aktivitasmu," ujar Faza, memberi isyarat pada istrinya untuk cepat meninggalkan ruangan kerjanya, karena di sana ada Alfin. Yang Faza tahu diam-dian sangan mencintai Caca.
"Baik Pak..." Caca pun langsung meninggalkan ruang kerja Faza yang dipenuhi dengan layar monitor dan diagram ilmiah. Dengan langkah cepat, sesuai perintah Faza.
Faza dan Alfin kembali terlibat dalam diskusi serius. Faza, dengan kacamata bacanya, menunjuk pada grafik yang baru saja dia buat, membandingkan dengan data milik Alfin.
"Lihat ini Al, dengan menggunakan algoritma yang kita kembangkan, perangkat ini bisa menyesuaikan tempo bacaan Quran sesuai dengan kecepatan pemahaman pengguna."Ujarnya.
"Tak hanya itu, aku menambahkan aplikasi ini dengan memiliki beberapa fitur unggulan yang bisa membantu para penghafal Alquran untuk memudahkan hafalannya. Pertama, pemutar ayat Alquran yang didesain untuk menghafal Al-Quran dengan fitur menunda bacaan dan mengulang bacaan pada rentang ayat tertentu. Selanjutnya, ada fitur statistic colour untuk menunjukkan surat mana yang sulit untuk dihafalkan dan harus diulang kembali. Fitur yang yang tidak kalah menarik adalah fitur pengujian hafalan berupa kuis yang bisa menyesuaikan kemampuan pengguna saat pengujian," jelas Faza dengan matang.
"Jadi aplikasi ini sangat cocok untuk digunakan sewaktu-waktu, terutama saat tidak ada teman atau ustadz yang bisa membantu untuk muraja’ah hafalan,” sambungnya lagi.
Alfin, yang sedang mencatat poin penting, mengangkat kepalanya, "Itu brilian, Za. Tapi bagaimana dengan variabel adaptasi pengguna yang berbeda-beda? Kita perlu memastikan bahwa perangkat ini universal dan mudah digunakan."
Faza mengangguk penuh pertimbangan, "Benar, itu sebabnya kita perlu melakukan lebih banyak pengujian. Aku pikir kita bisa memulai dengan kelompok fokus untuk mengumpulkan data tentang efektivitas perangkat."
Alfin menyentuh dagunya, berpikir, "Mungkin juga kita bisa memasukkan fitur pengingat waktu untuk revisi hafalan. Itu akan menambah nilai lebih bagi pengguna yang sering lupa jadwal mengulang hafalan mereka,Za" ujar Alfin memberika ide baru.
"Bagus Juga," Faza tersenyum lebar. "Kita juga harus mempertimbangkan aspek keamanan data. Kita tidak ingin data pengguna kita bocor atau disalahgunakan."
Alfin mengangguk tegas, "Sip,aku setuju, keamanan harus menjadi prioritas. Apakah kita perlu konsultasi lebih lanjut dengan tim IT kita, tentang enkripsi data?"
Faza menganggu, "Itu langkah yang tepat. Kita atur secepatnya pertemuan dengan mereka minggu depan." Mereka berdua kemudian beranjak dari meja, dengan semangat untuk mengembangkan perangkat yang tidak hanya inovatif tapi juga aman dan bermanfaat bagi banyak orang.
Keduanya kemudian mendiskusikan beberapa aspek logistik dan teknis dari penelitian, memastikan setiap detail telah dipertimbangkan dan dijadwalkan dengan baik. Seiring waktu berlalu, suasana menjadi semakin kolaboratif dan konstruktif.
Ternyata Faza bukan sekadar seorang dosen. Dia adalah suami dari Caca sekaligus pemilik perusahaan perangkat lunak yang tengah berkembang pesat. Kecerdasannya menjadikannya sosok pemuda sukses, baik di dunia pendidikan maupun bisnis.
Selesai berdiskusi, Alfin melangkah ke balkon, berharap udara segar bisa meredakan kerumitan di kepalanya. Tapi bukannya ketenangan yang Alfin dapatkan, matanya justru menangkap sesuatu yang mengejutkan: pakaian dalam wanita tersusun rapi di tali jemuran di taman belakang rumah Faza. Yang membuat Jantung Alfin berdetak kencang.
"Apakah Caca juga tinggal di sini? Apa mungkin dia istri rahasia Faza?" Pertanyaan itu menghantam pikiran Alfin seperti badai. Alfin mencoba melawan logika yang rasanya tidak ingin mempercayai kemungkinan itu.
Alfin tidak bisa membayangkan jika Caca, wanita yang dia cintai dan selalu ia harapkan, sudah menjadi bagian dari kehidupan sahabatnya. Alfin merasa dadanya sesak. Bagaimana bisa Faza, sahabatnya, yang selama ini dia kagumi, menyembunyikan sesuatu sebesar ini darinya? Tapi apakah Alfin berhak untuk kecewa? Bukankah dia sendiri belum pernah mengutarakan perasaannya pada Caca? Sial, rasanya semua itu terlalu rumit, untuk Alfin pikirkan.
Pikiran-pikiran yang bercampur aduk membuat Alfin semakin gelisah. Di saat Alfin sedang mencoba mengendalikan kekacauan dalam dirinya, suara Faza memecah lamunannya.
"Hey... kenapa wajahmu kelihatan kesal? Ada hal yang mengganggu pikiranmu...?" tanyanya dengan nada penasaran. Alfin berusaha memasang wajah datar dan buru-buru mencari alasan.
"Oh... nggak ada. Aku pulang dulu, ada pekerjaan yang harus aku selesaikan," jawabnya sembari mencoba menyembunyikan kegalauan di suaranya. Faza menatap Alfin dengan tatapan penuh tanya, seolah sedang berusaha membaca pikiran sahabatnya itu.
Alfin pun sadar,jika Faza merasa aneh dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah, tapi Alfin tidak peduli. Saat itu, yang penting adalah menjauh dari situasi rumit itu, sebelum pikirannya runtuh sepenuhnya. Di luar, angin pagi masih terasa dingin, tapi dinginnya tidak bisa meredakan amukan emosi yang membara di dada Alfin.
"Aku tidak bisa terus begini," gumam Alfin dalam hati, dengan dada yang terasa semakin sesak setiap kali memikirkan Caca. Alfin terus melajukan mobilnya meninggalkan kediaman Faza.
Perasaannya semakin terasa berantakan. Cinta yang sudah terlalu lama Alfin pendam untuk Caca kini merasa terancam. Jika Alfin tak segera melangkah lebih berani, apa gunanya semua keyakinannya selama ini?
Apalagi, Faza—entah kenapa dia selalu saja ada di sekitar Caca, seperti bayangan yang tidak pernah pergi.
"Tidak. Aku tidak boleh menyerah begitu saja. Caca harus tahu perasaanku sebelum semuanya terlambat. Apalagi,akhir-akhir ini, Faza—entah kenapa dia selalu saja ada di sekitar Caca, seperti bayangan yang tidak pernah pergi."
Alfin mengepalkan tangan mencengkram setir mobil, menanamkan tekad di dalam hatinya. Saat ini isi kepalanya, dipenuhi tentang mahasiswi bimbingannya itu. Membayangkan wajah Caca terus menerus, yang selalu membawa rasa hangat namun juga rasa takut akan kehilangan.