Setiap kali Yuto melihat bebek, ia akan teringat pada Fara, bocah gendut yang dulunya pernah memakai pakaian renang bergambar bebek, memperlihatkan perut buncitnya yang menggemaskan.
Setelah hampir 5 tahun merantau di Kyoto, Yuto kembali ke kampung halaman dan takdir mempertemukannya lagi dengan Bebek Gendut itu. Tanpa ragu, Yuto melamar Fara, kurang dari sebulan setelah mereka bertemu kembali.
Ia pikir Fara akan menolak, tapi Fara justru menerimanya.
Sejak saat itu hidup Fara berubah. Meski anak bungsu, Fara selalu memeluk lukanya sendiri. Tapi Yuto? Ia datang dan memeluk Fara, tanpa perlu diminta.
••• Follow IG aku, @hi_hyull
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hyull, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 | Kata-kata Mendalam Dari Yuto
“Maaf ya. Abang datangnya cepat kali ya?” kata Yuto begitu mereka melangkah di jalanan komplek. Belum terlalu sepi.
“Nggak apa-apa, Bang. Tapi, abang kok bisa sama papa datangnya?” Fara melangkah di sisi kirinya, tampak jauh lebih tenang setelah berjalan di luar sana, tidak segugup saat masih di dalam kamar tadinya.
“Tadi nggak sengaja ketemu di masjid,” balasnya tidak sepenuhnya benar, karena sebenarnya tujuannya ke masjid memang untuk bertemu Pak Iyon.
“Oh… abang salat di masjid juga—“ ucapan Fara terhenti saat merasakan cengkraman lembut dari tangan Yuto menyentuh pergelangan tangannya.
M“Di sini aja jalannya. Banyak kereta lewat.” Yuto mengatakan itu sambil menarik tangan Fara hingga tubuh Fara berpindah ke sisi kanannya, tidak dekat dengan sisi jalan.
Cengkraman lembut itu pun terlepas, tapi hangatnya tetap membekas.
Kembali pecah semarak jantung Fara. Hilang ketenangan yang sempat ia rasakan.
“Jadi, setiap malam Fara jaga kedai?” tanya Yuto tiba-tiba.
Fara mengangguk pelan. “Iya, Bang.”
“Sendirian?”
“Iya.”
“Sampai jam berapa?”
“Biasanya sampai jam 10, tapi pernah lebih lama dari itu.”
“Papa sama mama biarkan Fara jaga sendirian?”
Fara mengangguk lagi, tapi kali ini tidak menjawab apapun.
Yuto diam beberapa saat, seperti tenggelam pada pikirannya. Saat akhirnya mereka berbelok ke Blok A, di pengkolan, Yuto berhenti melangkah, begitu juga dengan Fara yang heran melihatnya tetap berdiri di sana, sedangkan Fara sudah terlanjur lima langkah di depannya.
“Kalau aja boleh, abang pengen bilang ke mama papa Fara, untuk nggak suruh Fara jaga kedai malam-malam. Menurut abang itu bahaya. Kita nggak pernah tahu siapa aja pelanggan yang datang dan seperti apa niat mereka. Fara sendirian di kedai, di tengah komplek kita yang sepi. Bukan berarti mendoakan, tapi gimana kalau sesuatu terjadi? Kenapa, mama papa Fara biarkan Fara dalam situasi kayak gitu?”
Fara membeku di tempat. Lima langkah terpisah dari Yuto, tetapi hangat tubuh pria itu seakan hinggap di tubuhnya berkat kata-kata itu, yang ia sadari, penuh dengan kepedulian yang bahkan kedua orang tuanya tak bisa berikan padanya.
Matanya melebar memerhatikan raut wajah Yuto, yang biasanya santai, kini penuh keseriusan.
Ada ketulusan dalam nada suaranya, sesuatu yang terasa asing baginya, namun menghangatkan hati. Entah kenapa, hanya mendengar kata-kata itu, tubuhnya terasa ringan, seperti baru saja melepaskan beban. Baginya, kata-kata itu tak sekadar kekhawatiran, tapi seperti pengakuan bahwa dirinya juga layak dijaga.
Kata-kata itu seperti jawaban yang selama ini Fara tunggu. Dan ketika itu keluar dari mulut seseorang seperti Yuto—yang bukan siapa-siapa, tapi justru diucapkan dengan ketulusan—itu jadi pukulan paling lembut dan paling dalam di hatinya.
Dan untuk pertama kalinya, ada seseorang menganggap dirinya penting.
Dan entah bagaimana, tanpa bisa ia kendalikan, matanya mendadak memanas. Tanpa bisa ia hentikan, air di pelupuk matanya mulai menggenang, hingga satu bulirnya berhasil lolos begitu saja, mengalir indah di pipi kanannya.
Fara buru-buru memalingkan wajah dan menyeka air matanya cepat, tapi Yuto sudah lebih dulu melihat air mata itu.
"Fara?" tegur Yuto pelan, seperti bisikkan.
"Maaf," gumamnya lirih, malu kali karena telah menunjukkan air mata di hadapan Yuto.
"Kenapa minta maaf?" balas Yuto cepat.
Fara kembali menatapnya, tapi bingung hendak menjawab apa. Benar juga, kenapa dia harus minta maaf? Ia bahkan tidak tahu kenapa air mata itu jatuh, di depan Yuto pula.
Yuto mengambil satu langkah pelan untuk mendekat, lalu satu langkah lagi, hingga ujung sandal mereka nyaris bersentuhan. Ya, itu terlalu dekat untuk Fara, tetapi entah mengapa rasanya begitu nyaman dapat bertatapan sedekat itu.
"Bukan berarti karena nggak ada yang bilang kalau Fara berarti, maka Fara nggak berarti. Dunia ini terkadang memang kejam, Fara. Yang beruntung, diberi keluarga yang hangat, yang tidak beruntung, dapat sebaliknya. Nggak beri pelukan, nggak beri pujian. Tapi itu bukan salah kita, dan bukan berarti kita nggak pantas untuk dapatkan semua itu."
Tangan Fara gemetar pelan saat kata-kata itu mengalir ke ruang kosong di dadanya. Ia tidak tahu mengapa Yuto mengatakan semua itu kepadanya, seakan Yuto mengetahui apa yang sebenarnya selama ini ia derita. Tetapi, dari cara Yuto mengatakannya, seakan dirinya mengetahui ada berapa banyak malam yang Fara lalui dalam kesunyian, juga rasa lelah yang ia bungkam lewat senyumnya.
Tangan Yuto bergerak refleks saat satu bulir air mata kembali mengalir di wajah Fara. Dengan lembut, Yuto menyeka air mata itu, mengusap lembut pipi tembam Fara hingga air mata itu tak lagi ada.
"Berjuang sendiri tentu sulit. Tapi, mulai sekarang, kalau Fara capek, takut, dan pengen didengar... abang bisa."
Kening Fara berkerut samar. Hening sejenak, tetapi di dalam kepadanya berisik kali. Ia semakin yakin, sepertinya Yuto memang mengetahui banyak hal tentang dirinya. Dan anehnya, ia tidak merasa terganggu oleh itu.
Selama ini, Fara justru menyembunyikan segalanya, dari siapapun, bahkan Kira sang sahabat—jika hal itu terlalu menyedihkan. Ia akan merasa tenang jika rasa sakitnya hanya dirinya yang rasakan.
Yuto tidak menyebutkan apa-apa secara gamblang, tapi setiap kata-katanya seperti membuka lapisan-lapisan luka yang selama ini dikunci rapat olehnya. Dan yang lebih mengherankan lagi, saat itu terjadi, Fara tidak merasa takut. Tidak merasa terancam. Ia malah merasa… lega.
“Kenapa abang ngomong kayak gitu?” bisiknya akhirnya, nyaris tak terdengar, tapi Yuto menangkapnya.
Yuto tidak langsung menjawab. Ia menatap Fara dalam-dalam, sebelum tersenyum kecil.
“Kadang, seseorang datang bukan cuma buat menyukai… tapi buat mengerti. Dan abang pengen jadi orang itu.”
Fara, yang semakin bingung dengan situasi itu, memberanikan diri untuk bertanya lagi, “Maksud abang?”
Yuto terdiam sejenak, ingin memilih kata-kata dengan hati-hati. Ia menunduk sejenak, menatap sandalnya sebelum kembali menatap Fara—kali ini dengan pandangan yang lebih dalam, seolah tak ada yang ia sembunyikan.
Fara menahan napas karena gugup.
“Kalau abang bisa jadi tempat Fara pulang saat lelah, tempat Fara diam saat nggak mau cerita apa-apa, atau malah sebaliknya—ingin cerita sesuatu yang mungkin nggak bisa Fara bagikan ke orang lain, abang bersedia. Mungkin itu nggak banyak… tapi itu cukup buat abang, sekarang.”
Yuto mengakhiri kalimatnya dengan senyum kecil, tidak memaksa, tidak berharap lebih—tetapi cukup jujur untuk membuat Fara terdiam haru.
Dan Fara bisa rasakan, di setiap kalimatnya terasa seperti pelukan paling tulus yang pernah ia terima dalam hidupnya.
“Heh! Ngapain kalian di situ!” tegur Sora dari depan pagar. “Cepat sini. Cepat Fara! Bantuin kakak bikin bakwan. Nanti keras pula kalau kakak yang bikin.” Lalu, masih di depan pagar, Sora lanjut mengomel sendiri, “*Nek Ani pun entah apa, kok malah suruh bikin bakwan pula. Apa hubungannya bakwan sama bakar-bakar? Mentang-mentang ada Fara si duta bakwan, suruh bikin bakwan. Kenapa pula yang disuruh aku? Aku masak nasi aja lembek. Masak Indomie pun berenang-renang mienya. Memanglah nenek lampir itu*.”
Fara dan Yuto yang tadinya tenggelam dalam sunyi yang hangat, sontak menoleh bersamaan, sama-sama terkejut mendengar suara Sora.
Tapi kemudian… Yuto terkekeh pelan. “Duta merepet udah panggil,” katanya.
Fara akhirnya spontan ikut tertawa, tawa kecil yang masih dibungkus rasa haru, tapi kini perlahan mulai mencair usai mendengar celotehan Sora. Ia mengusap sisa air matanya cepat-cepat, takut Sora menyadari keberadaan air mata itu—tanpa ia ketahui, tak ada yang tidak Sora ketahui tentangnya. Dia memiliki kekuatan indihome, sama seperti Endah.
“Ayo, nanti dia makin panjang merepetnya,” ujar Yuto sambil mencondongkan tubuh sedikit, menyentuh punggung Fara pelan sebagai isyarat untuk berjalan kembali.
Mereka berjalan berdampingan lagi, kali ini lebih santai. Tidak ada lagi kata-kata serius. Tapi ada yang berbeda di antara mereka. Kini rasanya lebih dekat, lebih saling mengerti.
Begitu sampai di depan pagar, Sora menyilangkan tangan di dada sambil memelototi abangnya. “Kenapa sih, Bang? Kok lama kali? Kan abang janji abang yang bakar arang, jadi Sora yang disuruh Nek Ani, loh. Jalan dari Blok C ke sini aja lama kali. Sengaja ya lama-lama? Biar kayak lagi syuting sinetron? Romantis-romantisan di jalan? Hah?”
Yuto menahan tawa.
“Memangnya salah kalau abang mau romantis?” jawab Yuto enteng, membuat Fara malu tanpa sebab.
Sora memutar bola matanya. “Kenapa? Pengen cepat-cepat dapetin hati Fara?”
Fara membelalak seketika. Ia tidak salah dengar, ia juga tidak mengerti mengapa Sora mengatakan itu, tetapi ia heran mengapa Yuto hanya senyam-senyum dan bukannya membantah.
Dan sebelum mendengar jawaban apapun dari Yuto, Sora sudah merangkul pundaknya dan membawanya masuk ke dalam rumah.
“Ayo, gendut! Buatin bakwan yang enak!”
.
.
.
.
.
Continued...