Level Up Milenial mengisahkan Arka, seorang guru muda berusia 25 tahun yang ditugaskan mengajar di SMA Harapan Nusantara, sekolah dengan reputasi terburuk di kota, dijuluki SMA Gila karena kelakuan para muridnya yang konyol dan tak terduga. Dengan hanya satu kelas terakhir yang tersisa, 3A, dan rencana penutupan sekolah dalam waktu setahun, Arka menghadapi tantangan besar.
Namun, di balik kekacauan, Arka menemukan potensi tersembunyi para muridnya. Ia menciptakan program kreatif bernama Level Up Milenial, yang memberi murid kebebasan untuk berkembang sesuai minat mereka. Dari kekonyolan lahir kreativitas, dari kegilaan tumbuh harapan.
Sebuah kisah lucu, hangat, dan inspiratif tentang dunia pendidikan, generasi muda, dan bagaimana seorang guru bisa mengubah masa depan dengan pendekatan yang tak biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Rifa'i, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penugasan yang Tak Terduga
Namaku Arka. 25 tahun. Lulusan baru jurusan pendidikan, dengan semangat idealis yang masih hangat-hangatnya. Aku percaya bahwa pendidikan bisa mengubah dunia. Klise? Mungkin. Tapi itulah yang membuatku bangun pagi setiap hari, selain alarm yang menyebalkan.
Setelah beberapa bulan mengajar sebagai guru honorer di beberapa sekolah, akhirnya aku mendapat SK penempatan tetap. Tapi euforia itu langsung ambruk ketika membaca nama sekolah yang tertulis di surat tersebut: SMA Harapan Nusantara.
Nama sekolahnya terdengar penuh harapan, tapi realitanya? Harapan tinggal harapan.
Arka berdiri di depan gerbang sekolah, ia terdiam menatap sekolah itu dari luar. Awan tiba-tiba mendung dan palang sekolah yang hampir copot di depan gerbang. Tiba-tiba "Bruk.." bunyi palang sekolah yang jatuh. Arka menelan ludahnya dan melangkah masuk ke dalam.
Arka melihat sebuah kantin yang di jaga oleh seorang ibu-ibu, ia menatap arka dengan wajah yang suram."guru baru ? Semoga betah." seekor lalat hinggap di jidat ibu itu dan membiarkannya saja.
"maaf Bu, di mana letak ruangan kepala sekolah ?" tanya Raka.
"di sana mas." ucap ibu itu menunjuk Denga wajah datar seperti mayat hidup.
"yang benar saja ini." ucap Arka memalingkan badanya berjalan menuju ruang kepala sekolah.
“Selamat, Mas Arka,” kata petugas dinas pendidikan sambil tersenyum kaku. “Sekolah ini butuh guru seperti Anda.”
Aku baru tahu maksud kalimat itu saat browsing di internet dan membaca forum-forum pendidikan. SMA Harapan Nusantara ternyata terkenal dengan julukan SMA Gila. Bukan karena guru-gurunya, tapi karena murid-muridnya yang katanya “tidak bisa diajar”, “konyol setengah mati”, bahkan ada yang menyebut “murid dari neraka yang dikirim untuk menguji iman para guru”.
Lebih parahnya lagi, sekolah itu hanya memiliki satu kelas aktif, kelas 3A. Kelas terakhir sebelum sekolah resmi ditutup karena kurang murid dan reputasi yang sudah sulit diselamatkan.
Keesokan harinya, aku datang ke sekolah itu. Bangunannya tua, cat mengelupas, halaman rumputnya tumbuh liar seperti tidak pernah disentuh manusia. Gerbangnya berdecit saat dibuka, dan suasananya… agak seperti setting film horor, tapi dengan sinyal Wi-Fi yang cukup kuat.
Aku disambut oleh kepala sekolah yang terlihat seperti sudah menyerah pada hidup.
“Selamat datang, Pak Arka,” ucapnya sambil mengelus pelipis. “Saya doakan Anda bertahan lebih lama dari guru sebelumnya. Yang terakhir cuma kuat dua hari.”
Arka hanya tersenyum kecil. “Insya Allah, Pak. Saya akan coba.”
Setelah sedikit briefing yang lebih terdengar seperti peringatan dini tsunami, Arka pun menuju kelas 3A.
Begitu membuka pintu, aku langsung disambut... lemparan pesawat kertas dan suara teriakan:
“WOY, GURU BARU!”
Satu murid berdiri di atas meja dengan gitar, memainkan lagu dangdut. Yang lain menyulap penghapus menjadi 'alat sihir'. Seseorang bahkan menyalakan kipas angin mini sambil membaca puisi pakai megafon. Seorang cewek duduk di pojok sambil melukis wajah temannya menjadi karakter anime.
Dan entah kenapa, ada seekor ayam berkeliaran di dalam kelas.
Aku berdiri di ambang pintu, mematung. Dalam hati hanya bisa bergumam: Ya Tuhan… beneran ini ujian kesabaran?
Namun saat seorang murid berteriak, “Guru baru! Namanya siapa? Jangan-jangan menyamar polisi!” entah kenapa Arka tertawa kecil.
"Mungkin, hanya mungkin… inilah tempat yang tepat untukku." gumam Raka menggaruk kepalanya dan tersenyum bingung.
Arka melangkah masuk ke kelas, mencoba tetap tenang meski seluruh instingku berteriak, lari sekarang juga!
“Nama saya Arka,” kataku sambil menaruh tas di meja guru, “dan tidak, saya bukan polisi undercover. Tapi kalau kalian bikin kerusuhan, saya bisa pura-pura jadi.”
Beberapa murid tertawa. Yang lain malah mulai bersorak seperti sedang menonton stand-up comedy.
Seorang cowok tinggi besar di belakang- belakangan aku tahu namanya Jaka, berdiri sambil menunjukku dengan sendok nasi yang entah dari mana datangnya.
“Pak Arka! Tolong jawab jujur… Apakah Bapak masih waras? Karena guru sebelumnya keluar sambil nyanyi lagu kemerdekaan dan nggak pernah balik lagi.”
Tawa meledak di seluruh kelas. Tapi aku hanya tersenyum. “Sampai saat ini sih, saya masih waras. Tapi mari kita lihat setelah seminggu bersama kalian.”
Kelas kembali ramai. Namun ada yang berbeda. Aku bisa merasakan energi mereka liar, tak terkendali, tapi bukan tanpa arah. Seperti kuda liar yang belum pernah disentuh pelana.
Aku membuka buku absensi.
“Sebelum mulai, kita absen dulu, ya.”
Satu per satu nama ku panggil, dan jawabannya? Jauh dari normal.
“Amira?”
“Present, Pak! Tapi secara spiritual saya lagi di Bali.”
"Andi?"
"Hadir, membalikan badan dan memegang jarum suntik."
"Cindi?"
"hadir pak, sambil merias wajah."
“Dina?”
“Hadir dengan jiwa yang penuh luka dan tugas belum dikerjakan.”
"Deri?"
"Hadir, memegang kalkulator dan buku Kas yang tebal."
"Jaka?"
"siap komandan !" teriak Jaka Hormat memakai helm militer.
"Lia?"
"hadir pak.. dengan suara lembut rambut menutupi wajah dengan nada misterius."
"Reza?"
"hadir pak."sambil mengedit video di laptop.
"Sinta?"
"hadir pak."sambil membuka kertas lebar merancang bangunan gedung.
"Toni?"
"hadir pak."sambil memakai jas hitam seolah-olah berpidato.
"murid di sini cuma 10 orang ?" tanya Arkan.
"ya pak, semuanya telah gugur !" ucap Jaka berdiri memberi hormat.
"aku memilih Reza sebagai ketua kelas dan Jaka sebagai wakil ketua kelas." ucap Arka.
Semua bersorak kagum."UUU.."
Arka tidak tahu harus tertawa atau khawatir. Tapi satu hal pasti, ini bukan kelas biasa. Dan Arka bukan guru yang biasa juga. Aku memutuskan satu hal di dalam hati:
Aku tidak akan kabur.
Aku akan coba sesuatu yang belum pernah dilakukan siapa pun di sekolah ini.
Karena kalau mereka gila, maka aku harus lebih gila, tapi dengan tujuan.
Bel pelajaran pertama sudah berbunyi sejak tadi, tapi mereka tidak peduli. Bahkan beberapa murid terlihat lebih sibuk mengatur kamera tripod di pojokan kelas.
“Eh, Pak Arka,” ujar seorang murid berkacamata yang belakangan kukenal sebagai Reza, “boleh nggak kita lanjut shooting? Lagi bikin konten YouTube ‘Sehari Jadi Guru’.”
Sebelum aku sempat menjawab, tiba-tiba salah satu dari mereka. Lia, gadis horor berdiri mengenakan cahaya senter di wajahnya dan berkata pelan, “CUT! Kamera dua terlalu goyang! Ulang dari dialog guru masuk kelas!”
Aku mengangkat alis. “Kalian bikin film?”
Reza mengangguk antusias. “Iya, Pak. Kita lagi bikin mockumentary. Genre-nya absurd. Kayak kehidupan nyata tapi nggak masuk akal. Kayak sekolah ini.”
Yang lain tertawa.
Alih-alih memarahi mereka, aku malah duduk di meja guru dan memperhatikan.
Sebenarnya... mereka kreatif. Sangat kreatif. Tapi liar. Dan tanpa arahan. Seperti kumpulan seniman jalanan yang belum tahu gimana cara menyalurkan bakatnya.
“Aku boleh ikutan?” tanyaku akhirnya.
Mereka langsung menoleh. Hening beberapa detik. Lalu Jaka berdiri dan mengangkat tangan, seolah menyambut Arka untuk masuk ke klub rahasia.
“Pak Arka… Anda resmi menjadi pemeran utama.”
Sorak-sorai meledak. Seperti baru saja memenangkan lotre.
Sejak saat itu, Arka tahu pendekatannya harus berbeda. Arka tidak bisa datang dengan gaya guru lama: masuk, ceramah, keluar. Itu akan berakhir dengan burnout dan mungkin trauma.
Arka harus mengajar mereka… dengan cara mereka.
Dan yang paling penting, Arka harus membuktikan pada dirinya sendiri, bahwa tempat gila ini bukanlah akhir dari karier nya.
Tapi justru… awal dari sesuatu yang luar biasa.
Hari pertama pun berakhir dengan sedikit kelelahan, sedikit pusing, tapi entah kenapa, juga sedikit semangat yang tidak bisa dijelaskan.
Karena di balik semua kekonyolan itu, aku melihat potensi. Potensi besar yang selama ini mungkin cuma butuh satu hal:
Seseorang yang percaya.