Ketukan palu dari hakim ketua, mengakhiri biduk rumah tangga Nirma bersama Yasir Huda.
Jalinan kasih yang dimulai dengan cara tidak benar itu, akhirnya kandas juga ... setelah Nirma dikhianati saat dirinya tengah berbadan dua.
Nirma memutuskan untuk berjuang seorang diri, demi masa depannya bersama sang buah hati yang terlahir tidak sempurna.
Wanita pendosa itu berusaha memantaskan diri agar bisa segera kembali ke kampung halaman berkumpul bersama Ibu serta kakaknya.
Namun, cobaan datang silih berganti, berhasil memporak-porandakan kehidupannya, membuatnya terombang-ambing dalam lautan kebimbangan.
Sampai di mana sosok Juragan Byakta Nugraha, berulangkali menawarkan pernikahan Simbiosis Mutualisme, agar dirinya bisa merasakan menjadi seorang Ayah, ia divonis sulit memiliki keturunan.
Mana yang akan menang? Keteguhan pendirian Nirma, atau ambisi tersembunyi Juragan Byakta Nugraha ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26
“Boleh, tapi kita selesaikan dulu perihal meminta restu, ya?” tanyanya balik sambil menatap teduh wajah Nirma.
“Iya, Mas.” Nirma hendak menggendong Kamal yang sedang memainkan sisir di atas tempat tidur, tapi keduluan juragan Byakta.
“Anak Ayah mengapa bisa tampan sekali ya? Mana harum lagi,” ia kecup bertubi-tubi perut buncit Kamal yang tak jauh berbeda dengan punyanya.
“Yah … Yah!” Kamal tertawa, tangannya menjambak rambut sang Ayah.
Nirma menatap haru pemandangan manis dihadapannya. ‘Alhamdulillah ya Nak, tak dapat kasih sayang Bapak kandung, tapi kau dilimpahi cinta oleh Ayah sambung.’
Ibu muda tersebut mengikuti langkah calon suaminya yang sedang bercengkrama bersama Kamal. Bersama mereka turun ke lantai satu.
Wulan langsung mengambil alih tas yang dijinjing oleh calon majikannya. Tersenyum tulus menatap Kamal. “Pagi anak ganteng, udah siap jalan-jalan ya?”
“Iya, Bik.” Nirma yang menjawab.
Guk!
Guk!
Sama halnya seperti hewan lainnya bila bertemu orang baru. Anggun pun langsung menggonggong kala tak mengenali dua sosok melangkah mendekati mobil.
“Anggun tak elok jenggong macam tu! Nanti Papa sentil kacuk kau!” Ren bersiap menjentikkan jarinya, langsung saja Anjing bernama Anggun itu kembali duduk manis.
“Dasar gendeng!” Bik Ning bersungut-sungut, bibirnya terus menggerutu.
“Kurasa ada sendeng-sendengnya Abang ni lah, masak Anjing disuruh panggil Papa, sedangkan anak sendiri nyebut Bapak.” Wulan menggelengkan kepala, menatap sinis pada Giren yang asik mengelus punggung Anggun.
“Yah … Yah!” Kamal menunjuk binatang tidak berbulu, ia terlihat begitu berminat ingin mendekati, tapi ragu-ragu.
“Tak boleh sayang! Nanti Kamal ketularan gila macam Om eddian itu!” Tunjuk Wulan pada Giren.
“Tak elok mengajari anak kecil untuk mengatai orang lain, Pesek!” balas Giren.
“Lah, barusan Abang jua ngejek aku!”
“Sudah cukup belum? Atau mau saya laga macam Kambing?”
“Tak mau, juragan!” Giren dan Wulan serempak menggeleng.
“Ren! Hari ini kau tak usah ikut! Sebab penampilanmu macam Tuyul yang hendak mengemis ke rumah warga! Takutnya anak-anak kampung Jamur Luobok terkena sawan setelah melihat kau!” Juragan Byakta menelisik salah satu orang kepercayaannya selain Kiron. Meskipun sering di luar nalar, tapi pria berumur 35 tahunan ini bisa diandalkan.
“Baik, Juragan!” Ren mengangguk lesu, tapi netranya menatap sengit musuh bebuyutannya yang jelas-jelas menahan tawa.
Nirma yang sedari tadi hanya menjadi pengamat, diam-diam menyimpan rasa kagum kepada Byakta Nugraha. Sosok dewasa itu terlihat membaur dengan para pekerja, tidak membedakan kasta.
.
.
Nirma, juragan Byakta, dan Kamal, duduk di kursi penumpang. Mobil dikemudikan oleh Ron. Bagian bagasi belakang penuh oleh-oleh sebagai buah tangan.
“Kenapa, Buk?” tanya Byakta, netranya memperhatikan gesture gelisah calon istrinya.
“Ibuk gugup, Yah. Takut bila Mamak tak menerima kehadiran kita, apalagi kita datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu,” ucapnya cemas, mereka berkunjung lebih cepat satu hari dari acara akikah si kembar. Niat hati ingin memberikan kejutan.
“Kecemasanmu tak masuk diakal, Buk. Jelas-jelas bila Mamak beberapa kali ada menanyakan kabar lewat sambungan telepon, Mbak Mala dan para sahabatmu jua pernah mengirimkan hadiah atas kelahiran Kamal. Jadi, mana mungkin mereka enggan menjamu apalagi sampai mengusir kita.” Byakta tersenyum geli.
“Iya sih, tapi tetap saja rasanya sulit dijabarkan, Yah.” Kembali ia meremas tangan.
Tanpa kata, Byakta Nugraha mengambil jemari saling memilin itu, menautkan pada tangan besarnya. Membawa ke tengah-tengah tempat duduk, ibu jarinya mengelus punggung tangan Nirma.
Nirma terkesiap, menatap dengan netra membola sempurna. Namun, ia kesulitan saat hendak merangkai kata, kembali dirinya membuang muka, memandang ke luar jendela.
Kamal tertidur di pangkuan sang Ayah, bayi berumur 9 bulan lebih itu terlelap kala punggungnya terus diusap-usap.
.
.
Mobil kijang biru tua terlihat menuruni bukit tidak seberapa menanjak, gemuruh dada Nirma semakin terdengar kencang, tanpa sadar ia mengeratkan tautan tangannya dalam genggaman sang calon suami.
‘Ya Rabb, akhirnya setelah sekian lama … hamba melihat lagi atap rumah Mamak,’ buliran bening menetes membasahi hijab segiempat berwarna biru.
Ron memarkirkan mobilnya berjarak lumayan jauh dari hunian Mak Syam.
“Keluar lah lebih dulu, temui ibumu!” Byakta melepaskan tautan mereka, ia paham bila Nirma sedari tadi sudah tidak sabaran.
Tanpa kata, Nirma membuka pintu. Begitu pelan ia menutup kembali, melangkah lebar melewati pohon kelapa dan jalan berbatu. Sengaja lewat samping, ia ingin masuk dari pintu belakang rumah baru ibunya.
Ketika melewati hunian lama sang ibu yang kini dijadikan rumah produksi usaha catering sang kakak, ia membawa jari telunjuk sebagai kode untuk salah satu sahabatnya yang melihat kehadirannya.
Dhien mengangguk paham, linangan air mata membasahi pipinya, begitu juga dengan Nirma. Mereka sama-sama menangis.
‘Terima kasih ya Rabb, Engkau begitu baik memberikan kesempatan kepada hamba, kembali melihat sosok wanita hebat itu,’ Nirma berhenti melangkah, kurang dari 10 meter, sang ibu sedang duduk di undakan tangga dapur, menunduk memilih sesuatu di atas tampah.
Tidak lagi berjalan, tapi berlari, ia menjatuhkan tas sandangnya di atas batu kerikil. “Mamak! Nirma pulang!”
Bruk.
Tubuhnya luruh, wajahnya menempel di kaki berdebu sang ibu yang tidak mengenakan sandal. “Mamak.”
“Nir_ma, Ima …?” Mak Syam tidak mampu berucap, ia masih tidak percaya bahwa sosok yang sedang bersimpuh, memeluk betis dan mencium kakinya ini putrinya.
“Iya Mak, ini putri durhaka mu yang datang ingin meminta pengampunan! Hiks hiks.” Tubuhnya bergetar hebat, kedua tangan memeluk erat kaki ibunya yang berbalut rok lebar.
Tampah yang tadi masih dipegang erat, terjatuh, kacang hijau berhamburan di atas tanah.
Kini Mak Syam percaya bila putri yang sangat ia rindukan kini ada di hadapannya.
“Alhamdulillah! Alhamdulillah! Anakku pulang, si bungsu akhirnya sudi menjejakkan kakinya kembali ke rumah ini!” Mak Syam mencium pucuk kepala Nirma, tangan tuanya meremas baju bagian punggung sang putri.
“Nirma mohon ampun Mak! Sudi kiranya Mamak memberikan sedikit saja maaf pada wanita tak tahu diri ini, demi nafsu rela berbuat bejat, memperlakukan Mamak dan Mbak Mala dengan keji, tanpa hati nurani mempermalukan keluarga kita.” Ia kecup bertubi-tubi kulit kaki yang uratnya menonjol.
“Nak … tolong dongak kan wajahmu!” Sedari tadi Mak Syam berusaha membingkai wajah Nirma, tapi sang putri enggan menatap.
“Nirma tak sanggup Mak! Rasanya malu sekali menatap wajah yang dulu selalu tersenyum, bibir mencium kening ini kala hendak pamit kuliah ke ibu kota. Ya Rabb ….” Nirma menggelengkan kepala, semakin dalam melesakkan kepalanya pada kaki sang ibu.
“Demi Tuhan, Mamak telah memaafkan mu, Nirma. Tak sedikitpun menyimpan amarah apalagi dendam. Lupakan yang telah berlalu, tak baik terus terpuruk dan berkubang pada masa kelam itu.” Ia jepit kuat dagu putrinya, tatapan mata basah mereka saling bertemu.
“Masya Allah, akhirnya hidayah menghampirimu Nak. Kini putri Mamak begitu elok parasnya, berkerudung, baju tertutup rapat.” Mak Syam mencium kening Nirma, dalam hati melantunkan kalimat puji syukur, tanpa ia pinta si bungsu mau menutup aurat dengan sendirinya.
“Mamak!” Nirma tergugu, memeluk kuat tubuh sang ibu, yang langsung dibalas tak kalah erat.
“Terima kasih Nirma, kau mau kembali! Sungguh wanita tua ini sangat merindukan mu. Terima kasih ya Allah, Engkau begitu berbaik hati, mengabulkan doa hamba.” Ia usap sayang punggung bergetar permata hatinya.
“Dek …?”
.
.
Bersambung.
maaf ya Ji ngetawain ...abisnya gmn lg ya kalo masih ingin ngabdi sama juragan Byakta harus mau babak belur suruh sana sini,pontang panting 👍🏻
jadi penasaran gimana konsep Tasyakuran Nikahnya Juragan,
Abang Agam Amala mengadakan pesta rakyat...
Abang Dzikri Dhien bagi bagi sembako,
kira-kira Juragan Byakta apa ya???????
nggak aneh sih... karena yang punya 🐕 anjing juga agak lain.. makanya anjingnya 🐕 puun ngejar-ngejar lembu 🐄.. bukannya ngejar 🐈 kucing yang kayak di film kartun itu...😂😂😂...
rumah Mak Syam jadi rame riuh... kumpul semua anak cucu menantu... tumplek blek.. jambak-jambakan, cakar-cakaran... pukul-pukulanan, tarik-tarikan... nangis bareng-bareng...😂😂😂