Putri Kirana
Terbiasa hidup dalam kesederhanaan dan menjadi tulang punggung keluarga, membuatnya menjadi sosok gadis yang mandiri dan dewasa. Tak ada waktu untuk cinta. Ia harus fokus membantu ibu. Ada tiga adiknya yang masih sekolah dan butuh perhatiannya.
"Put, aku gak bisa menunggumu tanpa kepastian." Satu persatu pria yang menyukainya menyerah karena Puput tidak jua membuka hati. Hingga hadirnya sosok pria yang perlahan merubah hari dan suasana hati. Kesal, benci, sebal, dan entah rasa apa lagi yang hinggap.
Rama Adyatama
Ia gamang untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan mengingat sikap tunangannya yang manja dan childish. Sangat jauh dari kriteria calon istri yang didambakannya. Menjadi mantap untuk mengakhiri hubungan usai bertemu gadis cuek yang membuat hati dan pikirannya terpaut. Dan ia akan berjuang untuk menyentuh hati gadis itu.
Kala Cinta Menggoda
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Hari yang Menguras Emosi
Keluar dan menutup pintu ruangan Pak Hendra. Puput langsung dijegal langkah oleh Via. Kesempatan, mumpung tidak ada Septi yang lagi turun ke lantai satu. Yang selalu hobi nyinyir terutama terhadap Puput. Dengan suara pelan ia menanyakan tentang alasan terlambat masuk kantor dan ingin tahu tanggapan manajer Hendra.
"Nanti ajalah pulang kerja kamu main ke rumah. Biar ngobrolnya leluasa. Sekarang aku mau pulang." Puput masuk ke kubikelnya. Meraih tas yang tersimpan di atas meja.
"Lah....kenapa pulang, Siput?" Menambah rasa penasaran Via yang melihat raut wajah sahabatnya itu agak muram.
Puput menghembuskan nafas panjang. "Hari ini aku dibebas tugaskan. Besok mulai kerja baru. Jadi bawahanmu," ujarnya sembari tersenyum kecut.
Via menepuk kening dan mendesah. Menggelengkan kepala, tak percaya dengan keputusan hukuman yang harus diterima sahabatnya itu. Ingin protes tapi siapalah aku, pikirnya. Bahkan Pak Rama nya langsung pergi dengan tergesa.
"Oke, Put. Nanti kita ngobrol banyak di rumah. Kamu tiati di jalan ya. Harus tabah dan tegar, jangan sampe oleng bawa motornya. Aku udah cancel do'a ngehalu kisah Rama Sinta mix Sangkurian Dayang Sumbi untukmu. Ternyata dia menyebalkan and killer," pungkasnya dengan nada geram dan kedua tangan yang diangkat seolah ingin mencakar-cakar.
Lain halnya Puput yang memutar kedua bola mata. Jengah dengan cerocosan Via yang tanpa filter itu. Sudah tidak aneh dengan kelakuan gadis jawa yang super ekspresif kalau bicara.
"Semua, aku pamit duluan pulang ya. Hari ini aku free." Puput melambaikan tangan ke kiri dan kanan. Tidak menampakkan wajah sendu lagi, sebaliknya tetap riang enerjik dan semangat seperti biasanya.
"Putri, tetap semangat ya! Titi dj pulangnya!" Andi menatap dengan sorot kasihan. Mengangkat tangan terkepal dan mensupport rekan kerja yang terkena hukuman itu. Yang lain hanya membalas lambaian tangan Puput karena sedang disibukkan dengan pekerjaan.
Waktu menunjukkan jam 10 lebih 15 menit. Puput memilih menepikan motor, singgah di alun-alun Ciamis. Terlalu pagi untuk pulang ke rumah. Malah akan menjadi bahan pertanyaan penuh keheranan. Tidak ingin ibunya tahu akan skorsing yang diterimanya. Bisa-bisa membuat sang ibu menjadi sedih dan kepikiran.
Alun-alun yang luas dan tertata apik. Ruang publik yang menjadi icon kota Ciamis itu tampak lengang. Akan lebih ramai pengunjung saat menjelang sore atau hari libur.
Puput memilih duduk di bangku yang dekat dengan masjid Agung. Karena deretan bangku beton di seputaran masjid lebih teduh oleh rindangnya pepohonan. Nampak seorang petugas kebersihan sedang menyapu daun-daun kering. Puput melempar senyum ramah dan memberikan teh botol dingin yang dibelinya dari pedagang gerobak di dekat parkiran.
"Jazakillah khairan, makasih Neng." Ibu-ibu berseragam dinas kebersihan itu menerima dengan wajah sumringah.
Ponsel yang baru sempat dibukanya menampilkan puluhan panggilan tak terjawab dari Via. Termasuk chat yang dikirim berkali-kali menanyakan posisi. Keningnya mengkerut, ada 2 panggilan di 10 menit yang lalu dari nomer yang tidak dikenal. Siapa ya?
Minuman teh botol miliknya disedot tanpa henti. Baru sadar jika tenggorokannya sangat kering. Rasa dingin menyegarkan mengaliri tenggorokan dan membuat kepalanya yang sempat berdenyut lebih plong. Skorsing yang tak disangkanya lumayan membuat syok. Tapi ia tidak akan down. Tetap semangat menerima hukuman dari sang owner.
Puput termenung. Kilas balik peristiwa pagi ini. Ternyata berbuat baik menolong orang tidak selamanya berbuah manis, tidak selamanya mendapat balasan kebaikan. Malah yang ada harus menelan pil pahit.
"Astagfirullah---" lirihnya. Terkejut dengan prasangka buruk yang menari-nari di pikiran.
Ikhlas Put....ikhlas.
Puput mensugesti diri. Menepis prasangka buruk yang hampir saja mengotori hati. Yakin, akan selalu ada hikmah di setiap kejadian.
Ponselnya berdering. Ibu memanggil.
Sekali usap, Puput menjawab ucap salam sang ibu yang terdengar bernada khawatir.
"Teh, barusan wali kelas Rahmi telepon. Ibu disuruh ke sekolah sekarang juga. Katanya ada masalah."
"Masalah apa, Bu?" Puput mengeratkan ponselnya. Kedua alisnya bertaut dengan wajah serius.
"Katanya Rahmi mukul temannya sampai terkilir. Ibu ke sekolah dulu atuh ya, buat mastiin." Terdengar nada cemas ibu di ujung telepon."
"Ibu di rumah aja. Biar teteh yang ke sekolah. Sekarang mau jalan." Puput mencegah ibunya pergi. Segera berdiri dan menyelempangkan tasnya. Tidak lupa membuang dulu kemasan minuman ke tempat sampah. Langkahnya lebar menuju parkiran motor.
"Kan teteh kerja?!" Terdengar nada heran ibunya.
"Hari ini bagian lapangan, Bu. Ini aja lagi diluar. Sudah dulu ya, Bu. Teteh otewe ke sekolah!" Puput menyimpan ponsel ke dalam tas usai ibu menyuruhnya berhati-hati di jalan.
Maaf, Bu. Teteh bohong.
Puput memasang helm fullface nya serta sarung tangan pelindung dari sengatan matahari. Melesat pergi menaiki tunggangannya.
...***...
Jalanan yang lengang membuat Puput menggeber NMax nya pada kecepatan 60 km/jam. Tak butuh waktu lama. Hanya dalam waktu 12 menit, Puput sampai di sekolahan adik bungsunya.
Di ruang kepala sekolah, sudah ada beberapa orang berkumpul. Diantaranya yang dikenal ada bapak kepala sekolah dan wali kelas enam. Puput menyalami semuanya. Termasuk sepasang orang tua yang nampak ketus dan menatapnya tajam. Rahmi yang nampak senang akan kedatangan kakaknya itu langsung berpindah duduk mendekat.
"Oh, jadi ini ibunya Rahmi?!" dengan penuh kemarahan si ibu berbadan subur itu menunjuk muka Puput. "Kamu harusnya didik anakmu dengan bener. Perempuan kok kelakuannya kayak preman."
"Tenang dulu ya, Bu Iwan. Kita bicarakan ini baik-baik ya!" ujar Kepala sekolah menengahi. Menenangkan ibunya Robin yang tersengal-sengal karena menahan marah.
Puput yang belum faham akar permasalahannya mencoba tenang tidak terpancing emosi.
"Perkenalkan saya Puput, ķakaknya Rahmi. Boleh dijelaskan dulu apa masalahnya ya?" Puput menatap Ibu Rika, wali kelasnya Rahmi.
"Begini Teh Puput, kronologis awalnya saya juga belum jelas. Yang saya lihat ada keributan di kelas pas saya kasih tugas. Dan Robin sudah tergeletak di lantai sambil menangis memegangi tangan," ujar sang wali kelas.
Puput melihat murid laki-laki duduk paling pojok dengan tangan kanan dibalut perban coklat biocrepe. Di sampingnya adalah bapaknya Robin yang intens menatap Puput sejak hadir di ruangan itu.
"Tangan anak saya sampe terkilir dan bengkak. Pokoknya Bapak harus ngasih hukuman sama anak yang nakal." Ibunya Robin masih berapi-api. Meminta kepala sekolah untuk memberi sanksi.
"Nanti dulu, Bu! Ada akibat pasti ada sebab. Saya mau tanya dulu adik saya!" Puput tidak gentar dengan hardikan ibunya Robin.
Puput beralih menatap sang adik yang duduk di sampingnya. "Ami---- jujur sama teteh. Kenapa Ami pukul Robin?" tanyanya dengan lembut.
"Aku kan tadi lagi ngerajin tugas matematika. Terus Robin gangguin. Nyolek-nyolek pinggang. Udah aku tegur malah makin sengaja mau pegang ini---" Rahmi menunjuk dadanya.
"Aku tepis tangannya Robin sambil marahin. Dia malah ketawa-ketawa. Lalu si Robin malah mau meluk. Ya aku tarik aja tangannya dipelintir sampe jatuh. Tuman!" Rahmi menatap galak pada Robin. Membuat anak laki-laki itu menciutkan badan. Bersembunyi di balik punggung bapaknya.
"Sekarang Bapak tanya sama Robin." Kepala sekolah kembali bersuara. Beralih menatap murid laki-laki itu. "Kenapa Robin sampe dipelintir tangan oleh Rahmi?" sang kepala sekolah berusaha fair.
"Teman-teman di kelas banyak yang lihat kok!" Celetuk Rahmi memecah keheningan karena Robin masih bungkam. Nampak percaya diri jika yang memulai masalah bukan dirinya.
"Aku memang iseng gangguin Rahmi. Maaf---" Akhirnya Robin membuka mulut dengan kepala menunduk.
"Sudah jelas kan siapa yang salah. Memang saya dan Ibu selalu berpesan pada Rahmi, harus menolak dan melawan jika ada laki-laki menyentuh anggota badan." Puput memfokuskan menatap Ibunya Robin. Yang ditatap nampak memalingkan wajah ke lain arah dengan bibir mengatup.
"Pah, ngomong dong. Jangan diem wae!" Bu Iwan beralih mencolek lengan suaminya. Berbicara setengah berbisik. Ia tidak tahu jika dari tadi suaminya itu malah betah menatap wajah cantik Puput.
"Eh i-iya. Bapak dan Ibu, juga Teh Puput. Saya selaku orangtua Robin mohon maaf atas kenakalan anak saya."
Ibunya Robin mendelik pada sang suami. Bukan itu ucapan yang ingin didengarnya. Seharusnya selaku orangtua tetap membela anaknya.
"Kita islah ya bapak dan ibu. Saya kira masalah ini kita anggap selesai sampai di sini." Bapak kepala sekolah selaku mediator menutup permasalah. Mempersilakan kedua murid berjabat tangan juga wali murid saling maaf memaafkan.
Rahmi merajuk ingin pulang. Tidak mau melanjutkan masuk ke kelas yang tinggal satu mata pelajaran lagi. Membuat Puput harus bicara dengan wali kelas untuk meminta izin.
Di luar ruang guru, Puput mensejajari langkah gurunya Rahmi yang berjalan menuju kelas. "Bu Rika, maaf adik saya lagi mode bete. Mau izin pulang aja, gak papa?" pintanya dengan sungkan.
Bu Rika mengangguk. "Gak papa, tapi besok Rahmi harus masuk sekolah lagi ya," ujarnya menatap Rahmi yang menggelayut di lengan sang kakak.
Setelah mendapat izin, Puput pamit dan Rahmi pun mencium tangan sang guru.
"Teh, pengen jajan siomay!" Rahmi yang duduk diboncengan berteriak.
"Siomay mana?" Puput pun memelankan laju motornya. Khawatir tukang siomay terlewat.
"Siomay mang Dudung. Yang deket polsek."
"Ah jauh itu.... Lain kali aja ya. Kita pulang!" Puput menolak. Bahkan sekarang sudah sampai di seberang rumah menunggu jalan lengang.
"Aahhh gak mau, Teteh. Aku pengen siomay mang Dudung sekarang!" Rahmi merajuk. Merekatkan pelukan di pinggang sang kakak. Tidak mau turun.
Puput hanya bisa menghela nafas panjang. Padahal sudah sampai depan rumah. Terpaksa menuruti. Itu berarti harus berkendara lagi ke jalur pusat kota.
"Ya udah. Simpan dulu tasnya terus ambil helm. Sekalian bilang dulu sama Ibu!"
Plang bertuliskan Siomay Mang Dudung sudah nampak di depan mata. Memang rasanya enak, sangat terasa aroma tenggiri serta bumbu kacang yang lembut. Terkadang Puput sengaja datang membawa sekeluarga menikmati siomay dan bakso tahu yang cocok di lidah.
Tiìiiinnnnn
Klakson panjang dibunyikan oleh kendaraan yang keluar dari polsek, seenaknya menyalip jalan. Membuat Puput terkejut dan harus memepetkan motor turun ke bahu jalan. Jika tidak, motornya akan kesenggol.
"Astagfirullah hal'adziim----"
"Hei------ berhenti siah!!!"
"Dasar sontoloyo! Seenaknya aja bawa mobil!"
Geram. Puput meneriaki mobil Pajero hitam yang melaju makin menjauh tanpa rasa bersalah. Pasti tidak terdengar karena Puput berteriak di balik helm fullface nya. Ingin sekali mengejar. Tapi tidak mungkin, karena sedang membonceng adiknya. Bisa-bisa si bungsu syok dengan aksi ngebutnya nanti. Benar-benar hari ini hari yang menguras emosi jiwa.
...***...