Safa, gadis dari kalangan atas terpaksa menawarkan diri untuk menjadi istri dari Lingga, seorang CEO terkemuka demi menyelamatkan Perusahaan orang tua angkatnya.
"Ayo kita menikah. Aku akan melahirkan anak untukmu, asal kamu mau menolong Papaku"
"Kau yakin mau menikah dengan ku?"
"Aku yakin!"
Safa menjawabnya dengan tegas. Tanpa memikirkan suatu saat nanti hatinya bisa goyah dan mencintai Lingga.
Tapi sayangnya hati Lingga telah mati, dia hanya mencintai Asyifa tunangannya yang telah meninggal dunia. Lingga menikah hanya karena paksaan orang tua serta untuk melahirkan penerus keluarganya.
"Dia sangat mencintai anaknya, tapi tidak dengan wanita yang melahirkan anaknya" ~ Safa ~
Bagaimana nasib Safa saat Lingga pulang membawa wanita yang wajahnya begitu mirip dengan Asyifa? Apa yang akan Safa lakukan disaat dia sendiri sedang berjuang antara hidup dan mati?
Akankan Safa bertahan atau merelakan suaminya bahagia dengan wanita itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi.santi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meminta tolong
Safa mengusap air matanya yang tiba-tiba mengalir di pipinya. Rasanya sakit saat Lingga hanya mengkhawatirkan kandungannya. Safa menganggap jika Lingga hanya mementingkan keselamatan anaknya tanpa memikirkan dirinya.
Mendadak hatinya sakit, terasa begitu nyeri. Padahal untuk apa, dia harusnya tau kalau dia sama sekali tidak berhak sedih ataupun marah atas sikap Lingga. Tapi kenapa? Ada apa dengan hatinya saat ini?
Safa mengusap air matanya dengan kasar, menarik nafasnya dengan panjang. Dia heran dengan sikapnya sendiri.
"Kenapa harus menangis? Bukannya sudah biasa?" Tanyanya pada diri sendiri.
Safa merebahkan diri di atas ranjang, dia memilih tidur dan melupakan titipannya pada Lingga tadi. Rasanya juga sudah tak menginginkan es krim seperti tadi.
Hingga di tengah malam, Safa terbangun karena rasa hausnya. Dia juga lupa membawa air minum ke kamarnya karena tadi Safa ingin makan es krim dulu kemudian mengambil minum dan membawanya ke kamar.
Dengan hati-hati, Safa menuruni anak tangga. Meski di rumah itu juga ada lift, tapi Safa memilih memakai tangga karena di usia kehamilannya tinggal menghitung hari itu, dia harus banyak bergerak.
"Kok Bi Sri belum tidur?" Safa mendapati Bi Sri yang masih beradab di dapur.
"Bibi lupa masukin belanjaan tadi sore ke kulkas. Non Safa kenapa bangun?" Tanya Bi Sri sambil melipat kantung belanja.
"Mau ambil minum Bi" Safa membuka kulkas yang berada di dapur bersih. Di sana hanya berisi air mineral, susu yang biasa di minum Lingga, makanan ringan.
"Non Safa nggak makan es krim yang dibelikan Den Lingga tadi?"
"Es krim?" Safa menatap Bi Sri dengan kening berkerut
"Iya, tadi Den Lingga bawa es krim sama coklat putih katanya pesanan Non Safa. Sudah Bibi taruh di kulkas kalau Non Safa mau makan"
Safa tak menanggapi Bi Sri lagi, dia langsung membuka freezer dan melihat beberapa merk es krim berbeda namun dengan rasa vanila, di sana juga ada coklat putih dua tiga batang.
Bibir Safa tertarik membentuk sebuah senyuman. Dia mengambil masing-masing satu kemudian duduk di meja bar.
Dengan terburu-buru, Safa membuka satu kotak es krim berukuran sedang. Rasa ingin makan es krim yang tadi sempat hilang kini muncul kembali.
"Ini sendoknya Non" Bi Sri menguburkannya pada Safa. Dia peka karena melihat Safa yang membukanya tanpa mengambil sendok terlebih dahulu.
"Makasih Bi" Safa mulai menikmati makanan yang begitu ia inginkan sejak beberapa hari yang lalu.
Rasanya benar-benar menyegarkan, sangat berbeda dengan es krim yang ia beli kemarin, rasanya kali ini benar-benar lebih enak.
"Enak ya Non?" Tanya Bi Sri yang melihat Safa memakan dengan lahap, seolah tak merasakan dingin sama sekali.
"Iya Bi, Bibi mau?"
"Enggak, Bibi nggak bisa makan es. Gigi Bibi ngilu"
Safa hanya mengangguk kemudian kembali menikmati es krimnya lagi. Hingga tanpa sadar air matanya menetes, entah karena bahagia karena keinginannya terwujud untuk memakan es krim yang Lingga berikan atau karena perasaan lain yang tak bisa dijabarkan dengan kata-kata.
Bi Sri yang melihat air mata mengalir di pipi Safa pun merasa miris. Di bisa seperti mengerti apa yang Safa rasakan saat ini. Wanita paruh baya itu mengusap punggung Safa dengan lembut.
"Yang sabar ya Non" Bisik Bi Sri.
Sementara Safa hanya mengangguk dengan bibir gemetar namun ia berusaha menyembunyikannya dengan terus memakan es krimnya.
Sementara itu, seseorang yang berdiri tak jauh dari sana hanya menjadi penonton saja. Pria itu sudah cukup lama hanya dengan berdiri di sana tanpa melangkah mendekat. Tatapannya yang datar itu juga terlihat tak bisa di baca sama sekali.
Hingga dia memutuskan untuk berbalik pergi untuk kembali ke kamarnya sendiri, tanpa tau apa yang sebenarnya pria itu inginkan.
🌺🌺🌺🌺
Safa turun ke bawah saat hari sudah mulai siang karena dia baru bisa tidur selepas subuh. Hal yang biasa Safa alami satu bulan yang lalu saat kehamilannya masik usia delapan bulan.
Lagipula hari ini hari Minggu, yang pastinya Lingga tidak bekerja. Jadinya Lingga pasti akan bangun siang dan mereka tidak bertemu di meja makan untuk sarapan bersama.
"Lintang, kamu di sini?" Safa terkejut karena mendapati adik iparnya sudah duduk menonton TV di ruang tengah.
"Sudah dari tadi?" Tanya Safa lagi sambil mendekati adik iparnya itu.
"Udah dari pagi buta. Mama aku maksa aku harus bangun pagi buat antar makanan buat menantu kesayangannya, tapi sampai sini justru Nyonya rumah belum bangun!" Ucap Lintang sambil memainkan kukunya yang panjang dan cantik.
"Maaf, Mbak baru bisa tidur habis subuh tadi. Kalau tau kamu disini dari tadi, Mbak pasti langsung turun" Safa duduk di samping Lintang. Adik iparnya itu memang ketus, namun perlakuan adik iparnya itu tak pernah Safa masukkan ke hati.
"Ya udah sana sarapan dulu, Mama udah masak capek-capek buat Mbak!" Lintang masih terlihat ketus.
"Iya nanti Mbak makan. Tapi sebelumnya, boleh nggak Mbak minta tolong sama kamu?"
"Apa?" Lintang menatap Kakak iparnya dengan mengernyit.
Dia tak pernah dekat dengan Safa, bahkan selalu ketus dan menjaga jarak. Tapi entah kenapa Safa tak pernah marah dan justru bersikap lembut kepadanya.
"Boleh nggak kalau kamu usap perut Mbak sebentar aja. Kamu kan mirip banget sama Papanya, mungkin aja keponakan kamu ini udah puas walau kamu yang menyapanya" Pinta Safa dengan senyum di bibirnya.
Lintang yang mendengar permintaan Safa justru kesal, apalagi dia melihat mata Safa yang membuatnya merasa tak nyaman.
"Kenapa nggak minta langsung sama Mas Lingga aja? Kenapa harus aku?!" Kesalnya.
"Kamu tau sendiri gimana hubungan Mbak sama Mas mu kan Lintang? Mbak juga nggak tau kenapa pingin sekali perutnya di usap sama Mas Lingga. Mungkin ini permintaan keponakan kamu di dalam sana"
Lintang hanya diam, dia bahkan memalingkan wajahnya. Matanya memerah menahan sesuatu yang ingin tumpah. Tangannya mengepal erat karena dia marah dan kesal. Tak pernah dia merasa semarah ini pada Kakaknya sendiri.
"Oke, tapi bentar aja. Aku udah ada janji soalnya!"
"Iya bentar aja nggak papa kok. Cuma di usap aja pelan-pelan"
Lintang mulai menggerakkan tangannya ke perut Safa yang sudah begitu besar.
"Kapan lahirnya?" Tanya Lintang saat tangannya sudah berada di atas perut Safa.
"Sekitar satu minggu lagi kalau menurut dokter"
Lintang hanya mengangguk sambil terus mengusap perut Safa.
"Aduh!!" Lintang terkejut karena merasakan gerakan yang cukup kertas dari dalam.
"Sepertinya dia senang sama kamu"
"Mas sih?" Lintang kembali menyentuh bagian yang tadi bergerak cukup keras.
"Eh iya bener!" Senyum Lintang mengembang. Dia menjadi ketagihan untuk menyentuh perut Safa karena setiap ia menekannya agak keras dengan telunjuknya, si jabang bayi pasti membalasnya dengan sebuah tendangan.
"Ih lucu banget, hahaha..." Tawa Lintang terdengar begitu renyah. Dia seakan lupa kata-katanya yang mengatakan akan melakukannya sebentar saja.
Seperti tadi malam, seseorang hanya berdiri dari kejauhan melihat apa yang Safa dan Lintang lakukan kemudian kembali lagi ke kamarnya setelah beberapa saat berada di sana.
sekarang lingga yg akan berjuang untuk mengejar cinta dari safa lagi
nyesekkkk akuuuu