Riana pikir kakaknya Liliana tidak akan pernah menyukai suaminya, Septian. Namun, kecurigaan demi kecurigaan membawanya pada fakta bahwa sang kakak mencintai Septian.
Tak ingin berebut cinta karena Septian sendiri sudah lama memendam Rasa pada Liliana dengan cara menikahinya. Riana akhirnya merelakan 5 tahun pernikahan dan pergi menjadi relawan di sorong.
"Kenapa aku harus berebut cinta yang tak mungkin menjadi milikku? Bagaimanapun aku bukan burung dalam sangkar, aku berhak bahagia." —Riana
Bagaimana kisah selanjutnya, akankah Riana menemukan cinta sejati diatas luka pernikahan yang ingin ia kubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Esok harinya, Riana terbangun dari tidur panjangnya. Sudah lama sekali ia tidak merasakan tidur senyenyak ini. Dulu, alarmnya harus selalu menyala pukul empat pagi, membuat tubuhnya terbiasa bangun lebih awal demi menyiapkan segalanya untuk Septian.
Kini, ia membuka mata tanpa rasa terburu-buru. Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, menghangatkan wajahnya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Riana merasa… bebas.
Ia bangkit perlahan, duduk di tepi ranjang sambil menatap kamar yang terasa berbeda, lebih lapang tanpa beban di dadanya. Jemarinya meraih kalender di meja, menatap lingkaran merah yang ia buat semalam, lalu menambahkan satu lingkaran lagi sambil berbisik lirih, “Semoga semua ini cepat terlewati.”
Riana melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai, ia keluar dari kamar. Suasana rumah begitu sepi membuatnya tersenyum miring, seolah bisa menebak kalau Septian dan Liliana masih berada di rumah sakit.
“Bagus… ini lebih baik,” gumamnya, lalu berjalan ke dapur untuk menyiapkan sarapan sederhana untuk dirinya sendiri.
Tak lama, roti bakar dan segelas susu sudah siap di atas meja, ia ingin segera menyantap karena perutnya sudah keroncongan. Namun, baru saja roti itu di gigit, pintu rumah terbuka. Muncul Septian bersama Liliana yang menggendong Lira.
Riana mendengus malas, hanya memutar bola matanya malas lalu melanjutkan menyantap roti. Sayangnya, Septian yang geram langsung meraih roti itu dari tangannya.
“Riana, kamu nggak masak nasi goreng? Dan ini kamu cuma bikin sarapan buat dirimu sendiri?” suaranya meninggi seolah menuntut Riana harus melakukan kebiasaan setiap pagi untuk membuat sarapan dengan menu nasi goreng kesukaannya.
“Seperti yang kamu lihat,” jawab Riana seenaknya, ia tetap tenang tidak terganggu dengan suara Septian.
“Riana, aku nggak ngerti kenapa kamu jadi berubah kayak gini. Marah itu ada batasnya!”
Riana menghela napas, lalu menatap suaminya dengan wajah kesal. “Aku nggak berubah, dan aku juga nggak marah. Mungkin itu cuma halusinasi kamu aja.”
Liliana tersenyum tipis sambil mengayun Lira di gendongannya. Ia tak habis pikir kenapa adiknya berubah sedrastis ini. Namun, satu hal yang pasti, ini kesempatan emas untuknya tanpa bersusah payah Septian akan benci sendirinya dengan Riana.
“Riana, sudahlah, jangan melawan terus,” ujar Liliana pura-pura menengahi.
“Aku nggak melawan kok, Kak, tenang aja. Aku cuma bikin makanan untuk diriku sendiri. Mana aku tahu kalau kalian bakal pulang pagi-pagi terus cari sarapan. Lagi pula, aku bukan pembantu yang harus ngurusin hal-hal sepele kayak gini, kan?” balas Riana dingin.
“Ya ampun, Riana! Kamu ini kenapa sih? Makin lama kelakuanmu makin nggak masuk akal!” bentak Septian.
Riana menegakkan tubuh, menatap suaminya lurus-lurus. “Aku nggak masuk akal? Jadi menurutmu yang masuk akal itu gimana? Bangun jam empat pagi, siapin baju sama sarapanmu, beresin semua kekacauan rumah ini? Terus ngurus ibumu yang sakit-sakitan?” ia menarik napas panjang, lalu menambahkan dengan suara bergetar menahan emosi, “Atau… nunggu kamu tiap malam pulang entah dari mana, tanpa satu kabar pun?”
Liliana pura-pura menghela napas, lalu menepuk pelan bahu Septian. “Tian, jangan dimarahi terus. Kasihan Riana. Mungkin dia lagi stres karena merasa nggak sanggup ngurus rumah dan Ibu. Kalau memang sudah nggak sanggup, kan masih ada aku yang bisa bantu.”
Riana menoleh cepat, menatap tajam kakaknya. “Maksudmu apa, Kak? Kamu pikir aku nggak mampu? Atau kamu senang sekali lihat aku dianggap gagal jadi istri?”
Liliana tersenyum tipis, tapi matanya berkilat penuh kemenangan. “Ya kalau memang nggak sanggup, bilang saja. Riana, Tian butuh istri yang bisa nemenin, bukan yang kerjanya marah-marah terus.”
Ucapan itu menusuk hati Riana dalam-dalam. Jemarinya bergetar menahan emosi, tapi Liliana terus menambahkan, suaranya terdengar manis di luar, namun penuh racun.
“Lagipula… aku kan memang selalu ada buat Tian. Kamu juga tahu itu, kan? Kalau kamu suka sama dokter siapa itu kemarin Alif ya? Jangan seperti ini Riana. Kamu kayak wanita gak bener tau gak?”
Plakk!
Tangan Riana melayang keras ke pipi Liliana. Suara tamparan itu bergema di ruangan, membuat Liliana terhuyung ke belakang. Karena masih menggendong Lira, tubuhnya oleng dan nyaris jatuh ke lantai bersama anaknya.
“Liliana!” teriak Septian panik, buru-buru meraih mereka. Wajahnya merah padam, matanya berkilat penuh amarah saat menoleh ke arah Riana.
“Riana! Kamu gila? Berani-beraninya kamu nyakitin kakakmu sendiri!”
“Aku cuma…—”
Belum sempat Riana membela diri, tubuhnya sudah didorong keras oleh Septian. Dorongan itu begitu kuat hingga ia kehilangan keseimbangan, terhempas ke dinding.
Brukk!
Kepalanya terbentur keras. Cairan merah segar segera mengalir di dahinya, membuat pandangannya berkunang-kunang.
Suasana menjadi hening. Hanya tangisan Lira yang pecah, meraung di pelukan Liliana. Riana terduduk lemah di lantai, tangannya refleks menyentuh bagian belakang kepalanya yang berdenyut sakit. Namun, yang lebih menyakitkan dari luka itu adalah hatinya.
Suami yang telah ia rawat selama lima tahun penuh pengorbanan, justru memilih melindungi kakaknya, bukan dirinya.
Riana menatap kabur ke arah Septian, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. “Jadi… segini saja nilainya aku di matamu? Setelah semua yang kulakukan…” suaranya bergetar, hampir tak terdengar.
Septian tidak menjawab. Wajahnya tegang, masih sibuk memastikan Liliana dan Lira baik-baik saja. Ia bahkan tak menoleh sedikit pun pada istrinya yang kini berlumuran darah.
Liliana, yang masih memegangi pipinya yang memerah karena tamparan tadi, justru tersenyum samar. Ada kepuasan tersembunyi di balik wajah paniknya. Apalagi saat ini Septian dengan panik membawa Lira dalam gendongannya dan memapahnya pergi dari tempat itu.
“Kita ke rumah sakit,” ucap Septian terburu-buru, seolah hanya Liliana dan Lira yang penting baginya.
Riana terdiam. Tawa getir lolos dari bibirnya, bercampur dengan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuh. Ia tak tahu mana yang lebih perih, kepalanya yang berdenyut dan berdarah, atau hatinya yang koyak melihat suaminya begitu tega.
Langkah mereka menjauh, meninggalkan dirinya seorang diri di ruang yang dingin dan sunyi. Lututnya melemah, tubuhnya perlahan ambruk menempel pada lantai dingin. Air matanya menetes, kabur bersama pandangan yang semakin berat. Dengan suara yang nyaris tak terdengar, ia berbisik lirih, seakan berbicara pada dirinya sendiri.
“Kehidupan macam apa ini, Riana... bahkan di saat seperti ini... kamu tetap sendirian.”
Suara Riana melemah, tubuhnya merosot sepenuhnya ke lantai. Pandangannya semakin kabur, napasnya tersengal-sengal. Cairan merah di dahinya kian deras menetes, membasahi lantai dingin.
Kesepian yang mencekik membuat dadanya kian berat. Perlahan kelopak matanya menutup, seolah menyerah pada rasa sakit yang merambat ke seluruh tubuh. Namun sebelum kesadarannya benar-benar hilang, samar-samar terdengar suara pintu diketuk dari luar. Ketukan itu keras, berulang-ulang, diikuti suara seseorang memanggil namanya.
“Riana! Riana, buka pintunya!”
Tubuhnya sudah terlalu lemah untuk merespons. Tapi suara itu semakin jelas, memaksa jantungnya berdegup pelan… mengenal siapa pemilik suara itu. Di antara kabut kesadarannya, bibirnya bergerak pelan membisikkan satu nama.
“…Alif?”
Gelap.