Kinar menerima tawaran menikah dari sang dokter untuk melunasi hutangnya pada pihak Bank. Sedangkan, dr. Raditya Putra Al-Ghifari, Sp. B menikahinya secara siri hanya untuk mendapatkan keturunan.
Awalnya Kinar menjalaninya sesuai tujuan mereka, tapi lambat laun ia mulai merasa aneh dengan kedekatan mereka selama masa pernikahan. Belum lagi kelahiran anak yang ia kandung, membuatnya tak ingin pergi dari sisi sang dokter.
Kemanakah kisah Kinar akan bermuara?
Ikuti Kisahnya di sini!
follow ig author @amii.ras
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AmiRas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cemburu
Kinar sedang membereskan piring kotor bekas makanan Ibu Maria ketika pintu ruang vip itu terbuka.
"Loh, Suster Kinar?"
Suara bass itu membuat Kinar menolehkan kepala. Ia melempar senyum sungkan pada Dokter Ardi yang berjalan masuk mendekati brankar.
"Wah jadi perempuan cantik yang selalu Mama bilang itu ini?" ucap Dokter Ardi yang membuat Kinar menghentikan kegiatannya.
Ia menoleh bingung pada Dokter Ardi dan Ibu Maria yang sudah senyum-senyum sendiri.
"Benar. Cantik kan, Ar?" tanya Ibu Maria dengan senyum yang begitu lebar.
"Wah, Mama kalau yang ini gak usah ditanya. Berasa lihat bidadari yang turun dari langit!" sahut Dokter Ardi menggombal.
"Dokter Ardi berlebihan," sahut Kinar dengan wajah memerah. Oh, dia normal jika ada pria yang memujinya ia akan tersipu.
"Gimana, Sus? Anak saya ganteng, kan?" tanya Ibu Maria lagi pada Kinar yang telah menyelesaikan tugasnya dengan piring bekas makan pasiennya.
"Eh! Jadi Dokter Ardi ini anaknya Ibu Maria?" tanya Kinar balik. Tak menyahuti ucapan Ibu Maria yang sebelumnya.
"Iya, ini Mama saya, Sus. Terima kasih loh sudah merawat Mama saya dengan baik," ucap Dokter Ardi tulus.
"Itu sudah tugas saya, Dokter." Kinar mengangguk, tak merasa harus dipuji, karena ini memang tugasnya sebagai perawat.
"Makan siang bareng saya yuk, sus?" ajak Dokter Ardi tiba-tiba.
"Eh!" Kinar menatap Dokter Ardi bertanya.
"Sudah... makan sana sama anak saya, Sus! Hitung-hitung pendekatan," ucap Ibu Maria dengan senyum menggoda.
Kinar tak enak menolak melihat tatapan pemuh harap Dokter Ardi, dan wajah semringah Ibu Maria. Akhirnya ia makan berdua dengan Dokter Ardi di kantin rumah sakit.
"Suster kinar sudah punya pacar? "
"Uhuk!"
Pertanyaan tiba-tiba dari Dokter yang duduk di depannya membuat Kinar tersedak.
"Minum dulu, Sus!"
Kinar menurut, segera meminum es teh nya. Setelah beberapa menit, sempat hening Dokter Ardi kembali membuka suaranya.
"Maaf, kalau petanyaan saya tadi lancang!"
"Tapi saya mau jujur dengan suster Kinar. Saya tertarik dengan suster sebagai lelaki yang tertarik dengan perempuan... Saya menyukai, suster kinar!" lanjut Dokter Ardi serius, menatap lekat Kinar yang menunduk.
Kinar masih menunduk diam. Belum menemukan kata yang tepat untuk membuka suara.
"Ah, suster tak perlu menjawabnya sekarang. Saya akan menunggu jawabannya seminggu lagi," ucap Dokter Ardi lagi.
"Tidak, Dok!" sahut Kinar cepat.
Kini Kinar mengangkat kepalanya, menatap wajah rupawan Dokter muda di depannya.
"Saya akan menjawabnya sekarang."
"Oh, baiklah." Dokter Ardi mengangguk, dengan senyum tipis.
Kinar mengatur napasnya sesaat, sebelum berbicara.
"Saya menghargai perasaan Dokter Ardi, tapi saya tidak bisa berbohong dengan perasaan saya hanya untuk menyenangkan dokter, bukan?" ucap Kinar hati-hati.
Dokter Ardi tampak mengangguk singkat. Wajah lelaki itu tampak mulai murung, karena ia tahu akan jawaban dari perasaannya.
"Saya mengagumi sikap ramah dokter, tapi hal itu bukan membuat perasaan saya juga sama dengan perasaan yang dokter miliki. Maaf... saya tidak bisa membalas perasaan yang dokter miliki," ucap Kinar menatap tak enak lelaki di hadapannya.
Dokter Ardi tertawa kecil yang tampak dipaksakan.
"Ah, saya baru saja ditolak ini, Sus? Kok rasanya ada yang nyeri ya?" ujarnya terkekeh miris.
"Maafkan saya, Dokter!" sahut Kinar menunduk.
Dokter Ardi mengangguk paham.
"Ah, tidak apa-apa! Lebih baik saya ditolak lebih dulu dari pada saya nantinya terus berharap karena tidak mengakui perasan saya lebih awal, dan saya menghargai kejujuran Suster Kinar.
Dokter Ardi tampak sudah kembali bersikap ramah. Kinar semakin tak enak hati rasanya, apalagi lelaki ini baik sekali dengannya.
"Terima kasih sudah menemani saya makan, Suster Kinar. Tolong jangan jadikan beban atas pengungkapan perasaan saya, ya!"
"Sekali lagi saya mohon maaf, Dokter Ardi!"
"Tidak apa-apa! Saya paham kok kalau perasaan memang tidak bisa dipaksakan," ucap lelaki itu maklum.
Kinar menghela napas lega karena lelaki di depannya tak tersinggung akan penolakannya. Ia memang tak punya perasaan semacam itu pada Dokter di depannya ini.
"Saya duluan ya, Sus! Oh, ya makanannya sudah saya bayar."
Setelah itu Dokter Ardi berlalu meninggalkan Kinar yang menunduk dengan perasaan tak enak. Kenapa juga sih ada hari seperti ini? Sejak SMA ia memang kerap ditembak sama kakak kelasnya, dan menolaknya tanpa ada perasaan bersalah. Namun, jika orangnya sebaik Dokter Ardi ini menimbulkan perasaan bersalah di hatinya. Ah, sudahlah, Kinar pusing memikirkannya.
...****...
"Mas, ada Operasi?" tanya Kinar yang sedang menyiapkan makan malam ketika dilihatnya suaminya telah rapi.
"Hem!" sahut lelaki itu singkat.
Radit duduk di kursi, diikuti Kinar yang duduk di seberangnya. Perempuan itu sepwrti biasa, melayaninya dengan baik.
"Kinar!" panggil Radit ketika mereka telah menyelesaikan makan malam.
"Ya, Mas?" sahut Kinar yang hendak membereskan piring kotor, fapi urung dan memilih duduk kembali di kursinya. Mendengarkan apa yang ingin Dokter Radit katakan.
"Bicara apa kamu sama dokter Ardi siang tadi di kantin rumah sakit?" tanya Dokter Radit dengan netra menelisik.
"Eh.... "
Kinar tampak kebingunga. Apakah ia harus mengatakan sejujurnya akan pembicaraannya siang tadi dengan Dokter Ardi? Dipikir-pikir lebih baik ia jujur sajalah, biar tak ada yangbmengganjal di hatinya.
"Saya melihat kalian mengbrol dan itu tampak serius," ucap Radit kembali menyadarkan Kinar.
Kinar menghela napas. Tampak gugup untuk mengatakan sebenarnya.
"Eh itu... Tentang perasaan Dokter Ardi pada saya--"
"Sudah cukup! Saya paham maksudnya!" potong Dokter Radit dingin.
Kinar terdiam. Suara lelaki itu tampak tak bersahabat. Apa dia melakukan kesalahan?
"Itu... Dokter Ardi bilang kalau dia menyu-"
"Cukup! Saya sudah paham tak usah kamu teruskan!"
Suara hampir membentak itu membuat Kinar terperanjat kaget. Astaga, lelaki ini kenapa sih? Tidak bisakah bicara baik-baik? Kinar ini orangnya kagetan, loh! Kalau ia jantungan Pak Dokter ini mau tanggung jawab. Eh, tapi kan lelaki ini dokter ya? Ah, sudahlah kok dia malah mikir gak jelas gini.
Kinar baru sadar dari pikiran anehnya setelah terdengar kursi yang terdorong kasar karena Dokter Radit yang melakukannya tak sabaran. Lelaki itu menyambar sneli dan kunci mobil, lalu pergi meninggalkan Kinar yang masih menatap kebingungan lelaki itu
"Dih, aneh banget sih jadi lakik! Tadi dia yang nanya, giliran dijawab bilang udah paham terus marah-marah. Lah, emang dia paham apaan. Duh pusing deh sama itu Dokter satu. Ampun, kok Dokter-dokter di rumah sakit itu pada suka bikin bingung sama kesal sih. Gak Dokter ini, dokter itu, dokter onoh, ah gak taulah aku!" gerutu Kinar gemas sambil membereskan piring kotor dan sisa makan malamnya dengan sang suami yang marah-marah gak jelas. Biarlah, masa bodoh dengan lelaki es itu.
Bersambung....
Tapi gak papa suster Kinar kamu sudah ditunggu jandanya sama dr Ardi.....!