"Kembalikan benihku yang Kamu curi Nona!"
....
Saat peluru menembus kaki dan pembunuh bayaran mengincar nyawanya, Mora Valeska tidak punya pilihan selain menerima tawaran gila dari seorang wanita tua yang menyelamatkannya untuk mengandung penerus keluarga yang tak ia kenal.
5 tahun berlalu. Mora hidup tenang dalam persembunyian bersama sepasang anak kembar yang tak pernah tahu siapa ayah mereka. Hingga akhirnya, masa lalu itu datang mengetuk pintu. Bukan lagi wanita tua itu, melainkan sang pemilik benih sesungguhnya—Marco Ramirez.
"Benihmu? Aku merasa tak pernah menampung benihmu, Tuan Cobra!" elak Mora, berusaha melindungi buah hatinya.
Marco menyeringai, tatapannya mengunci Mora tanpa ampun. "Kemarilah, biar kuingatkan dengan cara yang berbeda."
Kini, Mora harus berlari lagi. Bukan untuk menyelamatkan diri sendiri, tapi untuk menjaga anak-anaknya dari pria yang mengklaim mereka sebagai miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Single Mom
Xyro datang ke rumah sakit dengan suasana hati yang sebvruk cuaca mendung di luar. Sejak semalam, gigi geraham bungsunya berulah, mengirimkan denyut nyeri yang menjalar hingga ke pelipis dan membuat kepalanya terasa seperti dipukul palu godam. Pagi ini, rasa sakit itu begitu menyiksa hingga ia merasa dunia berputar setiap kali ia membuka mulut.
Niat awalnya hanyalah duduk tenang menunggu giliran dipanggil dokter gigi. Namun, nasib berkata lain. Seorang wanita paruh baya yang tampak panik tiba-tiba menitipkan seorang bocah inguusan padanya, seolah Xyro adalah tempat penitipan anak berjalan.
Kekagetan Xyro belum reda ketika bocah itu dengan wajah polos yang menyebalkan bertanya apakah ia harus membayar parkir. Parkir? Xyro mendengus kasar, rasa nyut-nyutan di giginya semakin menjadi-jadi karena emosi.
"Mana ada tukang parkir sekeren ini? Muka kamu itu yang kayak kecoa terbang," desis Xyro tajam, matanya mel0t0t sempurna menatap bocah bernama Rakael itu. "Pasti Papa kamu mirip badak. Iya, badak. Kamu itu hasil anak badak sama kecoa."
Bukannya takut, Rakael justru mengerjapkan matanya, menatap Xyro dengan rasa ingin tahu yang tak berkurang sedikit pun.
Xyro hendak memalingkan wajah, namun gerakannya terhenti. Matanya kembali terpaku pada wajah Rakael. Ada sesuatu yang familar. Sangat familiar. Garis rahang yang tegas meski tertutup pipi gembil, bentuk mata yang tajam namun lembut ... Xyro merasa seperti melihat seseorang.
"Kenapa nih bocah mirip banget sama si Lumpia Telur itu, ya?" batin Xyro, merujuk pada julukan k0ny0l yang ia berikan pada temannya. "Benar-benar kayak pinang dibelah dua. Bedanya, ini versi imut dan ... glowing. Kalau yang sana, amiit-amiit, wajahnya kayak tembok beton."
Otak Xyro bekerja keras di tengah rasa sakit giginya. Ia mencoba membayangkan wajah Marco disandingkan dengan Rakael. Kemiripannya menakutkan. Hidung mancung itu, tatapan mata itu. Tapi Rakael memiliki kulit yang jauh lebih putih dan cerah, mungkin mewarisi ibunya.
"Aduh, makasih ya, Mas! Maaf merepotkan!"
Suara Kirana membuyarkan lamunan Xyro. Wanita itu kembali dengan napas terengah, menggandeng tangan gadis kecil yang tampak waspada. Tanpa basa-basi, Kirana segera meraih Rakael ke dalam gendongannya.
"Ayo Raka, kita sudah dipanggil dokter," ucap Kirana terburu-buru.
"Bye, Paman Palkil!" seru Rakael sambil melambaikan tangan mungilnya dari balik bahu neneknya.
Ketiganya menghilang di balik pintu ruang pemeriksaan, meninggalkan Xyro yang masih mematung sambil memegangi pipinya yang bengkak. Rasa penasaran itu tertinggal, mengganjal di hatinya lebih dari rasa sakit giginya.
"Ck, ouch! Si4lan, sakit sekali," gerutu Xyro sambil memejamkan mata menahan nyeri. "Bodo amat lah. Mau mukanya mirip Marco atau mirip kuyang sekalipun, bukan urusanku. Yang penting gigiku sembuh dulu."
.
.
.
.
Matahari sudah meninggi ketika Mora akhirnya mengumpulkan keberanian. Di toko bunga tempatnya bekerja, aroma mawar dan lili menguar kuat, namun tak cukup untuk menenangkan kegelisahan di d4danya. Sejak tadi, pikirannya hanya tertuju pada Rakael yang demam di rumah.
Dengan langkah ragu, ia mendekati bosnya, seorang wanita paruh baya yang sedang sibuk mengecek laporan stok di meja kasir. Mora mer3mas kedua tangannya yang berkeringat dingin.
"Bu ... maaf mengganggu," panggil Mora pelan.
Wanita itu mengangkat pandangannya, menurunkan kacamata bacanya sedikit. "Ya, Mora? Ada apa?"
"Bisa enggak ... hari ini saya izin pulang lebih dulu?" Mora menahan napas, takut mendengar penolakan. "Putra saya sakit demam, Bu. Jadi saya harus merawatnya. Saya takut kondisinya membvruk."
Sang bos menatapnya lekat, meneliti raut wajah Mora yang pucat karena khawatir. "Suamimu kerja juga? Tidak ada orang lain di rumah?"
Mora menggeleng lemah, menundukkan kepalanya. "Saya single Mom."
Jawaban itu membuat hening sejenak. Sang bos tampak terkejut. Matanya menyiratkan simpati yang mendalam. Ia meletakkan pulpennya dan menghela napas panjang.
"Astaga ... kenapa kamu masih memaksakan diri berangkat kalau anakmu sakit begitu?" ucap wanita itu, suaranya berubah lembut, jauh dari nada marah yang Mora bayangkan. "Anakmu ditinggal sendirian? Atau sama tetangga?"
"Sama neneknya, Bu. Tapi saya tetap khawatir."
"Sudah, sana pulang. Kasihan anakmu butuh ibunya," perintah wanita itu tegas namun hangat. "Hari ini kamu pulang saja, urus anakmu sampai sembuh."
Mora terbelalak, matanya berkaca-kaca. "Ta-tapi, Bu ... ini baru hari kedua saya kerja."
"Lain kali jangan dipaksakan masuk. Di sini masih banyak karyawan lain yang bisa handle," potong bosnya sambil tersenyum keibuan. "Kalau anakmu kenapa-napa, kamu juga enggak akan fokus kerja. Sana pulang,"
Air mata haru hampir menetes di pipi Mora. "Terima kasih, Bu. Terima kasih banyak."
Mora membungkuk hormat berkali-kali sebelum bergegas mengambil tasnya. Saat ia melangkah keluar toko, ia mendengar gumaman pelan bosnya.
"Kasihan sekali ... jadi single Mom memang tidak mudah."
Di luar, panas matahari terasa menyengat kulit. Kota sedang sibuk-sibuknya. Mora segera menyetop sebuah angkot yang kebetulan melintas kosong. Ia naik dan duduk di pojok dekat jendela, membiarkan angin panas menerpa wajahnya. Setidaknya, angin itu sedikit mengeringkan keringat di pelipisnya.
Mora menatap jalanan yang macet, namun hatinya terasa sedikit lebih ringan. Kebaikan bosnya tadi memberinya harapan baru.
"Aku mengira dunia ini jahat, penuh dengan orang-orang yang hanya ingin menjatuhkan," batin Mora, senyum tipis terbit di bibirnya. "Tapi ternyata ... semesta masih menyisakan orang baik. Dunia tidak sejahat itu."
Namun, seolah semesta senang mempermainkan perasaannya, angkot yang ditumpanginya tiba-tiba tersendat. Mesin tua itu batuk-batuk kasar sebelum akhirnya mati total tepat di tengah jalan raya yang padat.
Supir angkot mencoba menyalakan mesin berkali-kali, namun hanya suara starter kosong yang terdengar. Asap hitam mengepul dari kap mesin.
"Waduh, maaf ya Bapak-bapak, Ibu-ibu," ucap sang supir dengan wajah memelas dan penuh peluh. "Angkotnya mogok, pistonnya kena kayaknya. Silakan beralih ke angkot lain saja. Maaf sekali."
Decakan kecewa dan gerutuan terdengar dari penumpang lain. Dengan berat hati, Mora turun dari angkot. Panas matahari siang bolong langsung menyambutnya tanpa ampun. Aspal jalanan terasa membakar sol sepatunya.
Mora berdiri di trotoar yang ramai, mencoba menyalakan ponselnya untuk memesan ojek online. Ia ingin cepat sampai rumah, ingin segera memeluk Rakael. Namun, layar ponselnya berputar lambat, sinyal di area itu bvruk sekali.
"Panas lagi ...," gumam Mora sambil mengipas-ngipas lehernya dengan tangan. Keringat mulai membasahi punggungnya.
Frustrasi dengan ponselnya, Mora memutuskan untuk berjalan sedikit ke depan, mencari pangkalan ojek atau taksi. Ia berbalik badan dengan gerakan cepat, tanpa memperhatikan seseorang yang berjalan berlawanan arah dengannya.
BRUK!
Walau terkesan santai, tp Raka jeli
Itu bagus
Tau & kelak bergerak dlm senyap
Bkn mengawal...tp mengawasi !
Pacti celuuu nyanyi baleenngg 😆😆
Suruhan siapa lagi ini
Wah bahaya ini.