Cantik, cerdas dan mandiri. Itulah gambaran seorang Amara, gadis yang telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Amara yang seorang perawat harus dihadapkan pada seorang pria tempramental dan gangguan kejiwaan akibat kecelakaan yang menimpanya.
Sanggupkah Amara menghadapi pria itu? Bagaimanakah cara Amara merawatnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SHIRLI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perubahan sikap
"Maaf, karena aku selalu menyusahkanmu." Amara lagi-lagi menyebik, namun tak pernah ia sadari sikap kekanakan itu membuatnya terlihat sangat menggemaskan di mata Juan.
"Tidak cukup hanya dengan kata maaf!" balas Juan dengan ketus. Selalu saja begitu. Juan selalu menutupi perasaannya dengan sikap angkuh dan memancing kekesalan Amara. Namun tidak dengan tindakannya.
Juan begitu lihai menyembunyikan perasaannya hingga tak ada yang tahu jika ia mencintai Amara sejak pertemuan pertama mereka.
Masa-masa SMP yang begitu menggemaskan. Karena kata orang benih cinta yang tumbuh di usia mereka saat itu hanyalah cinta monyet belaka. Namun tak demikian dengan cinta Juan pada Amara.
"Perkenalkan dirimu sekarang," titah wali kelas pada gadis cantik berseragam putih biru yang tengah berdiri di depan kelas itu dengan ramah.
Gadis yang menggerai surai panjangnya itu mengangguk dan tersenyum.
"Hai semua, namaku Amara," sapanya sambil melambaikan tangan. Senyumnya nampak canggung dan terlihat dipaksakan. "Aku baru saja pindah dari kota sebelah. Semoga kita bisa berteman," ucapnya malu-malu.
Namun hiruk pikuk serta sambutan hangat dari teman-teman barunya itu sedikit membuat Amara merasa tenang. Setidaknya ia merasa diterima di kelas barunya itu.
Disaat semua murid begitu antusias menyapa Amara, tapi tidak demikian dengan anak lelaki yang duduk seorang diri itu. Ia terlihat biasa dan memasang ekspresi datar. Bahkan terkesan tak menganggap Amara ada sebab ia tetap menyibukkan diri dengan membaca bukunya.
"Acara perkenalan sudah cukup ya, anak-anak. Sekarang biarkan Amara menempati kursi barunya sebelum kita memulai pelajaran. Amara," wali kelas menoleh dan menatap Amara.
"Ya," balas Amara.
"Duduklah di kursi kosong di samping Juan itu, ya. Tempatmu di sana."
Pandangan Amara mengikuti arah yang ditunjuk oleh wali kelas dan berhenti tepat di samping anak lelaki dingin itu.
"D-di sana, Bu?" tanya Amara seolah-olah tak percaya. Bahkan ia terlihat gugup karenanya.
"Iya," sang wali kelas wanita itu menegaskan sambil tersenyum. "Sekedar bocoran ya, dia itu murid terpintar di sekolah kita, jadi seluruh waktunya tak lepas dari buku pelajaran," terang wali kelas dengan begitu antusias.
Amara tersenyum kecut lalu mengangguk. "Baik, Bu," jawabnya patuh.
Terpaksa, dan Amara tak bisa menolaknya. Gadis bertubuh sedang itu menghela napas dalam sebelum melangkahkan kakinya, seolah tengah mempersiapkan diri untuk menerima tantangan baru.
Memantapkan diri, Amara lantas melangkah perlahan menuju ke kursinya. Sesekali ia tersenyum membalas sambutan teman-teman barunya.
Berhenti tepat di sisi kursi itu, Amara masih merasa tak yakin untuk menempatinya. Amara masih mematung di sana sambil mengedarkan pandangan, barang kali saja ia menemukan tempat kosong lain. Namun sepertinya percuma, sebab hanya kursi inilah satu-satunya tempat kosong yang tersedia untuk ia.
"Pakai saja tempat ini?" ucap Juan mempersilahkan. Ia seolah tahu kegelisahan yang tengah Amara rasakan.
Amara mengerjap tak percaya. "Seriusan boleh?" tanyanya ragu.
Juan berdecak. "Siapa juga yang larang. Ini milik sekolah kok."
"Hehe iya." Amara berbinar senang lalu menempati kursi itu tanpa ragu. "Makasih, ya," ucapnya kemudian.
Juan hanya mengangguk menanggapi Amara. Ia kembali menunduk dan fokus pada bukunya.
Amara mendesah pelan sambil mengamati anak dengan ekspresi datar di sampingnya. Ya sudahlah. Yang penting aku tak ada masalah dengan dia, batinnya. Amara kemudian mengeluarkan buku dari tasnya dan bersiap menerima pelajaran.
"Amara," panggilan lirih Juan membuat Amara langsung menoleh. "Selamat datang di sekolah kami," sambung Juan memberikan penyambutan.
Amara mengerutkan keningnya. Bingung terhadap perubahan sikap Juan yang menurutnya mendadak. Namun kemudian ia menarik sudut bibirnya hingga membentuk sebuah senyuman guna membalas senyuman manis yang Juan tunjukkan.
"Terima kasih untuk sambutannya, Juan," balas Amara kemudian.
Saat itulah pertemanan mereka dimulai. Juan adalah orang pertama yang Amara kenal di sekolah barunya itu selain sang sepupu sendiri, Miranda. Namun Miranda berada di kelas lain dan terpisah darinya.
Pertemuan demi pertemuan yang terjadi setiap harinya membuat Juan kian mengenal diri Amara yang sesungguhnya. Gadis itu memiliki hati yang lembut. Dia sangat baik terhadap siapapun. Dan kepintaran Amara di atas rata-rata teman sekolahnya.
Juan yang sebelumnya selalu mendapatkan rangking pertama, kini harus bekerja keras untuk menpertahankannya semenjak kedatangan Amara.
Tak jarang mereka selalu menggunakan waktu luang untuk belajar bersama. Mereka memang bersaing, tapi mereka persaingan itu terjadi secara sehat.
Sampai suatu ketika, sikap Amara tiba-tiba berubah. Gadis berambut lurus itu menjadi pribadi yang berbeda dari sebelumnya. Sikapnya mendadak angkuh dan sombong. Nilainya pun menurun drastis.
Juan melambaikan tangan saat mobil sang papa melaju pergi meninggalkan pagi itu. Ia lantas berbalik badan hendak melangkah memasuki gerbang sekolah. Namun langkahnya terhenti saat sebuah mobil berwarna silver tampak berhenti di depan gerbang. Juan tersenyum sebab ia tahu siapa yang datang.
Seorang gadis rambut panjang sebahu tampak turun dari mobil itu. Ia segera berlari kecil mengitari mobil untuk membuka pintu mobil di sisi lain.
Pintu mobil yang terbuka lebar menampakkan seorang gadis tengah duduk santai di dalam sana sambil bersedekap dada. Ia segera turun dari sana dengan ekspresi datar dan angkuh.
"Mar!"
Gadis angkuh itu hanya melirik sinis saat Juan memanggilnya. Ia bahkan tak menjawab. Hanya mengibaskan rambut panjangnya dan berlalu begitu saja melewati Juan yang masih bengong di pintu gerbang sekolah.
Juan masih tertegun melihat pemandangan aneh yang tersaji di depan matanya. Sambil menggeleng tak percaya, ia mengamati dua gadis yang baru saja berlalu.
Satu orang gadis tengah berjalan begitu anggun bak seorang putri, di depan. Sementara di belakangnya, sang sepupu tampak mengikuti Amara dengan langkah terseok karena begitu banyaknya barang yang ia bawa. Punggung kecil itu tampak keberatan dengan dua tas gendong, sementara tangannya mendekap beberapa buku tebal di dadanya.
Amara menghentikan langkah dan menoleh ke arah belakang. "Dasar keong! Apa kau tidak bisa berjalan lebih cepat!" bentak Amara tak sabaran sambil melotot menatap sepupunya.
"B-baik. A-aku akan berjalan lebih cepat," jawab gadis lemah itu gugup. Ia pun segera mempercepat langkahnya.
"Dasar lambat!" umpat Amara penuh penghinaan. Bukannya membantu, Ia justru melangkah meninggalkan sepupunya yang terlalu banyak beban.
Sontak saja pemandangan itu menjadi sorotan satu sekolah karena sikap Amara yang keterlaluan. Ia yang terkenal dengan sifatnya yang lembut dan welas asih justru kini secara terang-terangan menindas sepupunya sendiri.
"Ini salah. Ada yang tidak beres dengan Amara." Juan menggeleng tak percaya. Sebagai sahabat tentu ia tak bisa diam begitu saja membiarkan sahabatnya salah langkah.
Juan langsung berlari menghampiri Amara dan menarik tangan gadis itu untuk menghentikan.
"Apaan sih. Lepas nggak!" teriak Amara sinis sambil menatap tajam penuh peringatan pada Juan.
"Nggak! Sebelum kamu minta maaf sama Miranda dan bantuin dia!" Juan berucap lantang penuh keberanian.
"Eng-gak!" tegas Amara penuh penekanan. Tangan kirinya lantas bergerak memegangi tangan Juan yang mencengkeramnya, lalu mengempaskan begitu saja. Tersenyum miring, Amara lantas pergi begitu saja meninggalkan Juan yang terperangah tak percaya.
Bersambung
kasih bonus dong 😘😘😘
😨😨