Alviona Mahira berusia 15 tahun baru lulus SMP ketika dipaksa menikah dengan Daryon Arvando Prasetya (27 tahun), CEO Mandira Global yang terkenal tampan, kaya, dan memiliki reputasi sebagai playboy. Pernikahan ini hanya transaksi bisnis untuk menyelamatkan keluarga Alviona dari kebangkrutan.
Kehidupan rumah tangga Alviona adalah neraka. Siang hari, Daryon mengabaikannya dan berselingkuh terang-terangan dengan Kireina Larasati—kekasih yang seharusnya ia nikahi. Tapi malam hari, Daryon berubah menjadi monster yang menjadikan Alviona pelampiasan nafsu tanpa cinta. Tubuh Alviona diinginkan, tapi hatinya diinjak-injak.
Daryon adalah pria hyper-seksual yang tidak pernah puas. Bahkan setelah bercinta kasar dengan Alviona di malam hari, pagi harinya dia bisa langsung berselingkuh dengan Kireina. Alviona hanya boneka hidup—dibutuhkan saat Daryon terangsang, dibuang saat dia sudah selesai.
Kehamilan, keguguran karena kekerasan Kireina, pengkhianatan bertubi-tubi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7: JEJAK PERSELINGKUHAN
#
Pagi itu, Alviona bangun lebih awal dari biasanya.
Tubuhnya masih sakit—kayak biasa—tapi ada sesuatu yang bikin dia gak bisa tidur lagi. Mungkin mimpi buruk. Mungkin cuma kebiasaan.
Atau mungkin karena dia udah mulai terbiasa dengan sakit.
Dia duduk di tepi ranjang, natap jendela yang mulai terang. Langit masih abu-abu, matahari belum muncul sepenuhnya. Sepi. Dingin.
Kayak hidupnya.
Alviona berdiri pelan, jalan ke kamar mandi buat cuci muka. Air dingin menyentuh wajahnya, bikin dia agak seger—walau cuma sebentar. Dia natap cermin.
Mata sembab. Bibir pucat. Pipi yang mulai kurus karena dia jarang makan dengan bener.
Siapa gadis di cermin ini?
Dia gak kenal lagi.
---
Jam menunjukkan pukul 6 pagi.
Alviona keluar kamar, jalan ke arah tangga. Biasanya Daryon udah berangkat jam segini. Tapi pas dia turun, dia denger suara dari ruang tamu.
Suara Daryon.
Dia lagi telepon.
Alviona berhenti di tengah tangga, gak sengaja denger.
"...iya, aku tau. Aku usahain malam ini bisa." Suara Daryon pelan, tapi nadanya... beda. Lebih lembut. Gak kayak nada yang dia pake buat Alviona.
"Kau ini... iya, iya. Aku kangen juga."
Kangen.
Alviona gak pernah denger kata itu dari mulut Daryon.
"Oke, sampai nanti. Aku cinta kamu."
Klik.
Telepon ditutup.
Alviona berdiri di sana, tangan mencengkeram pegangan tangga.
*Aku cinta kamu.*
Kata-kata yang gak pernah—gak akan pernah—dia denger buat dirinya.
Daryon keluar dari ruang tamu, masih pake kemeja kantor, dasi belum dikencengin. Dia ngeliat Alviona di tangga—tapi cuma lirikan sekilas, tanpa ekspresi—terus jalan ke arah pintu depan.
"Daryon—"
Alviona gak tau kenapa dia manggil. Suaranya keluar reflek.
Daryon berhenti, gak noleh.
"Apa."
Bukan "ya?" atau "ada apa, sayang?" Cuma "apa" datar.
Alviona turun beberapa anak tangga, jantungnya berdebar.
"Kamu... kamu telepon siapa tadi?"
Keheningan sebentar.
Terus Daryon noleh—tatapannya dingin, annoyed.
"Bukan urusanmu."
Dia mau jalan lagi—
"Kireina, kan?"
Kalimat itu keluar tanpa mikir. Alviona gak tau dari mana dia dapet keberanian.
Tapi begitu kata itu keluar, Daryon berhenti lagi. Kali ini, dia noleh sepenuhnya. Tatapannya... berubah. Gak cuma dingin. Tapi marah.
"Jaga mulutmu, Alviona."
Suaranya rendah. Mengancam.
Tapi Alviona udah capek. Capek diem. Capek pura-pura gak tau.
"Aku... aku cuma nanya..." Suaranya bergetar, tapi dia tetep coba. "Kamu... kamu selingkuh, kan?"
Daryon melangkah cepat—terlalu cepat—dan tiba-tiba dia udah ada di depan Alviona, tingginya mengintimidasi, tatapannya menusuk.
"Selingkuh?" ucapnya sarkastik. "Kau pikir kau punya hak untuk nanya itu?"
Alviona mundur selangkah, tapi punggungnya udah nempel dinding.
"A-aku istrimu—"
"Istri?" Daryon nyela tajam, suaranya naik. "Kau istri apanya? Kau cuma gadis yang keluarganya KUBELIKAN buat ngelunasi hutang! Kau cuma KONTRAK!"
Setiap kata itu diteriakkan. Keras. Jelas.
Alviona ngerasa kayak ditampar berkali-kali.
"Kau gak punya hak ngatur hidupku!" Daryon nunjuk wajah Alviona dengan jari telunjuknya. "Kau gak berhak ngatur siapa yang aku temui! Siapa yang aku cintai!"
Air mata Alviona mulai keluar. Tapi dia coba tahan.
"Tapi... tapi kita... kita kan sudah menikah..." Suaranya pecah, lirih.
"Menikah?" Daryon ketawa—ketawa sinis yang menyakitkan. "Ini bukan pernikahan, Alviona. Ini transaksi. Bisnis. Dan kau? Kau cuma barang yang aku beli."
Barang.
Kata itu menggema di kepala Alviona.
Daryon melangkah lebih deket, wajahnya sekarang cuma beberapa senti dari wajah Alviona. Napasnya terasa.
"Kau mau tau kenapa aku pergi ke Kireina?" bisiknya dingin. "Karena DIA yang aku cintai. DIA yang seharusnya jadi istriku. Tapi karena keluargaku butuh citra 'keluarga baik-baik,' aku terpaksa nikah sama kau."
Setiap kata menusuk lebih dalam.
"Jadi jangan pernah—JANGAN PERNAH—merasa kau punya hak atas aku."
Daryon mundur, membereskan dasi-nya dengan kasar, terus jalan ke arah pintu.
Tapi sebelum keluar, dia noleh lagi—tatapannya penuh peringatan.
"Dan kalau kau berani ganggu hubunganku dengan Kireina... kau akan nyesel."
Pintu dibanting keras.
BRAK!
Suara itu bergema di seluruh mansion.
Alviona masih berdiri di sana, punggungnya nempel dinding, kaki lemas. Tangannya gemetar hebat. Air matanya jatuh—deras—tapi gak ada suara. Cuma tangisan diam yang mencekik.
---
Siang itu, Alviona mengurung diri di kamar.
Dia rebahan di ranjang, memeluk lutut, natap jendela dengan tatapan kosong. Pikirannya berkecamuk. Kata-kata Daryon terus berputar di kepala.
*"Kau cuma barang yang aku beli."*
*"DIA yang aku cintai."*
*"Ini bukan pernikahan."*
Alviona ngerasa mati rasa.
Gak ada yang bisa dia lakuin. Gak ada yang bisa dia ubah.
Sore hari, dia denger suara mobil Daryon pulang. Tapi dia gak keluar kamar. Dia cuma diem di sana, berharap Daryon gak akan masuk.
Tapi pukul 11 malam...
Pintu kamarnya terbuka.
Daryon masuk.
Alviona langsung tegang. Jantungnya berdebar cepat—bukan karena excited, tapi karena takut.
Daryon berdiri di ambang pintu, tatapannya gelap. Dia nutup pintu pelan, ngunci.
Klik.
"Daryon..." Alviona berbisik pelan, suaranya bergetar. "Kumohon... aku capek... aku—"
"Diam."
Satu kata. Dingin. Final.
Daryon melangkah cepat, menarik Alviona dari ranjang—kasar—bikin Alviona hampir jatuh.
"Kau berani konfrontasi aku pagi tadi," ucapnya rendah, suaranya penuh amarah tertahan. "Kau pikir kau punya hak?"
"Maaf... maaf, aku—"
"Sekarang aku ajarin kau... apa posisimu di sini."
Malam itu, Daryon lebih kasar dari biasanya.
Lebih brutal. Lebih gak peduli. Setiap sentuhan kayak hukuman. Setiap cengkeraman kayak peringatan.
Alviona menangis—keras—tapi suaranya ditutup bantal yang ditekan ke wajahnya. Tubuhnya sakit. Perutnya mual. Kepalanya pusing.
Tapi Daryon gak berhenti.
Dan pas semuanya selesai, Daryon berdiri, membereskan celananya dengan santai. Dia natap Alviona yang tergeletak lemas di ranjang—tubuh penuh lebam baru, mata bengkak, bibir berdarah karena digigit sendiri.
Daryon membungkuk, mencengkeram rahang Alviona—kuat—bikin Alviona meringis kesakitan. Dia memaksa Alviona natap dia.
"Dengar baik-baik," bisiknya dingin, tajam. "Tugas istriku cuma satu: buka kaki saat aku butuh. Sisanya? Bukan urusanmu."
Dia melepas cengkeraman, berdiri, jalan ke pintu.
"Inget itu."
Pintu ditutup.
Dan Alviona... hancur.
Dia meringkuk di ranjang, memeluk tubuhnya yang sakit, menangis tanpa suara.
Karena sekarang dia bener-bener ngerti.
Dia bukan istri.
Dia bukan manusia.
Dia cuma... alat.
Alat yang dipake. Dibuang. Disakiti.
Dan gak ada yang bisa nolongin dia.
Gak ada.
---
**[ END OF BAB 7 ]**