Kinara, seorang gadis berusia 24 tahun, baru saja kehilangan segalanya, rumah, keluarga, dan masa depan yang ia impikan. Diusir ibu tiri setelah ayahnya meninggal, Kinara terpaksa tinggal di panti asuhan sampai akhirnya ia harus pergi karena usia. Tanpa tempat tujuan dan tanpa keluarga, ia hanya berharap bisa menemukan kontrakan kecil untuk memulai hidup baru. Namun takdir memberinya kejutan paling tak terduga.
Di sebuah perumahan elit, Kinara tanpa sengaja menolong seorang bocah yang sedang dibully. Bocah itu menangis histeris, tiba-tiba memanggilnya “Mommy”, dan menuduhnya hendak membuangnya, hingga warga sekitar salah paham dan menekan Kinara untuk mengakui sang anak. Terpojok, Kinara terpaksa menyetujui permintaan bocah itu, Aska, putra satu-satunya dari seorang CEO muda ternama, Arman Pramudya.
Akankah, Kinara setuju dengan permainan Aksa menjadikannya ibu tiri atau Kinara akan menolak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 29
Siang itu, ruang fisioterapi rumah sakit dipenuhi aroma antiseptik yang khas. Suasana hening, hanya sesekali terdengar bunyi alat medis dan langkah perawat yang berlalu-lalang. Arman duduk di kursi rodanya, wajahnya datar seperti biasa. Kinara berdiri di sampingnya, sejak awal tak beranjak sedikit pun.
“Baik, Tuan Arman,” ucap dokter dengan suara profesional, menutup map di tangannya. “Seperti biasa, kita mulai latihan berjalan. Tolong bantu, Suster.”
Perawat mendekat, bersiap memegang tubuh Arman.
“Tidak,” potong Arman dingin. Tangannya langsung mencengkeram sandaran kursi roda. “Saya tidak mau.”
Dokter menghela napas pelan. Ekspresinya jelas menunjukkan ini bukan pertama kalinya terjadi.
“Kalau begitu, hasilnya akan tetap sama, Tuan Arman. Tanpa latihan, otot kaki Anda akan semakin kaku.”
Arman tak menjawab, rahangnya mengeras.
Dokter menoleh ke arah Kinara. “Sejujurnya, selama ini setiap terapi Tuan Arman selalu menolak latihan berjalan.”
Kinara menatap Arman lama. Ada kegelisahan, tapi juga keteguhan di matanya. Ia lalu melangkah mendekat, berjongkok di depan kursi roda Arman agar sejajar dengan wajah pria itu. Suaranya lembut, hampir berbisik.
“Mas,” panggilnya pelan. “Aku di sini.”
Arman melirik, sorot matanya goyah sesaat.
“Aku nggak minta Mas jalan hari ini,” lanjut Kinara tenang. “Cukup berdiri, satu langkah kecil saja. Aku yang pegang Mas. Kalau sakit, kita berhenti. Aku janji.”
Dokter dan perawat saling pandang, nyaris tak percaya. Arman menarik napas panjang. Tangannya yang tegang perlahan mengendur.
“Kalau … kamu yang bantu,” ucapnya akhirnya, suaranya rendah. “Aku mau.”
Kalimat itu sederhana, tapi membuat dokter terperangah.
“Baik,” kata dokter cepat, menyembunyikan keterkejutannya. “Kalau begitu, silakan. Kami awasi dari sini.”
Kinara berdiri di sisi Arman, merangkul pinggang pria itu dengan hati-hati. Tubuh Arman gemetar saat kakinya diturunkan menyentuh lantai. Napasnya memburu.
“Aku di sini,” ulang Kinara pelan, tangannya menguat. “Pegang aku.”
Dengan susah payah, Arman berdiri. Keringat langsung muncul di pelipisnya, wajahnya memucat menahan nyeri. Satu kakinya nyaris menyeret.
“Bagus,” Kinara menyemangati. “Sedikit lagi.”
Arman menggeram pelan menahan sakit, lalu dengan bantuan Kinara, dia menggeser kakinya setapak. Dokter menatap pemandangan itu dengan mata membesar.
“Luar biasa…” gumamnya. “Ini pertama kalinya Tuan Arman mau berdiri selama terapi.”
Kinara tersenyum kecil, matanya berkaca-kaca.
“Terima kasih sudah percaya sama aku, Mas.”
Arman menatapnya singkat, lalu memalingkan wajah, berdehem menyembunyikan emosi yang tiba-tiba memenuhi dadanya.
Begitu terapi selesai, Kinara mendorong kursi roda Arman keluar dari ruang fisioterapi. Lorong rumah sakit terasa lebih ramai dari sebelumnya. Beberapa pasien, perawat, bahkan pengunjung tak segan melirik lalu berbisik.
“Itu Tuan Arman Pramudya, CEO Mission Bar…” “Iya, yang lumpuh itu kan? Katanya ditinggal istrinya…” “Kasihan, ya…”
Bisikan-bisikan itu terdengar jelas, sengaja tak dikecilkan. Rahang Arman mengeras. Tatapannya lurus ke depan, dingin, seolah kebal. Sebaliknya, Kinara mendengarnya semua dan memilih tak peduli.
Tangannya tetap mantap di pegangan kursi roda. Bahunya tegak, langkahnya pasti, seakan dunia hanya berisi mereka berdua.
Begitu keluar dari gedung, angin siang menyambut. Langit cerah, cahaya matahari jatuh lembut di wajah Arman.
Kinara menghentikan langkahnya tiba-tiba.
“Mas,” katanya pelan.
“Apa?” Arman menoleh, keningnya berkerut.
“Lihat laut, yuk.”
Alis Arman terangkat. “Apa?”
“Kita ke laut,” ulang Kinara, suaranya terdengar ringan, tapi matanya serius. “Sebentar saja.”
Arman langsung menggeleng. “Tidak, kita pulang.”
“Mas,” Kinara bersandar di sandaran kursi rodanya, mendekat. “Kapan terakhir kali Mas lihat laut?”
Arman terdiam.
“Lima tahun?” Kinara menebak lirih. “Atau lebih?”
Arman menghela napas. “Kinara, aku capek. Terapi saja sudah cukup.”
Kinara menunduk sedikit agar sejajar dengan wajahnya. “Aku tahu Mas capek. Justru itu, kita nggak akan pergi jauh. Cuma lihat laut, duduk dan dengar ombak. Nggak perlu ngapa-ngapain.”
Arman menatapnya lama, jelas ragu.
“Aku temani,” lanjut Kinara lembut. “Aku nggak akan ke mana-mana.”
Kalimat itu menembus pertahanan Arman lebih dalam dari yang ia kira. Dia memalingkan wajah, menatap langit sebentar, lalu menghembuskan napas panjang.
“Baik,” ucapnya akhirnya. “Sebentar saja.”
Kinara tersenyum lebar, hampir melonjak kegirangan.
“Janji! Sebentar saja.”
Dia kembali mendorong kursi roda Arman menuju parkiran.
Pantai Ancol sore itu dipenuhi manusia. Suara tawa anak-anak bercampur dengan debur ombak, aroma laut bercampur jajanan, semuanya terasa hidup terlalu hidup bagi Arman yang sudah lama mengasingkan diri dari keramaian.
Dia menarik napas dalam-dalam ketika Kinara mendorong kursi rodanya menuruni jalur menuju pasir.
“Aman?” tanya Kinara pelan.
Arman mengangguk singkat. “Aku … coba.”
Itu sudah lebih dari cukup bagi Kinara. Ia mendorong Arman hingga benar-benar berada di tepi pantai. Ombak kecil menyentuh pasir beberapa langkah dari kaki mereka. Angin laut menerpa wajah Arman, membawa sensasi asing bebas, mentah, dan jujur.
Kinara melepas sandalnya.
“Aku mau main air sebentar, ya,” katanya sambil tersenyum. Arman hanya bisa menghela napas dan menggelengkan kepalanya pelan,
"benar-benar anak kecil," gumam Arman pelan. Tanpa menunggu jawaban, ia berjalan mendekat ke air. Ombak menyentuh kakinya, dingin tapi menenangkan. Untuk sesaat, Kinara lupa pada segalanya.
Bayangan masa kecil menyusup begitu saja. Ibunya yang tertawa sambil menggandeng tangannya. Ayahnya yang mengangkatnya tinggi-tinggi, berkata laut selalu menyimpan harapan.
Sore yang hangat, keluarga yang utuh. Dadanya sesak, itu semua kini hanya kenangan. Buliran bening jatuh tanpa izin. Kinara cepat menyekanya dengan punggung tangan, menarik napas panjang, lalu berbalik.
Arman menatapnya.
“Kamu kenapa?” tanyanya, suaranya lebih lembut dari biasanya.
Kinara tersenyum kecil. “Nggak apa-apa.”
Dia berjalan kembali mendekat, lalu tiba-tiba berkata ceria, seolah ingin mengusir suasana berat itu.
“Mas, bikin istana pasir, yuk.”
Arman menatapnya seperti Kinara baru saja mengatakan hal paling aneh di dunia.
“Apa?”
“Bikin istana pasir,” ulang Kinara mantap.
Arman mendengus. “Aku bukan anak kecil.”
“Sekali-sekali nggak apa-apa.”
“Tidak.”
Kinara merengut. “Mas ini kaku banget.”
Arman menghela napas. “Kinara...”
“Sebentar saja,” potong Kinara. “Anggap latihan terapi tangan.”
Arman meliriknya tajam. “Aku serius.”
“Aku juga serius.”
Beberapa detik mereka saling menatap. Arman tetap tak bergeming.
Kinara akhirnya menyerah. “Ya sudah.”
Dia duduk di pasir tak jauh dari kursi roda Arman, menggulung sedikit celana jeansnya, lalu mulai menggali pasir dengan tangan sendiri.
Arman memperhatikannya diam-diam. Kinara terlihat begitu hidup. Rambutnya tertiup angin, wajahnya sedikit kotor oleh pasir, tapi matanya berbinar saat ia membentuk gundukan kecil.
“Ini istana,” gumam Kinara pada dirinya sendiri. “Biar kelihatannya punya rumah yang nggak gampang runtuh.”
Arman terdiam mendengarnya. Tanpa sadar, pandangannya melembut. Ponsel Arman berdering Rudi menghubunginya.
"Iya,"
[Tuan, Tuan Muda Aksa, hilang.]
Kedua mata Arman melebar dan Kinara yang sedang membuat istana pasir menangkap perubahan raut wajah Arman.
minta balikan lagi sama Arman
nanti pasti Aksa yg di jadikan alat
dasarrrr orang 🤣🤣