Sejak usia lima tahun, Raya Amelia hidup dalam neraka buatan ayahnya, Davin, yang menyalahkannya atas kematian sang ibu. Penderitaan Raya kian sempurna saat ibu dan kakak tiri masuk ke kehidupannya, membawa siksaan fisik dan mental yang bertubi-tubi. Namun, kehancuran sesungguhnya baru saja dimulai, di tengah rasa sakit itu, Raya kini mengandung benih dari Leo, kakak tirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07
Malam turun perlahan, menutupi rumah besar itu dengan selimut gelap dan bisu. Lampu-lampu dalam rumah menyala temaram, seolah tahu bahwa cahaya terang terlalu jujur untuk kegelapan yang bersemayam di dalam dindingnya. Di kamar, Raya duduk memeluk lutut di pojok ranjang, tubuhnya menggigil meski udara tak terlalu dingin. Rambutnya kusut, bibirnya pecah, dan tatapan matanya kosong.
Leo telah pergi, seperti biasa. meninggalkan jejak luka dan rasa jijik yang tak kasat mata. Rasa sakit di tubuhnya adalah hal yang biasa. Tapi rasa jijik pada dirinya sendiri, itu yang membuat napas terasa paling berat. Ia ingin berteriak, tapi suaranya seolah sudah mati sejak lama.
Bik Asih diam-diam masuk membawa sebotol kecil minyak kayu putih dan handuk hangat. Wajahnya cemas, tangannya gemetar saat menyentuh lengan Raya. Ia tak bertanya apa pun. Tatapan matanya sudah cukup menjelaskan bahwa ia tahu. dan hatinya hancur.
“Biar Bik bantu bersihkan, Nduk...” bisiknya pelan.
Raya mengangguk lemah, membiarkan perempuan tua itu membersihkan luka-luka kecil di tubuhnya. Tak ada air mata yang jatuh malam itu. Air mata telah habis sejak dulu.
Hari-hari selanjutnya berlalu seperti bayangan dalam kabut. Setiap pagi Raya pergi ke sekolah, siang menjadi hantu di rumah yang dulu ia sebut rumah, dan malam… menjadi korban dari kesunyian yang buas.
Linda makin sering mencari kesalahan. Sekecil apa pun, pasti berujung bentakan atau tamparan. Sementara David sang ayah. hanya menatap dan tersenyum sinis, seolah menikmati setiap kemunduran putrinya itu. Dan Leo… ia kini tak lagi menunggu malam untuk menyergap Raya. Kadang sore, kadang siang, di mana pun tempat kosong, ia menjadikan Raya pelampiasan.
...
Pagi itu. Raya terbangun dari tidurnya. Merasakan tubuhnya yang terasa remuk. Kepalanya pusing dan juga mual yang bergejolak di perut nya.
Ia perlahan turun dari ranjang, dan segera berlari menuju kamar mandi. Gejolak di perutnya memaksakan dirinya untuk muntah. Tangannya gemetar saat berpegangan pada pinggiran wastafel. Tubuhnya lunglai, keringat dingin membasahi pelipisnya. Suara muntahnya menggema di kamar mandi kecil itu, disusul dengan isakan tertahan yang terlepas tanpa izin.
Setelah isi perutnya kosong, Raya terdiam beberapa saat. Nafasnya terengah, matanya sembab. Ia menatap bayangan dirinya di cermin yang mulai berkabut. Ada sesuatu yang berbeda pagi itu. bukan hanya rasa sakit, tapi firasat buruk yang mencengkeram jantungnya.
Perlahan, tangannya meraba perutnya sendiri. Datar, namun ada sesuatu yang membuatnya merasa takut. Ia mencoba menepis pikiran itu.
"Tidak mungkin." gumamnya, tapi tubuhnya seperti mengkhianatinya. Ia tahu gejala ini. Ia pernah mendengar cerita-cerita serupa dari bisik-bisik teman di sekolah.
“Tidak… tolong jangan…” bisiknya lirih, sebelum ia jatuh terduduk di lantai kamar mandi, memeluk lutut dan menggigil dalam diam.
Langkah kaki terdengar dari luar kamar mandi. Suara Linda berteriak menyuruhnya untuk segera melakukan pekerjaan nya.Suara kasar yang memecah lamunan dan menghantam kenyataan.
Raya buru-buru membasuh wajahnya, mencoba menyembunyikan bekas air mata, dan memaksa dirinya berdiri. Seperti biasa, ia harus kembali menjadi bayangan. tak terlihat, tak terdengar, tak dianggap. Tapi kali ini, bayangan itu membawa rahasia yang bisa mengubah segalanya.
Raya menuruni tangga dengan langkah lemah. Setiap langkah yang ia ambil terasa begitu berat, seperti beban dunia menekan pundaknya. Ia melintasi ruang tamu yang sepi, ruang yang dulunya diisi tawa, kini hanya dihantui kesunyian yang mencekam. Pagi itu, seperti pagi-pagi lainnya, ia mulai dengan menyapu dan mengepel lantai. Tangannya bergerak otomatis, tak terarah, seolah tubuhnya tahu apa yang harus dilakukan meski pikirannya terperangkap dalam kegelisahan yang semakin membuncah.
Sambil menyapu, matanya tak sengaja menangkap bayangan di ruang makan. Piring-piring yang kotor menumpuk, namun ia tak berani mendekati meja itu. Setiap piring yang ia sentuh, setiap bau makanan yang tercium, seolah membawa kembali kenangan pahit yang ingin ia lupakan. Leo, ayahnya, bahkan Linda, mereka semua seolah menjadi bayangan gelap yang tak pernah pergi.
Tangannya menggigil saat membersihkan meja makan, dan saat itu pula ia merasakan sesuatu yang tidak biasa di perutnya. rasa mual kembali datang. Untuk sesaat, ia berhenti, mengatupkan bibir rapat-rapat, dan menahan napas.
"Tolong... jangan," ia bergumam pelan, namun suara itu hanya terdengar di dalam dirinya sendiri, tak cukup kuat untuk melawan ketakutan yang datang.
Linda datang menghampirinya, langkahnya keras dan matanya tajam menilai.
“Kenapa lama sekali, Raya? Bukankah ini pekerjaan yang mudah?” katanya dengan nada yang lebih dingin dari biasanya.
Raya hanya menunduk, tak berani menatap wajah Linda. Tak berani menjawab. Seperti biasa, ia memilih diam. Linda memutar tubuhnya dan melangkah pergi, meninggalkan Raya dengan rasa takut yang makin mencekam.
Setelah selesai dengan tugas-tugasnya, Raya pergi ke sekolah seperti biasa. Sepanjang jalan, pikirannya berkecamuk. Tubuhnya lelah, namun otaknya seperti terperangkap dalam lingkaran ketakutan dan kecemasan yang tak ada habisnya. Sesampainya di sekolah, ia segera menuju kelas. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Dava, sahabatnya, yang duduk di bangku belakang dengan tatapan penuh keprihatinan.
Dava melihat Raya dengan mata penuh tanya. Ada sesuatu yang berbeda pada Raya sesuatu yang sulit ia ungkapkan, namun Dava bisa merasakannya.
“Raya, kau baik-baik saja?” tanyanya pelan, suaranya penuh perhatian.
Raya hanya terdiam, tak mampu memberikan jawaban. Ia ingin mengungkapkan semuanya, tapi takut akan apa yang akan terjadi jika ia berbicara. Tak ada yang bisa ia percayai sepenuhnya. Namun, di balik tatapan penuh kekhawatiran Dava, ada secercah harapan. harapan bahwa ia tak sepenuhnya sendirian.
Setelah beberapa detik yang terasa sangat lama, Raya mengangguk pelan, meski hatinya tahu itu bukan jawaban yang sebenarnya.
“Aku baik-baik saja, Dava,” jawabnya, dengan suara yang hampir tak terdengar.
" Dava. Maafkan aku. Soal yang waktu itu. Karena aku kau jadi terluka karena Leo."
“Raya,” suara Dava terdengar lembut, namun ada ketegasan di dalamnya,
“Kamu nggak bisa menyalahkan diri sendiri untuk apa yang Leo lakukan. Itu bukan salahmu. Leo yang salah, dan orang-orang yang membiarkan itu terjadi juga salah.” Ia menghela napas panjang,
“Jangan bebankan dirimu dengan kesalahan yang bukan milikmu. Aku di sini, aku selalu ada untukmu.”
Raya mengerjap, terkejut mendengar kata-kata itu. Tak ada yang pernah berkata begitu padanya. Bahkan Bik Asih yang selalu merawatnya pun tidak pernah mengatakan kata-kata yang begitu penuh harapan.
Raya memandang Dava dengan tatapan kosong, tetapi di dalam hatinya ada sesuatu yang bergolak. Kata-kata Dava menggema di telinganya, menembus kegelapan yang selama ini mengurungnya. Namun, ada rasa takut yang mencengkeram kuat. Tak pernah ada yang peduli seperti ini sebelumnya. Tak pernah ada yang menawarkan kehangatan tanpa ada syarat. ia merasa seperti seekor burung yang terperangkap dalam sangkar, takut untuk terbang, karena merasa tak akan mampu bertahan di luar sana.
“Aku... aku tidak tahu harus bagaimana, Dava,” suara Raya terdengar terputus-putus, berusaha menahan air mata yang hampir saja jatuh.
“Terlalu banyak yang harus aku sembunyikan. Terlalu banyak yang harus aku tahan.”
Dava mengulurkan tangannya, menghapus keraguan dalam tatapan Raya.
“Aku tahu kamu sudah cukup kuat untuk menghadapi semuanya. Tapi ingat, kamu tidak sendirian. Kamu punya aku.”
Raya menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan gejolak perasaan yang hampir tak tertahankan. Ketika ia akhirnya menatap Dava, ada ketulusan yang mengalir dalam matanya. Sesuatu yang selama ini hilang darinya. Harapan. Perlahan, ia mengangguk.
“Terima kasih, Dava... Terima kasih sudah ada di sini untukku.”
Meski Dava menawarkan bahu untuk bersandar, Raya tahu perjalanan ini masih panjang. Rasa takut dan trauma itu tidak bisa hilang begitu saja.