"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7: BONEKA BERUANG LUSUH
Tiga minggu setelah pembantaian.
Alex berjalan menyusuri jalanan Distrik Sombra dengan langkah gontai. Hari ini—atau mungkin kemarin, ia sudah tidak ingat—ia berhasil mendapat sepotong nasi sisa dari warung makan. Tapi itu sudah dua hari lalu. Sejak itu, perutnya hanya diisi air dari keran umum yang bocor.
Kakinya membawanya ke tempat pembuangan sampah di belakang toko mainan tua yang nyaris bangkrut. Biasanya tidak ada makanan di sini, tapi kadang pemilik toko membuang kardus yang bisa dipakai untuk alas tidur.
Alex menunduk, menelusuri tumpukan sampah dengan tangan yang sudah tidak ia rasakan lagi—terlalu dingin, terlalu mati rasa.
Kardus basah. Plastik robek. Botol kosong.
Lalu tangannya menyentuh sesuatu yang lembut.
Berbulu.
Alex mengeluarkannya dari tumpukan sampah.
Boneka beruang.
Warnanya cokelat—atau dulu cokelat, sekarang sudah pudar, penuh noda. Salah satu matanya lepas, hanya tersisa lubang hitam. Telinganya sobek di beberapa bagian. Isian kapuknya keluar dari jahitan yang terbuka di perutnya.
Tapi bentuknya...
Alex membeku.
Boneka ini mirip—sangat mirip—dengan boneka Elena.
Elena punya boneka beruang yang ia beri nama "Mr. Cuddles." Boneka yang selalu ia peluk setiap malam. Boneka yang—
Alex ingat.
Malam pembantaian itu, ketika Elena diseret dari kamarnya, ia sempat meraih bonekanya. Tapi salah satu pria melemparkannya ke api.
Alex melihat Mr. Cuddles terbakar—bulu coklatnya hangus, lalu menghitam, lalu jadi abu.
Sama seperti Elena.
Tangan Alex gemetar memegang boneka lusuh itu.
Ia membawanya ke wajahnya, memejamkan mata.
Baunya bau sampah. Bau kotoran. Bau hujan.
Tapi Alex berpura-pura ini bau Elena—bau sabun bayi yang selalu Mama pakai untuk memandikan adiknya.
"Elena..." bisiknya, suaranya pecah.
Air mata jatuh—untuk pertama kali dalam seminggu terakhir.
Ia sudah mengira air matanya habis. Tapi ternyata masih ada yang tersisa untuk boneka beruang lusuh ini.
Alex memeluk boneka itu erat-erat, berlutut di samping tumpukan sampah.
"Maafkan kakak..." tangisnya mulai keluar—bukan lagi tangis diam, tapi isakan yang mengguncang tubuhnya. "Maafkan kakak, Elena... kakak dengar kamu teriak... kakak dengar kamu panggil nama kakak... tapi kakak tidak keluar..."
Ia menenggelamkan wajahnya di bulu lusuh boneka itu.
"Kamu bilang sakit... kamu minta tolong... tapi kakak hanya diam di lemari... kakak pengecut... kakak jahat... kakak seharusnya yang mati, bukan kamu..."
Hujan tiba-tiba turun.
Rintik-rintik kecil yang perlahan berubah jadi hujan deras.
Alex tidak bergerak.
Ia tetap berlutut di sana, di samping tempat sampah, memeluk boneka beruang, menangis di bawah hujan.
Air hujan membasahi rambutnya, membasahi bajunya yang sudah lusuh, tapi ia tidak peduli.
"Kamu masih kecil, Elena... kamu belum ngerti apa-apa... kamu harusnya bisa tumbuh besar, sekolah, jadi guru seperti Mama... tapi sekarang kamu cuma abu..."
Isakan Alex semakin keras, bercampur dengan suara hujan.
"Dan kakak? Kakak hidup. Kakak yang pengecut malah hidup. Itu tidak adil. Itu tidak benar!"
Ia membenturkan kepalanya ke tanah—sekali, dua kali, tiga kali—sampai dahinya berdarah.
"KENAPA AKU YANG HIDUP?! KENAPA BUKAN AKU YANG MATI?!"
Tapi tidak ada yang menjawab.
Hanya hujan yang semakin deras.
Alex membawa boneka itu kembali ke kolong jembatan.
Malam itu, ia berbaring di kardus basahnya, memeluk boneka beruang lusuh itu seperti bayi memeluk ibunya.
Mata kanannya yang kosong menatap balik ke arah Alex—tatapan kosong yang entah kenapa terasa seperti tatapan Elena malam itu.
Tatapan yang bertanya: Kenapa kakak tidak menolong Elena?
"Maafkan kakak..." bisik Alex di kegelapan. "Kakak janji akan balas dendam. Kakak janji akan bunuh semua orang yang bunuh kamu, Mama, Papa. Kakak janji..."
Tapi janji itu terasa kosong.
Bagaimana seorang anak berusia lima belas tahun—kurus, lemah, sekarat di jalanan—bisa membunuh Adipati Guntur? Pria paling berkuasa di negara ini?
Mustahil.
Alex memejamkan mata, memeluk boneka itu lebih erat.
Dan dalam tidurnya, mimpi buruk datang lagi.
Dalam mimpi:
Alex berdiri di ruang tamu rumahnya yang terbakar.
Elena duduk di tengah api, boneka beruangnya di pangkuannya—tapi boneka itu sudah terbakar, hanya kerangka hitam.
"Kakak," panggil Elena dengan suara datar—suara tanpa emosi, suara mayat.
"Elena, aku—"
"Mr. Cuddles terbakar," kata Elena sambil mengangkat boneka hangus itu. "Sama seperti Elena."
"Aku minta maaf—"
"Kakak bilang akan balas dendam," potong Elena. Matanya—yang seharusnya cokelat lembut—sekarang hitam pekat seperti lubang. "Tapi kakak bohong."
"Aku tidak bohong! Aku akan—"
"Kakak lemah. Kakak tidak akan pernah bisa balas dendam. Kakak akan mati di jalanan. Sendiri. Seperti sampah."
Elena berdiri, boneka hangus di tangannya terbakar lagi—api biru yang tidak wajar.
"Dan ketika kakak mati," Elena melangkah mendekat, api mulai menjilat tubuhnya, "Elena akan menunggumu di neraka. Dan Elena akan tanya kenapa kakak tidak menolongnya."
"ELENA KUMOHON!" Alex mundur, tapi punggungnya menabrak dinding api.
"Kenapa, Kakak?" Elena sudah tepat di depannya, wajahnya mulai meleleh seperti malam itu. "KENAPA KAKAK TIDAK KELUAR DARI LEMARI?!"
"AKU TAKUT!"
"ELENA JUGA TAKUT! TAPI TIDAK ADA YANG MENOLONG ELENA!"
Elena menyentuh wajah Alex—tangannya yang meleleh, hangus, menempel di pipi Alex.
"Rasakan, Kakak. Ini yang Elena rasakan."
Rasa sakit yang luar biasa—seperti terbakar hidup-hidup—
Alex terbangun dengan berteriak.
"AAAHHH!"
Beberapa gelandangan di sekitarnya menggerutu, tapi tidak ada yang peduli.
Alex terengah-engah, peluh dingin membasahi tubuhnya. Wajahnya masih terasa panas—seperti benar-benar terbakar.
Ia memegang pipinya, tapi tidak ada luka.
Hanya mimpi.
Tapi terasa sangat nyata.
Alex memeluk boneka beruang lagi, menangis dalam diam.
"Aku tidak kuat, Elena... aku tidak bisa melakukan ini... aku tidak bisa hidup seperti ini..."
Matanya menatap keluar kolong jembatan—ke sungai hitam yang mengalir di bawah sana.
Sungai yang dalam.
Sungai yang dingin.
Sungai yang bisa mengakhiri semuanya.
Pukul 3 pagi.
Alex berdiri di tepi jembatan.
Angin malam berhembus kencang, nyaris mendorong tubuhnya yang ringan.
Di tangannya, boneka beruang lusuh itu—satu-satunya benda yang ia miliki di dunia ini.
Alex menatap ke bawah.
Air sungai hitam pekat. Tidak terlihat dasarnya. Arus cukup kencang untuk menyeret tubuh ke tengah, menenggelamkannya, tidak akan pernah ditemukan.
"Mungkin lebih baik begini," bisik Alex, suaranya hilang ditelan angin.
Ia ingat pagi tadi—dipukuli preman lagi karena tanpa sengaja menginjak "wilayah" mereka. Tulang rusuknya yang sudah retak sekarang semakin sakit.
Ia ingat kemarin—menemukan roti berjamur di tempat sampah, tapi ketika akan memakannya, seekor tikus besar merebutnya dari tangannya.
Ia ingat kemarin lusa—mimpi buruk lagi, Elena memanggilnya, menyalahkannya.
Tiga minggu hidup di neraka.
Dan masih puluhan tahun lagi untuk balas dendam—jika ia berhasil bertahan. Jika ia berhasil jadi cukup kuat.
Kemungkinannya nyaris nol.
"Aku lelah," bisik Alex, air mata mengalir lagi. "Aku tidak sanggup lagi, Elena. Maafkan kakak."
Ia mengangkat satu kaki, meletakkannya di tepi pagar jembatan.
Satu langkah lagi.
Satu langkah dan semuanya berakhir.
Tidak ada lagi mimpi buruk. Tidak ada lagi rasa lapar yang menyiksa. Tidak ada lagi dipukuli. Tidak ada lagi sendirian.
Mungkin di sana—di dunia setelah mati—ia bisa bertemu Elena lagi. Bisa minta maaf langsung.
Alex menutup mata, bersiap melompat—
"Jangan."
Suara itu tua, kasar, tapi tegas.
Alex membuka mata, menoleh.
Seorang pria tua—mungkin usia enam puluhan—berdiri beberapa meter di belakangnya. Tubuhnya kurus tapi berotot, rambutnya putih berantakan, wajahnya penuh bekas luka. Matanya tajam—mata yang pernah melihat banyak kematian.
"Turun dari sana, Nak," kata pria itu dengan nada yang tidak bisa dibantah.
"Biarkan aku," jawab Alex, suaranya bergetar. "Ini... ini yang terbaik."
"Terbaik untuk siapa?"
Alex terdiam.
Pria tua itu melangkah lebih dekat, perlahan, seperti mendekati hewan yang ketakutan.
"Aku tahu matamu, Nak," katanya pelan. "Mata orang yang sudah melihat neraka. Mata orang yang kehilangan segalanya."
"Lalu kenapa Anda peduli?" Alex menoleh, menatap pria itu dengan mata kosong. "Anda tidak kenal aku. Biarkan saja aku mati."
"Karena aku melihat diriku tiga puluh tahun lalu di matamu."
Alex mengerutkan kening.
Pria tua itu tersenyum pahit. "Aku dulu juga berdiri di tepi jembatan ini. Mau bunuh diri. Karena aku kehilangan semuanya—istri, anak, pekerjaan. Karena aku berpikir mati lebih mudah daripada hidup."
"Terus?" Alex menatapnya dingin. "Anda tidak jadi bunuh diri. Dan hidup Anda jadi lebih baik?"
"Tidak." Jawaban jujur yang membuat Alex terkejut. "Hidupku tetap sial. Aku jadi gelandangan. Aku kelaparan. Aku sekarat perlahan."
"Lalu kenapa Anda hentikan aku?!"
"KARENA AKU MASIH PUNYA TUJUAN!" pria itu berteriak—untuk pertama kalinya suaranya naik. "Karena ada satu hal yang membuat aku bertahan!"
Angin berhenti sejenak.
Alex menatap pria itu.
"Balas dendam," bisik pria tua itu. "Orang yang bunuh keluargaku. Aku hidup hanya untuk membunuhnya. Dan aku berhasil. Sepuluh tahun kemudian, aku bunuh dia dengan tangan kosongku."
Mata Alex membelalak.
"Dan kamu tahu apa yang aku rasakan setelahnya?" Pria itu tersenyum—senyum paling sedih yang pernah Alex lihat. "Kosong. Tapi setidaknya aku sudah menepati janjiku pada keluargaku."
Pria itu mengulurkan tangannya.
"Turun dari sana, Nak. Kalau kamu bunuh diri, kamu tidak akan pernah bisa balas dendam. Dan orang yang bunuh keluargamu akan hidup bahagia sampai tua."
Alex menatap tangan itu—tangan tua yang penuh bekas luka, bekas luka bakar, bekas tembakan.
Tangan pembunuh.
Tapi juga tangan yang mengulur pertolongan.
"Siapa Anda?" bisik Alex.
"Namaku Marcus," jawab pria itu. "Dan aku akan mengajarimu cara bertahan hidup. Cara jadi kuat. Cara... membunuh."
Air mata Alex jatuh—tapi kali ini bukan air mata putus asa.
Perlahan, ia menurunkan kakinya dari tepi jembatan.
Meraih tangan Marcus.
Dan saat tangan mereka bertemu, Alex merasakan sesuatu—sesuatu yang sudah lama hilang.
Harapan.
Marcus menarik Alex menjauh dari tepi jembatan, memeluknya—pelukan pertama yang Alex terima dalam tiga minggu.
Dan Alex menangis.
Menangis sejadi-jadinya di bahu orang asing itu.
Memeluk boneka beruang lusuh di antara mereka.
"Aku akan bertahan," bisik Alex di antara tangisnya. "Aku akan jadi kuat. Dan aku akan bunuh mereka semua."
Marcus menepuk punggungnya, seperti ayah menenangkan anak.
"Bagus, Nak. Itu yang aku mau dengar."
Dan malam itu, di tepi jembatan tempat Alex nyaris bunuh diri, kehidupan barunya dimulai.
Kehidupan yang akan mengubahnya dari anak lemah jadi mesin pembunuh.
Meski itu berarti ia harus kehilangan kemanusiaannya.