Pembalasan Sang Duchess.

Carmila menatapnya sejenak sebelum melemparkan pertanyaan, “Yang Mulia… bolehkah aku bertanya, apakah Anda tertarik pada sebuah hubungan kontrak?”

Nada suaranya terdengar tenang, tapi di balik kata-kata itu tersimpan perhitungan matang.

Suaminya baru saja mengumumkan akan membawa Seraphina ke istana sebagai selir. Dalam keadaan seperti ini, menjalin hubungan kontrak dengan Pangeran Kedua terasa seperti langkah sempurna untuk membalas keduanya.

Ia menolak jadi wanita malang dalam kisah ini. Peran sebagai istri duke yang patuh dan anggun sudah cukup ia jalani. Ia muak menahan diri demi citra yang tidak pernah cocok dengan dirinya. Kini yang ia inginkan hanya satu—membalas dendam.

Namun, ketika menanti jawaban dengan hati berdebar, ekspresi Alistair justru berubah dingin. Seolah menahan kesal.

“Omong kosong apa itu?”

Kata-katanya seperti tamparan. Carmila terdiam, menyadari betapa konyolnya ide itu jika terdengar di telinga orang lain.

“Maafkan saya, Yang Mulia,” ucapnya cepat.

“Bagus kalau kau sadar,” jawab Alistair datar, anggukan kecilnya menandakan ia ingin mengakhiri percakapan.

'Jadi dia menyuruhku pergi,' batinnya getir.

“Baik. Saya permisi dulu. Selamat tinggal.”

Ia menunduk sopan lalu berbalik. Langkahnya ringan tapi hatinya terasa berat saat meninggalkan ruang tamu.

......................

Setelah Carmila pergi, Alistair menghela napas panjang. Ia benar-benar tak habis pikir.

Wanita itu seharusnya hanya datang untuk membuat surat perjanjian, lalu pergi tanpa banyak bicara. Tapi nyatanya, dia malah berani mengajukan hubungan kontrak.

Sungguh wanita yang nekat.

Pikiran Alistair melayang pada pertemuan pertama mereka.

Waktu itu, Carmila baru saja menikah dan hadir di pesta dansa Istana Kekaisaran sebagai Duchess Hamilton.

Ia sudah sering mendengar nama wanita itu—cantik, anggun, dan selalu jadi bahan pembicaraan di kalangan sosialita. Namun, seperti biasanya, Alistair tidak pernah tertarik pada wanita mana pun.

Hingga malam itu.

Entah kenapa, pandangannya terus tertuju padanya. Rambut perak yang tergerai lembut di bahu, senyum manis yang tampak tulus, dan tatapan penuh cinta pada suaminya—semuanya tampak begitu nyata.

Seperti apa rasanya hidup dengan kebahagiaan seperti itu?

Pertanyaan itu sempat terlintas di benaknya waktu itu.

“Hah.” Alistair menghela nafas pelan, ia menepis kenangan yang tiba-tiba terasa mengganggu.

Alistair menggeleng pelan. Ia tidak menyangka Carmila memiliki kepribadian seperti itu. Wanita yang baru saja ia temui jauh dari kesan polos dan anggun yang dulu ia kenal.

Bagaimanapun, semua itu tidak lagi penting. Ia menatap surat perjanjian yang di tulis Carmila—dengan adanya surat itu, masalah semalam seharusnya bisa di anggap selesai.

Bagi Alistair, kejadian itu adalah penyimpangan pertama dalam hidupnya. Ia bahkan sampai pergi ke hotel dengan seorang duchess yang sudah menikah. Jika dipikir lagi, itu benar-benar gila.

Ia menarik napas panjang. Yang terpenting sekarang, memastikan semua tetap tertutup rapat dan tidak menimbulkan masalah baru.

Saat itulah, terdengar suara ketukan keras di balik pintu.

“Yang Mulia, Istana Pangeran Mahkota memanggil Anda untuk segera menghadap.”

Alistair mengernyitkan dahinya. “Baiklah. Aku akan segera ke sana.”

Ia melipat surat perjanjian itu dan memasukkannya ke saku. Tanpa menoleh lagi, ia melangkah meninggalkan ruang tamu.

Ia tidak tahu, panggilan itu akan menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih rumit.

......................

“Nyonya, Anda sudah kembali!”

Begitu Carmila tiba di Kediaman Duke, Elara yang sejak tadi mondar-mandir di depan pintu langsung menghampirinya, lalu berjalan di sisinya dengan wajah cemas.

“Kenapa Yang Mulia Pangeran Kedua tiba-tiba memanggil Nyonya? Tidak terjadi sesuatu, kan?”

“Tidak ada apa-apa, Elara. Hanya urusan kecil saja, jadi jangan khawatir.”

Elara masih tampak gelisah, matanya meneliti wajah Carmila seolah mencari kepastian. Carmila hanya tersenyum tipis untuk menenangkannya.

“Tapi tolong, jangan beri tahu siapa pun, kalau aku baru saja bertemu dengan Yang Mulia hari ini.”

Elara mengangguk cepat. “Baik, Nyonya. Selama tidak ada masalah besar, semua akan baik-baik saja.”

Begitu melangkah lebih dalam, Carmila bisa merasakan suasana rumah yang aneh. Para pelayan terlihat berkumpul di sudut-sudut lorong, dan berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya.

Elara pun menyadarinya, lalu tersenyum canggung. “Kediaman memang sedang agak ramai, Nyonya. Saya sudah mencoba menyuruh mereka diam, tapi gosip memang sulit di bendung…”

Carmila hanya mengangguk pelan.

'Sekarang aku sudah bisa menerima, kalau mereka memang berselingkuh.'

Awalnya, sulit sekali menerima kenyataan bahwa mereka berdua telah bersama. Tapi kini, entah karena waktu telah berlalu atau karena hal lain, Carmila bisa mengakui fakta itu dengan tenang.

Bagaimanapun juga, yang harus di pikirkan sekarang adalah bagaimana cara melawan mereka.

'Setelah Valerian menjalin hubungan serius dengan Seraphina, aku tidak akan diam saja. Terlebih, bajingan itu bahkan punya nyali untuk mengumumkan Seraphina sebagai selir resminya.'

Ia menatap kosong ke arah jendela, pikirannya mulai tertata.

'Aku akan bercerai. Dan aku akan mengambil semuanya kembali.'

Segala yang pernah ia berikan, semua yang ia korbankan untuk keluarga Hamilton, untuk Valerian, akan ia ambil kembali satu persatu.

Ia tahu, Valerian pasti akan berusaha menahan perceraian itu demi uang. Tapi tekadnya sudah bulat.

Prioritas utamanya sekarang adalah menarik kembali semua dana yang di investasikan ayahnya. Secara hukum Kekaisaran, harta seorang wanita akan otomatis menjadi milik suami setelah menikah. Tapi Carmila tidak akan membiarkan uang ayahnya jatuh ke tangan keluarga Hamilton yang serakah.

Lalu, bisnis-bisnis yang Carmila jalankan atas nama Valerian juga akan ia ambil kembali.

“Elara,” panggil Carmila dengan suara rendah namun tegas. “Ada beberapa hal yang harus kita urus secepatnya.”

“Baik, Nyonya,” jawab Elara sambil menegakkan tubuhnya.

Carmila menatap lurus ke depan, sorot matanya sudah penuh rencana.

“Sepertinya aku harus menemui beberapa orang sebelum pesta ulang tahun Valerian tiba.”

Persiapan untuk menyingkirkan Valerian dan Seraphina akhirnya di mulai.

......................

“Ugh... tenggorokanku sakit sekali.”

Carmila turun dari kereta, gaunnya berdesir lembut saat melangkah masuk ke Kediaman Duke. Kepalanya terasa berdenyut, beberapa hari terakhir ia terlalu banyak berpikir hingga sulit tidur nyenyak.

Begitu ia memijat pelipis dan melangkah masuk, Elara langsung menghampirinya. “Anda sudah kembali, Nyonya. Saya akan siapkan teh hangat. Silakan beristirahat dulu.”

Carmila hanya mengangguk pelan sebelum naik ke ruang kerjanya. Begitu sampai, ia langsung ambruk di sofa. Tubuhnya terasa berat dan lelah.

"Sepertinya aku bicara terlalu banyak belakangan ini."

Sejak memutuskan untuk benar-benar menyingkirkan Valerian dan Seraphina, beberapa hari terakhir ia sibuk menemui banyak orang—sebagian besar dari mereka terlibat dalam bisnis yang ia jalankannya di Kediaman Duke.

Yaitu, bisnis parfum dan produk kosmetik yang di jalankan atas nama Valerian.

Bisnis parfum dan kosmetik itu memang terdaftar atas nama Valerian, tapi semua ide dan kerja keras berasal darinya.

Itu juga bukan satu-satunya usaha yang ia kelola, tapi bisnis itulah yang paling besar dan paling menjanjikan.

Selama beberapa hari terakhir, Carmila sudah bergerak diam-diam. Ia membujuk, merayu, bahkan dengan sengaja menyebarkan gosip tentang perselingkuhan Valerian—semua sambil berakting sebagai istri malang yang dikhianati.

Dan hasilnya mulai terlihat. Satu per satu orang yang dulu memihak Valerian kini berbalik mendukungnya secara terang-terangan.

Sejak awal, mereka berinvestasi karena mempercayai Carmila, bukan karena nama Duke Hamilton.