"Loh, Mas, kok ada pemberitahuan dana keluar dari rekening aku tadi siang? Kamu ambil lagi, ya, Mas?!"
"Iya, Mai, tadi Panji WA, katanya butuh uang, ada keperluan mendadak. Bulan depan juga dikembalikan. Maaf, Mas belum sempat ngomong ke kamu. Tadi Mas sibuk banget di kantor."
"Tapi, Mas, bukannya yang dua juta belum dikembalikan?"
Raut wajah Pandu masih terlihat sama bahkan begitu tenang, meski sang istri, Maira, mulai meradang oleh sifatnya yang seolah selalu ada padahal masih membutuhkan sokongan dana darinya. Apa yang Pandu lakukan tentu bukan tanpa sebab. Ya, nyatanya memiliki istri selain Maira merupakan ujian berat bagi Pandu. Istri yang ia nikahi secara diam-diam tersebut mampu membuat Pandu kelimpungan terutama dalam segi finansial. Hal tersebut membuat Pandu terpaksa harus memutar otak, mencari cara agar semua tercukupi, bahkan ia terpaksa harus membohongi Maira agar pernikahan ke duanya tidak terendus oleh Maira dan membuat Maira, istri tercintanya sakit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BUTUH TEMAN
Setelah semua lebih tenang, saatnya aku
menyelesaikan apa yang sudah seharusnya aku selesaikan.
Memberi pelajaran pada adik sialan.
Berkali-kali aku menghubungi, ia tak juga mengangkatnya. Kukirim pesan pun hanya centang dua berwarna abu. Entah apa yang sedang dilakukan anak itu. Hingga tak sempat mengangkat atau membaca pesan dariku. Padahal, lidahku sudah tak sabar untuk mencaci dan mengumpat anak kurang ajar yang tak tahu diri.
Bergegas aku menuju bandara, begitu tiket ke Jogja sudah aku dapatkan. Sebelum berangkat, aku sudah memerintahkan untuk rumah dijaga lebih ketat. Serta tak ada yang boleh mengusik Maira yang sudah terlelap di dalam kamar. Mungkin karena tenaganya banyak terbuang seharian sehingga ia terlihat begitu lelap ketika aku menengoknya tadi sebelum berangkat.
Mbok Darsih juga sudah aku beri tahu apa saja tugasnya untuk mengurus Maira. Dari semua yang ada di sana, hanya Mbok Darsih lah yang bisa aku percaya untuk saat ini. Wanita itu selalu patuh padaku, kelembutan dan kebaikan Mbok Darsih selama ini membuatku mempercayakan Maira padanya.
Sekitar satu jam perjalanan udara, tibalah aku di Jogja. Begitu sampai bandara Jogja, langsung kupesan taksi menuju kontrakan Panji, meski hari sudah gelap aku tak peduli lagi. Aku sudah tidak bisa menunggu sampai besok pagi. Mulutku sudah tak sabar untuk mencecar, tanganku pun sudah gatal ingin menghajar. Anak itu benar-benar tidak tahu balas budi. Bertindak seenaknya sendiri tanpa berpikir konsekuensi.
"Langsung ke alamat ini, Pak," ujarku pada supir taksi seraya memperlihatkan ponsel yang berisi alamat Panji begitu aku mendudukkan diri di bangku penumpang.
"Baik, Mas," jawabnya lalu melajukan mobil dengan kecepatan sedang.
Suasana malam kota Jogja memberi kesan istimewa.
Jalanan masih terlihat ramai meski hari sudah gelap.
Banyak terlihat penjual berbagai makanan memadati trotoar hingga pinggir jalan-jalan yang aku lewati.
Namun, rasa lapar tak kunjung menyapa meski makanan-makanan itu terlihat begitu menggugah selera.
Pemandangan ini melempar pikiranku pada masa bulan madu bersama Maira tiga tahun lalu.
Bulan madu dengan budget minimalis, karena tiket dan semua biaya akomodasi aku dapatkan dari menang undian yang diadakan kantor kala itu. Masa-masa berharga, di mana uangku tak seberapa, tapi hidupku dipenuhi dengan kebahagiaan karena bersama Maira.
Netraku terus menyisir jalanan yang pernah menjadi
saksi bisu cinta kami berdua. Di ujung jalan, di bawah lampu taman kota Jogja yang aku lihat saat ini, aku dan Maira pernah melambungkan impian kami begitu tinggi, mempunyai rumah dua lantai dengan halaman yang luas sekaligus mobil pribadi, second pun tak mengapa, lalu kami saling tatap setelah menengadahkan kepala ke langit malam kota Jogja, menyampaikan doa kami pada Sang Pencipta, dan di detik selanjutnya tawa kami pun pecah setelah menyadari do'a kami begitu lucu dan mustahil untuk digapai.
Namun nyatanya, bagi Tuhan tidak ada yang mustahil, hanya saja jalan cerita kami tak sesuai rencana.
Ya, ketika semua mampu aku wujudkan, aku justru hampir kehilangan Maira. Hatiku semakin basah, kala semua kenangan masa bahagia berjejalan masuk ke dalam kepala dan menambah penyesalanku semakin hebat.
Dadaku kembali bergemuruh tiba-tiba, saat ingatanku tertuju pada Panji, apa yang terjadi saat ini tak akan sekeruh ini jika Panji tidak bertindak sembrono. Tanganku mengepal kuat, tak sabar ingin bertemu dengan adik durjana.
Tok, tok, tok! Kaca mobil diketuk pelan beberapa kali saat taksi berheti karena lampu berwarna merah, seketika aku tersadar.
"Astaghfirullah." Kutekan amarah yang sempat membuncah entah untuk yang keberapa kalinya.
"Udah, Mas, nggak usah dibuka, paling anak jual
bunga." Sopir taksi berujar, tapi aku tak mengindahkan. Kubuka perlahan kaca mobil, setidaknya berbagi rezeki jauh lebih baik dari pada harus menutup mata padahal kita mampu melakukannya.
"Malam, Om. Mau bunga?" Suara lirih seorang anak laki-laki berusia 9 tahunan, dengan membawa banyak tangkai bunga mawar merah di tangan, dan terdengar begitu payah itu terdengar menyapaku seraya tersenyum polos.
Bibirku ku pun ikut tertarik sempurna ketika memandang mawar merah yang terlihat masih begitu segar. Bunga mawar merah itu persis seperti bunga mawar yang pernah kuberikan pada Maira untuk pertama kalinya. Satu tangkai saja, tapi dia menerimanya dengan senyuman lebar dan binar kebahagiaan.
Maira memang pandai membuat hatiku yang belum mampu membeli buket bunga diliputi rasa syukur kala itu. Ia tak pernah menuntut atau mengeluh dengan kekuranganku. Sedangkan aku hanya mau dia mengerti tanpa mau tahu apa yang dia inginkan. Payah.
"Berapa, Dek?"
"25 ribu, om. "
"Ini, Om ambil semua, kamu buruan pulang, besok sekolah, kan?" ujarku seraya mengulurkan beberapa lembar uang seratus ribuan. Seketika wajah bocah itu berbinar, menatap tak percaya uang yang ada di tangan.
Kuambil satu tangkai mawar. "Om bawa satu, sisanya
kamu jual besok, masih bisa, kan? Uangnya simpen buat keperluan sekolah."
"Beneran, Om?" Wajah payah itu kini berubah penuh semangat.
Aku mengangguk seraya tersenyum. Lalu lampu hijau menyala. Bell mobil di belakang pun saling bersahutan seolah tak sabar menunggu mobil kami berjalan. "Om, pergi dulu, ya. Cepet pulang." Kulambaikan tangan seraya kuulas senyum perpisahan.
Kelemahan terbesar dalam diriku adalah melihat penderitaan anak yang seharusnya menikmati masa kecilnya. Semua itu mengingatkan aku pada beberapa tahun silam. Aku yang harus bekerja keras karena ayah pergi bersama wanita simpanannya saat usia Panji masih 7 tahun. Keadaan membuatku dan Mas Tama tak jauh berbeda dengan anak penjual bunga tadi. Bedanya, aku menjual kue tradisional buatan ibu.
Aku mengerjap, melupakan segala kesedihan di masa lalu. Tapi, sialnya, kemarahanku justru mereda setelah mengingat masa kecil penuh perjuangan bersama Panji yang sudah kuanggap seperti anak sendiri. Sial!
Sekitar setengah jam perjalanan, sampailah aku di daerah tempat di mana Panji tinggal. Mataku menyipit, memperhatikan bangunan yang sama semua dan hanya cat saja yang kadang berbeda. Ya, namanya juga kontrakan pastilah dibuat sama sesuai harga.
Susah payah aku mengingat-ingat kembali letak
kontrakan Panji karena memang bisa dihitung jari datang ke mari.
"Berhenti di depan, Pak," perintahku pada sopir taksi, setelah netraku menangkap sepeda motor milik Panji terparkir di teras depan rumah paling ujung.
Aku turun dari taksi setelah membayarnya. Lalu melangkah menuju rumah sederhana bercat kuning.
Tak mau membuang waktu, aku langsung mengetuk pintu.
"Panji," panggilku seraya mengetuk pintu pelan.
Sesungguhnya, ingin kugedor kuat-kuat pintu ini, kalau perlu kudobrak sekalian. Namun, berhubung kondisi sudah cukup malam dan tetangga terlihat sudah beristirahat, maka terpaksa aku mengurungkan.
"Panji." Kembali, aku berseru, kali ini ketukan aku perkeras, sebab, tak terdengar suara apa pun dari dalam sana.
Aku berdecak kesal, lalu kuambil gawai dengan amarah yang semakin tak bisa aku tahan, sebab, di dalam sana seolah tak ada kehidupan meski lampu terlihat masih menyala.
Sekali hingga tiga kali aku menghubungi, tetap ia tak mau menerimanya.
[Buka pintu atau Mas dobrak biar tetangga kamu semua bangun! Keluar sekarang! Mas hitung sampai 10.]
Akhirnya, ancaman aku kirim melalui pesan.
Aku benar-benar menghitung dalam hati, rasanya kemarahan ini sudah sampai ubun-ubun.
Tepat di hitungan ke sepuluh, saat tangan ini sudah siap menghancurkan pintu, tiba-tiba pintu terbuka dan dia tersenyum di belakangnya seraya menggaruk tengkuk lehernya, lalu tersenyum. "Ketiduran, Mas." Ia berujar, membuatku semakin geram.
Melihat wajah polos seolah tanpa dosa itu membuatku semakin tak sabar untuk memberinya pelajaran. Bisa-bisanya santai seperti ini setelah apa yang ia lakukan.
"Ketiduran katamu? Dari sore ketiduran?" Kutarik kasar kerah kaos oblongnya lalu kudorong ia masuk ke dalam. Tak lupa pula kututup pintu agar tak ada yang melihat atau mendengar.
"Apa yang kamu lakukan, Brengsek! Kamu mau menghancurkan rumah tanggaku, Panji?! Lancang kamu, Panji! Ini balasan yang kamu kasih setelah apa yang sudah Mas kasih sama kamu?! Hah?!" Aku terus mendorong Panji, hingga tak ada lagi ruang untuknya dan tubuhnya membentur dinding.
Ia hanya diam, tak sepatah kata pun ia keluarkan. Aku semakin tak sabar.
"Kamu tau, Brengsek! Gara-gara kamu semua runyam. Maira marah. Kalau sampai kami benar-benar pisah, Mas akan membunuhmu. Adik sialan!"
Raut wajahnya kini berubah.
"Mas, Mas yang salah. Mas yang brengsek! Tanpa mutasi rekening itu pun hal ini akan tetap terjadi. Dan memang sudah seharusnya terjadi!"
Bugh! Kuberikan satu pukulan di pipinya.
"Yang pantas dihajar itu kamu, Mas. Tahu diri?!"
Ucapan Panji seketika membuat aku termangu, tangan yang sudah siap mendarat untuk ke dua kali di pipinya pun seolah membeku.
"Kebohongan hanya akan menyelamatkan seseorang sementara. Tidak selamanya. Karena Tuhan Maha Melihat."
"Mas Pandu mempermainkan Mbak Maira. Bagaimana bisa Mas melakukan skenario licik seperti ini?! Sadar, Mas, sadar! Tanpa aku turun tangan pun, semua pasti akan terbongkar, hanya menunggu waktu karena hasilnya akan tetap sama. Sadar, ini adalah teguran dari Tuhan, kebenaran akan mencari jawabannya sendiri, Mas." Panji terus mencecar, aku hanya bisa diam.
Kebenaran akan mencari jawabannya sendiri. Kata-kata Panji semakin membuatku terjatuh dalam jurang nestapa. Jadi, tangan Tuhan-kah yang saat ini menghukumku? Karena aku terlalu licik seperti apa kata Panji?
Aku menghempaskan diri di sofa. Kepalaku semakin pusing, aku menopangnya dengan kedua tangan.
Beginikah rasanya menyesal tiada guna?
"Mas, nggak sengaja, Panji. Mas terpaksa." Aku mulai
tergugu, meremas rambut frustasi.
"Mas selingkuh, kan? Memakai namaku sebagai tameng. Apa, Mas nggak mikir jatuhnya harga diriku di hadapan Mbak Maira salama ini?" Nada suara Panji melemah lalu detik selanjutnya ia pergi entah ke mana.
Sedangkan aku menikmati sesal dengan air mata yang tak kunjung surut. Laki-laki juga boleh menangis, bukan?
"Nji, Mas nggak bisa kehilangan Maira, tapi Mas juga nggak mungkin lari dari anak Mas sendiri, Nji ...," ujarku di tengah isakan. Meski ia belum kembali, tapi aku yakin ia bisa mendengar suaraku karena rumah ini tidak terlalu luas.
Ya, jika di Jakarta tadi aku seolah yang paling memiliki kekuatan, tapi sekarang berbeda, aku adalah Si Lemah yang membutuhkan teman. Kuusap air mata yang terus berjatuhan, tapi aku tak bisa membuatnya menyurut bahkan semakin kuusap semakin deras keluar. Kesedihan ini sudah tak bisa lagi aku kusembunyikan.
"Jadi sudah sejauh itu kah, Mas? Sampai hamil?"
Tanpa menatapku, Pandu menyodorkan segelas air putih di hadapan dengan pertanyaan yang seketika menusuk langsung ke hati. Sejauh itukah, Mas? Ya Allah, kenapa? Kenapa harus tergoda dan khilaf, sampai sejauh ini?
Dalam hati, aku terus merutuki perbuatan diri sendiri. Hingga aku tak mampu mengeluarkan walau hanya sepatah kata.
"Ibu tau dan menyetujui?" Ia beringsut duduk di
sebelahku dan kembali bertanya, namun masih enggan menatapku. Diletakkannya air yang tak tersentuh itu di atas meja berbahan kayu. Ya, bagaimana bisa aku meneguknya, jika untuk bernapas saja rasanya begitu menyiksa.
"Hanya aku yang tidak tahu, kan?" tanyanya lagi namun kali ini dengan raut berbeda. Kekecewaan tergambar jelas di wajah Panji.
Aku mengangguk pelan.
"Astaghfirullah... semua menyetujui?" Ia menyugar rambut tak percaya.
Lagi, aku mengangguk.
"Apa, Mbak Maira baik-baik saja setelah tahu ini?"
Aku menggeleng ragu. Ia menghela napas dalam.
"Apa keputusanmu?"
Mu, Panji tak lagi menyebutku dengan kata Mas, tapi 'mu'. Sudah bisa aku pastikan, ia begitu marah dan kecewa padaku, tapi tak lantas mengutarakan secara langsung dan menggebu sepertiku. Dia memang yang paling pandai meredam emosi di antara kami bertiga. Paling muda tapi paling bijaksana. Dengannya lah aku bisa berbagi segalanya. Namun, tidak untuk perselingkuhan ku, sebab, ia termasuk orang yang taat agama. Aku tak berani.
"Mbak Maira memintaku untuk mencetak bukti-bukti itu. Awalnya hanya masalah salah transfer saja, tapi setelah kulihat dan kubaca semua. Aku tahu, ada yang
tidak beres." Panji mulai bercerita, aku mendengarnya dengan seksama.
"Kalau sudah seperti itu, kenapa nggak telepon Mas dulu, Nji?!" protesku bangkit dari sofa.
"Awalnya, aku ingin menanyakan hal itu, tapi Mbak Maira melarangnya dan justru menutupinya. Kamu tau? Mbak Maira yang masih menutupi kebusukan dan kelicikan suaminya itu membuatku terharu dan akhirnya mengurungkan niat menghubungimu. Apakah pantas, wanita yang selalu menjaga aib keluarganya, diperlakukan seperti itu? Pikirkan sendiri jawabannya, Pandu. Dengan nuranimu." Setiap kata yang diucapkan Pandu membuat hatiku teremas dan membuatku semakin jatuh dalam kubangan rasa bersalah.
"Siapa wanita itu?" Merasa belum puas, Panji kembali bertanya.
Mati....Apa yang harus aku katakan.
"Pandu?!"
Seketika aku terhempas dalam ketidakberdayaan, tulangku lemas, seolah tak ada aliran darah di sana. Jika kata-kata Panji saat ini begitu menusuk. Lalu apa yang akan dilakukan Panji jika tau bahwa wanita itu sahabat Maira sendiri?
"Siapa!" ulangnya dengan nada yang semakin keras.
"Viona. Sahabat Maira."
Matanya membulat, menatapku dengan rahang
mengeras, tangannya mengepal erat, seolah siap menghabisiku. Detik selanjutnya tangan itu mencengkeram kerah kemejaku. Lalu ....
JANGAN LUPA DI FOLLOW YA SAAY. HEHE