Zahira terpaksa bercerai setelah tahu kalau suaminya Hendro menikah lagi dengan mantan pacarnya dan pernikahan Hendro di dukung oleh ibu mertua dan anak-anaknya, pernikahan selama 20 tahun seolah sia-sia, bagaimana apakah Zahira akan melanjutkan pernikahannya atau memilih bercerai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KZ 14
Tak lama kemudian, Zahid datang bersama Adit ke rumah orang tua Zahira.
Setibanya di sana, Adit langsung disambut hangat oleh ayah dan ibu Zahira, seolah ia sudah lama menjadi bagian dari keluarga.
Raut wajah mereka terlihat akrab, penuh kehangatan dan candaan kecil yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang saling mengenal baik.
Zahira memperhatikan itu dengan heran. Ada sesuatu yang membuatnya merasa asing di tengah rumah sendiri.
"Kenapa Bapak kelihatan akrab banget sama Adit?" tanya Zahira, tak bisa menyembunyikan keheranannya.
"Ya, Kakak terlalu fokus sama keluarga sendiri, sampai lupa kampung halaman," ucap Zahid pelan, tapi tajam.
"Maksud kamu apa?" tanya Zahira, alisnya mengerut, mencoba memahami nada sindiran dalam ucapan Zahid.
"Pa, Dokter Adit ini udah lima belas tahun buka klinik di desa ini. Dia cuma ngasih tarif ke orang-orang kaya, sedangkan buat yang miskin, semuanya gratis," jelas Zahid.
"Bahkan waktu Kak Zaenab melahirkan, yang ngurus semuanya sampai ke rumah sakit itu Pak Dokter Adit."
Zahira terdiam. Ingatannya perlahan kembali ke masa itu—saat Kak Zaenab hendak melahirkan. Ia beberapa kali meminta tolong kepada Hendro, suaminya, agar diantarkan pulang ke desa. Tapi jawabannya justru menyakitkan hati.
"Yang lahiran adik kamu, kok kamu yang repot?" begitu kata Hendro waktu itu, dengan nada dingin yang tak akan pernah dilupakannya.
"Iya, tapi sayang sekali ya... tiba-tiba saja kliniknya tutup gara-gara fitnah dari seseorang yang nggak jelas asal-usulnya," ucap Zaenab, nada suara yang mengandung penyesalan
"Iya, tega banget yang bikin fitnah itu. Sekarang warga desa jadi harus ke tempat yang lebih jauh kalau mau berobat, biayanya juga mahal," timpal Yusni dengan nada kesal.
"Sudahlah, Bu... nanti juga ada balasannya," ucap Adit dengan tenang, seolah kehilangan klinik bukanlah hal besar baginya.
Adit diminta untuk tidak pulang dulu oleh Edi dan Yusni. Mereka memintanya menginap di rumah Zahid.
Zahira berada di kamarnya. Ia tertegun melihat barang-barangnya masih tersimpan rapi, seolah tak ada yang berubah sejak kepergiannya. Semua tertata dengan penuh kenangan
Tak lama, Yusni datang menghampiri Zahira. Ia masuk pelan-pelan ke kamar, lalu duduk di samping putrinya dengan tatapan hangat tenang dan selalu bisa membangkitkan jiwa zahira.
"Kenapa kamu, Nak?" tanya Yusni lembut, melihat raut wajah Zahira yang tampak sendu.
"Aku lagi bingung, Bu... di usiaku yang ke-40 ini, aku harus mulai dari mana? Mau kerja apa juga aku nggak tahu," ucap Zahira, suaranya lirih penuh keraguan.
Yusni memegang pundak Zahira dengan lembut, tatapannya penuh kasih.
"Kamu ini sekolah tinggi, kok masih bingung soal kerja? Ibu nggak lulus SD aja masih bisa hidup sampai sekarang," ucap Yusni, mencoba menenangkan hati putrinya dengan senyum penuh ketegaran.
Kalimat sederhana itu terasa hangat, seperti pelukan yang menyejukkan hati Zahira.
"Selagi kami masih mampu, kami akan rawat kamu, Nak. Untuk sekadar makan, insya Allah kami masih sanggup," ucap Yusni lembut.
"Tapi tetap saja aku harus bekerja, Bu... Aku nggak mau terus merepotkan Ibu dan Bapak," ucap Zahira, menunduk, suaranya bergetar menahan perasaan.
Ada keteguhan dalam ucapannya, tapi juga rasa bersalah yang sulit ia sembunyikan.
"Ya, bekerja itu memang kewajiban setiap manusia, Nak," ucap Yusni sambil menatap lembut wajah putrinya.
"Tapi sekarang, cobalah fokus sama cita-cita dan bakatmu. Kamu sudah terlalu lama menunda. Ini saatnya kamu bangkit." Kata-kata itu masuk ke hati Zahira seperti cahaya hangat di tengah gelapnya keraguan.
"Mengejar cita-citaku di usia seperti ini... apa masih mungkin, Bu?" tanya Zahira lirih, matanya menerawang, seolah bertanya pada dunia sekaligus pada dirinya sendiri.
“Cinta itu nggak pernah datang terlambat, Nak. Dia selalu datang di waktu yang tepat,” ucap Yusni dengan senyum penuh keyakinan.
“Kamu masih ingat, kan, apa cita-cita kamu dulu?” tanyanya lembut, seolah ingin menghidupkan kembali semangat yang pernah padam di hati putrinya.
“Tentu saja aku masih ingat, Bu. Aku ingin jadi penulis,” ucap Zahira pelan, tapi mantap.
“Ibu sudah melakukan banyak hal untuk mendukung cita-citaku… Aku nggak pernah lupa itu.”
Suaranya mulai bergetar, matanya berkaca-kaca—di balik luka, ada rasa terima kasih yang begitu dalam.
"Iya, sekarang fokuslah pada dirimu sendiri dulu, Nak. Bahagiakan dirimu sebelum membahagiakan orang lain," ucap Yusni sambil menggenggam tangan Zahira.
"Ibu, Bapak, dan adik-adikmu pasti mendukung kamu. Dulu, sekarang, dan nanti... kami akan selalu ada untukmu, apa pun yang terjadi."
Kata-kata itu mengalir seperti pelukan hangat, membungkus luka hati Zahira dengan kasih sayang yang tak pernah berubah.
..
..
Sementara itu, Hendro masih berada di rumah sakit. Seharusnya hari ini ia sudah berangkat kerja, tapi dirinya belum juga bersiap.
Biasanya, hal seperti ini bukan masalah. Ibunya sudah beberapa kali dirawat, ini bukan yang pertama. Tapi entah kenapa, kali ini terasa jauh lebih merepotkan.
Zahira… Dulu, separah apa pun sakit ibunya, Zahira selalu bisa mengurus semuanya dengan tenang. Tanpa mengeluh, tanpa menyulitkan.
Sekarang? Bahkan untuk mengambil resep obat saja Hendro harus bolak-balik dari satu ruangan ke ruangan lain. Ironisnya, ia bekerja di bagian perizinan—bagian dari sistem birokrasi itu sendiri. Tapi baru hari ini ia benar-benar merasakan betapa berbelit dan melelahkannya semua prosedur itu.
Ia melirik ke arah Sinta, perempuan yang baru dikenalnya semalam. Menyerahkan ibunya ke orang asing? Rasanya tidak mungkin. Hatinya masih ragu.
Baru sekarang ia menyadari, betapa banyak hal yang selama ini dipikul oleh Zahira… sendirian, tanpa ia sadari.
Hendro menatap layar ponselnya sejenak sebelum akhirnya menekan tombol panggil. Tak butuh waktu lama, suara Ratna terdengar di seberang.
“Sayang, kamu bisa nggak jagain Ibu? Sekarang Ibu dirawat di rumah sakit,” ucap Hendro, suaranya terdengar lelah dan penuh harap.
“Astaga, Mas… kerjaanku banyak banget. Masa aku harus jagain orang sakit juga sih?” jawab Ratna cepat, nadanya terdengar enggan.
Hendro terdiam. Ingin marah? Tapi marah ke siapa? Ini semua keputusannya sendiri—mengkhianati Zahira, menikahi Ratna, dan meninggalkan rumah tangga yang dulu ia bangun.
“Kalau gitu, suruh Angga pulang. Buat jagain neneknya. Aku juga harus kerja,” ucap Hendro dengan nada mulai frustrasi.
“Ah, Mas... kasihan Angga. Semalam dia begadang sama teman-temannya di rumah aku. Aku nggak tega nyuruh dia pulang,” jawab Ratna santai.
“Terus aku gimana? Masa aku nggak kerja?” tanya Hendro, suaranya mulai meninggi karena kelelahan dan tekanan.
“Kamu ini gimana sih? Masalah sepele kayak gini aja repot banget. Kamu kan punya pembantu, suruh aja dia jagain Ibu kamu. Nggak usah dibikin ribet,” balas Ratna dengan nada kesal.
Hendro hanya bisa menghela napas panjang. Menyerahkan ibunya pada pembantu? Rasanya tidak sreg di hati. Tapi apa boleh buat... sepertinya memang tak ada pilihan lain.
Kemudian Hendro mencoba menelepon Anggi. Tapi nomor putrinya itu tidak aktif. Ia menatap layar ponsel dengan kening berkerut.
"Semalam nomornya masih aktif sampai jam empat pagi… Sekarang jam delapan malah nggak bisa dihubungi," gumam Hendro pelan.
Ia menyandarkan tubuh ke kursi tunggu rumah sakit, tatapannya kosong.
"Apa selama ini aku terlalu lembek sama anak-anak? Terlalu memanjakan mereka, terlalu banyak menutup mata?" pikirnya dalam hati.
Perlahan, rasa bersalah mulai menyelinap—bukan hanya pada ibunya, tapi juga pada masa depan yang tak ia bentuk dengan baik untuk anak-anaknya
Pa lagi gk Ada cctv dan bekingan km akn kalah zahira.
sebagai orang Awam dan baru hrse diam dulu jng nantangin terang terangan.
kl dah lama dan tau kondisi lingkungan br lah gerak.
kl dah gini km bisa apa.😅.