Ingin berbuat baik, Fiola Ningrum menggantikan sahabatnya membersihkan apartemen. Malah menjadi malam kelam dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Kesuciannya direnggut oleh Prabu Mahendra, pemilik apartemen. Masalah semakin rumit ketika ia dijemput paksa orang tua untuk dijodohkan, nyatanya Fiola sedang hamil.
“Uang yang akan kamu terima adalah bentuk tanggung jawab, jangan berharap yang lain.” == Prabu Mahendra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Tanda-tanda
Prabu bangun lebih siang dari biasa. Bukan hanya karena hari ini minggu, tapi ia merasa tidak sehat. Ada rasa tidak nyaman di perutnya, menduga makanan kemarin ada yang tidak ramah dengan pencernaannya. Sempat menghadiri undangan dari relasi bersama Gama dan di sana ia minum alkohol meski hanya sedikit.
Tangannya memegang perut dan meringis. Terasa aneh, ada rasa mual dan bergejolak. Hari ini rencana mengunjungi orang tuanya, tidak mungkin batal karena sudah janji. Beranjak malas dari ranjang menuju dapur. Sepertinya ia harus minum air hangat untuk meredakan mual. Merasa sudah lebih baik, Prabu pun bersiap pergi.
“Mungkin terlalu lelah, aku harus istirahat atau cuti untuk liburan,” gumam Prabu sambil mematut dirinya di cermin. Karena libur, penampilan Prabu hari ini lebih casual. Tidak mengurangi ketampanannya.
Tiba di kediaman orangtua, saat memarkir mobil ia melihat ada mobil lain selain milik orangtuanya. Mengucap salam saat memasuki ruang keluarga.
“Wah, anak mama masih ingat pulang.”
Prabu enggan menjawab candaan sang mama, menghampiri dan memeluk wanita yang sudah melahirkannya juga mencium kening.
“Loh, kamu kenapa?” tanya Mama sambil menangkup wajah Prabu.
“Kenapa gimana?” Prabu malah tanya balik.
“Kok makin ganteng sih.”
Mama terkekeh sedangkan Prabu berdecak malas lalu menghampiri papa dan duduk di sofa berseberangan dengan pria itu.
“Iya ‘kan pah, anakku makin ganteng. Tapi aneh, nggak ada perempuan yang mau.”
“Mah,” tegur Papa Prabu.
“Bukan nggak ada yang mau, abang terlalu pilih-pilih.” Wanita dengan perut buncit membawa mangkuk salad mendekat dan duduk di samping Prabu.
“Ngapain kamu di sini?”
“Ish, orang tuh kalau ketemu nanya kabar aku kek atau ini calon ponakannya. Nggak asyik,” cibir Tania -- adik Prabu.
“Suaminya ada tugas di luar kota. Lagi hamil, tinggal sendiri. Nggak tega mama, sementara biar tinggal di sini. Kamu … datang sendiri?” tanya mama sambil mengernyitkan dahi.
“Nggak usah ngeledek,” sahut Prabu.
“Lah, mama ‘kan tanya. Dia datang sendiri pah?” kali ini sang mama kembali bertanya ke suaminya. Jelas-jelas pertanyaan mengandung ejekan.
Tania terkekeh. “To the point aja sih mah. Abang kapan bawa calon istri, inget umur. Gitu kira-kira maksud mama, ayo jawab,” ujarnya kembali menekuni salad di pangkuan.
“Belum ada,” jawab Prabu.
“Bukan belum ada, abang terlalu pilih-pilih. Jangan bilang gaman ya, atau masih ada mantan yang ditunggu ya?” Tania bertanya sambil menggeser duduknya semakin dekat.
Prabu berdecak dan menjauhkan wajah Tania darinya.
“Pantang aku berharap sama mantan, yang udah lewat ya udah,” seru Prabu.
“Udah nyerah belum?” kali ini papanya yang bicara.
“Udah pah, cariin aja jodoh untuk abang. Nungguin cari sendiri, sampai ganti presiden belum tentu dapat. Tenang aja Bang, aku tahu kriteria istri idaman abang kok.”
“Sok tahu kamu.”
Asisten rumah tangga menyampaikan kalau makan siang sudah siap, Mama mengajak mereka makan dan lanjut berbincang setelah makan.
“Makan yang banyak Tania,” titah Mama. “Waktu kamu ngidam makan apapun keluar lagi. Ingatkan juga suami kamu jangan telat makan. Kamu yang hamil, tapi ngidamnya berdua.”
“Ngidam berdua?” tanya Prabu, tangannya menerima piring yang sudah diisi nasi oleh mama.
“Iya bang, jadi yang merasakan ngidam bukan aku aja. Suami aku juga. Kalau pagi dia mual kadang muntah, maunya makanan yang segar dan agak asam.”
“Mual?” tanya Prabu lagi.
“Hm,” jawab Tania. “Abang ngidam juga?”
“Tania, ngaco kamu. Abang kamu jomblo, nggak mungkin lagi ngidam.”
“Sudah, makan dulu. Kita lanjut nanti,” titah papa.
***
Ola beranjak malas dari ranjang. Merasakan perutnya bergejolak karena mual. Bukan hanya itu, kepalanya terasa berdenyut. Sudah hampir tengah hari, belum ada makanan yang masuk ke perut kalau sudah dua kali munt4h meski hanya cairan. Mulutnya terasa pahit, tidak berselera untuk makan.
Ia mengerang pelan saat ponselnya berdering, beranjak malas dan membuka selimut juga mengangkat bantal mencari ponsel. Nyatanya ada di lantai, sepertinya terjatuh.
“Ayah,” ucap Ola. Ragu untuk menjawab panggilan itu, seperti biasa ia akan dimarahi dan diminta cepat pulang karena perjodohan yang sudah diatur oleh keluarganya.
Namun, ia tidak ingin abai dan berakhir menjadi durhaka. Masih beruntung ia memiliki orangtua, di luar sana banyak anak-anak tidak mengenal dan hidup tanpa orangtua. Menguatkan hati untuk mendengarkan segala nasihat dan omelan Ayahnya, Ola akhirnya menjawab panggilan tersebut.
“Fiolaaa!” teriak Ayah di ujung sana saat panggilan tersambung.
“Nggak usah teriak juga. Ayah apa kabar? Bisnis di kampung gimana, aman?” cecar Ola berbasa-basi. Berharap emosi ayahnya akan mencair atau mungkin meluap.
“Memangnya kalau kondisi Ayah tidak baik, kamu bisa lari ke sini? Nggak ‘kan?”
Kembali menghela nafas dan mengangguk mendengar ocehan ayahnya, padahal tidak terlihat bagaimana responnya.
“Pulang, kamu harus pulang atau Ayah jemput. Ini serius Fiola,” sentak Ayah.
“Yah, aku masih mau kuliah nggak mau menikah sekarang.”
“Ck, jadi itu mau kamu. Tunggu saja, ayah pasti datang untuk jemput kamu,” tutur Ayah di ujung sana membuat Ola meringis membayangkan sulitnya mencari seseorang tanpa tahu alamat jelas.
“Aku pasti pulang ayah, tapi tidak sekarang. Kalaupun harus menikah, paling tidak dengan pria yang aku cintai.”
“Cinta bisa tumbuh seiring waktu. Pria yang ayah pilih untukmu ini orang kaya di kampung sebelah, kamu akan hidup enak. Nggak pusing dan susah harus kerja kayak sekarang, apalagi cuma jadi pembantu.”
Ola memijat dahinya. Ingin sekali mengakhiri pembicaraan itu sepihak, tapi masih berusaha untuk sabar. Tidak boleh kasar apalagi menyakiti hati orang tuanya.
“Yah, aku harus pergi nanti kita bicara lagi.”
“Mau menghindar ‘kan?”
“Maaf yah, tolong pahami situasi aku. Lain kali kita bicara lagi, semoga ayah sehat selalu. Salam untuk ibu.”
Panggilan pun berakhir, entah ayahnya akan mengumpat apa di ujung sana.
“Maaf yah, aku harus menikah dengan pria yang bisa menerima keadaanku.”
crazy up thor semangat"
anak kandung disiksa gak karuan ehh anak tiri aja disayang² gilakk
kalo maya pindah nanti sepi
. kasian a' gama kn gak ada gandenganya wk wk wk