Keputusan Bian dan Tiara untuk pindah ke Rumah Warisan Kakek di Desa Raga Pati adalah sebuah kesalahan fatal. Rumah itu ternyata berdiri di atas tanah yang terikat oleh sebuah sumpah kuno: Kutukan Arwah Tumbal Desa.
Gangguan demi gangguan yang mengancam jiwa bahkan menjadikannya tumbal darah selanjutnya, membuat mental Bian dan Tiara mulai lelah dan ingin menyerah.
"Jangan pernah mencoba memecahkan apa pun yang sudah ada. Jangan membuka pintu yang sudah terkunci. Jangan mencoba mencari tahu kebenaran yang sudah lama kami kubur. Jika kalian tenang, rumah ini akan tenang. Jika kalian mengusik, maka ia akan mengusik kalian kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
END
Energi hijau yang dipancarkan oleh Jaga mereda. Suara gemuruh Gerbang yang tertutup berhenti total. Di Situs Kuno, yang tersisa hanyalah keheningan yang damai, dan bau tanah basah yang bersih, menggantikan aroma busuk ritual Ratih.
Ratih, yang kekuatannya telah terenggut, terbaring lemas di tanah. Wajahnya yang keriput kini hanya memancarkan kekalahan. Di sebelahnya, Tongkat Jaga hancur berkeping-keping.
Tiara dengan cepat melepaskan ikatan pada Bian. Darah Bian yang membasahi altar ritual telah berhenti mengalir, dan luka sayatan di lehernya mulai menutup, dilindungi oleh energi Pawang yang dimurnikan. Tiara memeluk suaminya erat-erat, Liontin Suci di tangan mereka terasa hangat, meski retak.
"Sudah berakhir, Bian," bisik Tiara, lega. "Kita berhasil."
Ibu Dwi, yang sudah pulih dari serangan mental Makhluk Hitam, segera melepaskan ikatan yang tersisa dan mengamankan Ratih.
"Kami akan menyerahkan Ratih ke aparat penegak hukum yang sudah siap di bawah," kata Dwi, suaranya kembali tegas. "Dia tidak akan pernah menyentuh Gerbang ini lagi."
Bian memandang ke arah Jaga, ke tempat di mana ia berdiri. Jaga tidak pergi, tetapi menyatu dengan Situs Kuno itu sendiri. Tubuhnya kini menyatu dengan batu-batu purba dan akar pohon, menjadi Penjaga Abadi di tempat itu. Energi Pawang yang murni kini mengalir dari Situs, melindungi desa.
"Dia adalah Penjaga Sejati," kata Bian, menahan napas. "Dia memilih untuk menjadi bagian dari tanah ini."
Mereka membawa Rendra, yang masih pingsan, kembali ke Rumah Warna. Rendra, meskipun sukmanya sempat dicuri, kini bebas dari ikatan Ratih dan akan pulih. Bian merasakan tubuhnya terasa lebih ringan, energi itu perlahan mereda dan menghilang.
Tiga hari kemudian, Desa Raga Pati kembali hidup. Anak-anak bermain di jalan, dan kabut duka telah lenyap sepenuhnya. Aparat telah membawa Ratih dan mengevakuasi Rendra untuk perawatan psikologis lebih lanjut.
Bian dan Tiara berdiri di depan rumah warisan. Rumah itu kini terasa seperti rumah keluarga yang damai, bukan lagi sarang teror.
"Kami harus pergi, Bu Dwi," kata Bian.
Ibu Dwi, yang kini sepenuhnya percaya pada kekuatan di luar logika, mengangguk. "Terima kasih, Tuan Bian. Anda telah menyelamatkan desa ini, dan mungkin, jiwa kami semua."
"Kutukan Pawiro sudah berakhir. Ritual Ratih sudah hancur," kata Tiara, memegang tangan Bian. "Kami tidak bisa tinggal. Kami bukan Pawang Tanah. Kami adalah Pawang Ilmu."
Bian menyerahkan Liontin Suci yang retak itu kepada Tiara. Retakan di liontin itu kini bersinar lembut, menjadi simbol perjuangan dan kemenangan mereka.
"Liontin ini adalah kompas kita, Tiara. Kita harus membawa pengetahuan ini. Gerbang Pawang ada di mana-mana. Kita harus menjaganya, tanpa terikat pada tanah mana pun," jelas Bian.
Sebelum pergi, Bian kembali ke Situs Kuno. Ia berdiri di depan batu besar itu, tempat Jaga menyatu.
"Terima kasih, Jaga," bisik Bian.
Ia merasakan kehangatan yang lembut dari batu itu, sebuah balasan yang sunyi.
Beberapa bulan kemudian, Bian dan Tiara melanjutkan kehidupan mereka di kota. Ancaman terhadap keluarga Tiara lenyap, karena sumber kejahatan Ratih telah dihancurkan. Mereka hidup damai, tetapi tugas mereka sebagai Pawang Ilmu tidak pernah berhenti.
Di malam hari, Bian akan duduk di dekat jendela, memegang Liontin Suci. Ia bisa merasakan energi yang berbeda dari seluruh dunia, ilusi, ketakutan, dan potensi ancaman. Bersama Tiara, mereka menjadi Pelindung Senyap, menggunakan pengetahuan dan kepekaan mereka untuk menjaga keseimbangan.
Mereka telah melewati batas antara logika dan gaib, dan kini mereka hidup di antaranya. Cerita mereka berakhir bahagia, tetapi dunia Pawang selalu berputar.
...**********...
Di Desa Raga Pati, musim berganti. Situs Kuno, yang dijaga oleh Jaga, tampak kokoh dan damai. Namun, jauh di dalam sumur yang telah dikeringkan, jauh di dasar batu altar, sisa-sisa energi terakhir Mbah Pawiro masih berdiam, energi kebenciannya yang murni. Ditambah pengorbanan darah Ratih tanpa seorangpun yang tahu sebelum dia mengakui kekalahan. Dia hendak membangunkan sesuatu yang tidur.
Pada suatu malam yang sunyi, ketika bulan sabit tergantung tipis di atas Situs Kuno, tanah di sekitar sumur tua mulai bergetar pelan. Getaran itu begitu halus, tidak ada seorang pun di desa yang merasakannya, kecuali Jaga, yang terikat pada Situs. Jaga merasakan sakit dan pertentangan yang tiba-tiba datang dari dasar batu, tempat ia menyatukan dirinya.
Krekk...
Suara itu sangat kecil, tetapi mengandung janji kehancuran. Retakan panjang yang tipis, seperti urat nadi baru, muncul di permukaan batu altar tempat Bian diikat. Retakan itu memanjang, melintasi simbol Spiral Purba, dan menuju langsung ke dasar sumur.
Dari retakan itu, asap tipis berwarna cokelat kotor keluar. Asap itu tidak memancarkan hawa dingin, melainkan bau anyir dan api yang menyengat.
Di dalam asap itu, sepasang mata merah menyala sekilas, mata yang membawa kebencian abadi dan dendam yang tak terpuaskan.
Jiwa yang pernah Bian kalahkan, jiwa yang dianggap sudah lenyap, ternyata telah bersembunyi dan bersemayam di inti batu, menunggu kesempatan.
Sosok itu tidak mati.
Sosok itu, yang Bian yakini telah ia hancurkan, kini memanggil kembali energi Pawiro dari seluruh desa melalui retakan itu.
Retakan kecil itu terus membesar, dan diiringi suara tawa serak yang datang dari dalam tanah.
Hahahahaha...
Sosok itu akan membangunkan tubuh fisiknya di tanah yang sudah disucikan.
Ini hanyalah penundaan. Cerita Pawang Ilmu, sesungguhnya, belum benar-benar berakhir.
THE END.
sampai di bab ini, setiap baca gw cuma bisa,
"woh... wah... wah!"