Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 17.
Di antara embun pagi yang belum sepenuh nya terangkat dari muka bumi.. Kodasih berjalan menuruni jalan tanah menuju dusun akar wangi. Cahaya keemasan matahari membuat wajah mudanya bersinar, seperti cahaya dari alam lain..
Namun setiap langkah meninggalkan jejak yang tidak lazim. Jejak kaki kaki yang perlahan menghitam… lalu hilang seketika, seperti dihapus angin.
Kodasih tidak menyadarinya.
Ia terlalu sibuk menikmati ingatan yang kembali, mengulang wajah wajah yang dulu ia sayangi, suara suara yang kemarin ia khawatir telah hilang selama nya.
Warastri ..
Pardi… Sanah…
Mbok Piyah…
Warastri.. Warastri.. Tri...
Kodasih terus mengulang menyebut nama Warastri. Nama itu membuat dadanya hangat. Bibir Kodasih tersenyum merekah. .
Tapi bersamaan dengan itu, dari balik punggungnya, sesuatu berbisik:
“Dasih… kowe nggawa aku metu…”
(Dasih… kau membawa aku keluar…)
Suara itu lirih, seperti daun kering yang ditindih kaki. Kodasih berhenti. Menoleh. Tidak ada siapa siapa.
Ia menghela napas.
“Mungkin angin…” gumamnya.
Tapi itu bukan angin...
Ketika langkah Kodasih mulai mendekati batas dusun, beberapa warga yang baru keluar untuk mencari makan ternak menghentikan langkah mereka.
Mereka membelalakkan mata.
Ada yang menjatuhkan keranjang bambu.. . Ada yang langsung berlari terbirit birit kembali ke rumahnya.. Ada yang merapal doa dengan terbata bata.
“Itu itu Nyi kodasih muda?”
“Atau jin yang mengambil wajah muda Nyi Kodasih?”
Bisik bisik kembali bergejolak.
Namun berbeda dengan semalam. .. kali ini rasa takut warga bukan hanya karena perubahan sosok Kodasih yang menjadi muda dan cantik... Ada sesuatu di sekitar Kodasih yang mereka rasakan namun tidak bisa mereka lihat.
Udara di sekitarnya terasa lebih berat... Lebih dingin... Seolah sosok sosok tak kasat mata berjalan bersama diri Kodasih..
Beberapa ayam mendadak menjerit berteriak... “petok... petok... petok....” dan berlari berhamburan.
Kucing kucing desa mengeong ketakutan dan berlindung di bawah kolong kolong..
Seorang lelaki tua tiba tiba berlutut sambil menutup kepala...
“Gusti… apa sing metu saka alas iku?”
(Gusti... Apa yang keluar dari hutan itu?)
Kodasih berhenti di tengah jalan, memandang mereka.
“Aku… aku Kodasih.. jangan takut...” katanya.
Namun suara nya sendiri terdengar aneh di telinganya.. lebih bergema, lebih dalam... Seolah bukan hanya dirinya yang berbicara… melainkan ada suara suara halus yang menempel di ujung setiap kata.
Warga begidik ngeri.. yang masih di jalan dan di halaman semakin menjauh, cepat cepat berlari masuk ke dalam rumahnya dan langsung menutup pintu rapat rapat..
Kodasih berdiri terpaku, menatap laki laki tua yang yang kesulitan bangkit berdiri karena lutut tua nya gemetar ketakutan..
Dan tepat saat itu, dari bayangan Kodasih di tanah, terdengar suara menggeram pelan.
“Dasiihh… dudu awakmu dhewe tok iki…”
(Dasih… bukan hanya tubuh mu sendiri saja ini…)
Kodasih terkejut. Ia menatap ke bawah.
Bayangannya… bergerak sedikit lebih lambat darinya. Seperti ada lebih dari satu sosok di dalamnya.
Ia menutup mulutnya, ngeri.
“A… apa yang telah ikut keluar denganku…?”
“Apa roh roh yang aku tangkap bisa dilihat oleh mereka?” gumam Kodasih di dalam hati..
Kodasih segera melangkah meninggalkan tempat itu.. Ia terburu buru kembali ke joglo nya. Saat telah memasuki rumah tuanya, ia menutup pintu.
Napasnya tersengal.
Di dalam rumah, ia duduk di kursi. Dada mudanya naik turun.
Roh roh yang ia serap mulai berbisik lebih keras:
“Wis wayahe… kowe kudu caos dhahar aku kabeh…”
(Sudah waktunya… kamu harus memberi makan kami semua…)
“Kowe janji… ora ono sing gratis…”
(Kamu janji.. tidak ada yang gratis..)
“Kita keluwen… Dasih…”
(Kita kelaparan .. Dasih..…)
Kodasih memegang kepalanya dengan kedua tangannya, tubuhnya gemetar hebat...
“Aku tidak janji apa pun! Aku tidak mau mengorbankan siapa pun!” jeritnya.
Namun suara suara itu tertawa..
“Ha.... ha... ha... ha... ha...”
“Ha... ha... ha... ha... ha..”
“Hiii.... hi.... hi.... hi....”
Ruangan di dalam joglo mendadak Gelap... sinar matahari tak bisa menembus dinding kayu rapuh, dan atap rumah tua itu.. seolah ada di dalam gua batu..
Dingin menjalar di tubuh muda Kodasih..
Suara suara tanpa wajah itu terus terdengar di telinga nya..
“Kowe ora ngerti… nek sing mlebu awakmu ora kabeh roh roh milik Mbah Ranti…”
(Kamu tidak tahu, kalau yang masuk di tubuhmu tidak semua roh roh milik Mbah Ranti...)
Kodasih tersentak... kedua matanya melotot.. mulut menganga.. Nafasnya membeku.
“Ana siji… sing sejatine wis dikunci Mbah Ranti… luwih lawas… luwih peteng… luwih nggegirisi…”
(Ada satu, yang sesungguhnya sudah dikunci Mbah Ranti.. lebih kuno.. lebih gelap.. lebih berbahaya...)
Sesaat muncul bayangan di sudut ruangan dan bergeser pelan.. pelan..
Ada bentuk samar… sepasang mata merah tanpa kelopak.
Kodasih memundurkan kepalanya hingga terantuk sandaran kursi..
“Apa… apa itu…?” suara lirih Kodasih gemetar..
Bisikan itu menjawab:
“Soko alas paling njero… sing digembok karo getihe dukun sepuh…”
(Dari hutan terdalam… yang dikunci oleh darah dukun tua…)
“Lan kowe… wis ngeculke dheweke.”
(Dan kau… telah membebaskannya.)
Tubuh Kodasih langsung dingin dan lemas lunglai.. ia roboh di kursi..
Kodasih berhasil mendapatkan ingatannya. Ia berhasil mempertahankan kecantikannya. Ia mendapatkan kekuatan baru.
Tetapi ia tidak tahu, di antara banyak roh yang ia serap… ada satu yang bukan milik Mbah Ranti.
Satu entitas yang seharusnya tidak boleh... sama sekali tidak pernah dan tidak boleh keluar dari Alas Karang Pulosari.
Dan kini…
Ia tinggal menunggu waktu sebelum sosok itu mengambil alih tubuhnya.
🌑🌑🌑🌑🌑
Pada malam harinya, seluruh dusun mendengar suara aneh dari arah joglo Kodasih. Terkadang seperti suara perempuan menangis. Terkadang suara laki laki marah. Terkadang suara anak kecil tertawa tanpa alasan. Kadang semua suara itu terdengar bersamaan... Menimbulkan suara yang memekakkan telinga.
Warga dusun hanya bisa menutup pintu, mematikan lampu, dan berdoa agar malam cepat berlalu.
Sementara itu di dalam joglo. Kodasih duduk di ruang depan dengan mata terpejam. Tubuhnya dikelilingi bayangan yang bergerak liar, tidak berbentuk, saling saling tumpang tindih.
Mereka berbisik, menuntut, merintih, memberi peringatan.
Dan dari tengah kegelapan itu…
Satu suara paling jelas berkata:
“Dasih… yen kowe ora caos raga siji wae… aku sing bakal njupuk ragamu.”
(Dasih… kalau kau tidak memberikan satu tubuh… aku yang akan mengambil tubuhmu.)
Kodasih terdiam.
Air mata terus jatuh deras dari kedua matanya.
Ia sadar.
Pilihan yang ia hindari. kini kembali menghantuinya dengan cara lebih kejam.
Ia hanya punya dua jalan. Mengorbankan seseorang… atau .. diri nya sendiri akan menjadi wadah bagi makhluk yang lebih tua dari hutan itu.
Dan ia tahu…
Makhluk itu tidak akan diam selamanya.
“Sopo… sopo sing kudu tak pilih…?”
(Siapa… siapa yang harus kupilih…)
Suara Kodasih sangat lirih.. dia begitu bingung untuk memilih orang yang akan dikorbankan untuk makluk itu..
Sesaat di luar, angin berhenti.
Dan dari kejauhan terdengar suara langkah kaki seseorang mendekati joglo... langkah itu semakin terdengar jelas..
Seseorang yang tidak tahu apa yang menunggunya di dalam rumah joglo itu.
Seseorang yang mungkin tidak kembali dalam keadaan hidup hidup.. atau .....
... bersambung*)
Siapa orang yang datang itu?
yakinlah bahwa setial karya mu akan jadi
pelajaran di ambil.sisi baik nua dan di ingat sisi buruk nya
mksh mbk yu dah bikin karya yg kuar biasa
"Angin kotor " aku bacanya "Angin kolor" 🤣🤣🤣 mungkin karena belum tidur semalaman jd bliur mataku 🤣🤣🤣🤣