Sebuah cerita tentang perjuangan hidup Erina, yang terpaksa menandatangani kontrak pernikahan 1 tahun dengan seorang Presdir kaya raya. Demi membebaskan sang ayah dari penjara. Bagaikan mimpi paling buruk dalam hidup Erina. Dia memasuki dunia pernikahan tanpa membawa cinta ataupun berharap akan dicintai.
Akankah dia bisa menguasai hatinya untuk tidak terjatuh dalam jurang cinta? ataukah dia akan terperosok lebih dalam setelah mengetahui bahwa suaminya ternyata ada orang paling baik yang pernah ada di hidupnya?
Jika batas waktu pernikahan telah datang, mampukan Erina melepaskan suaminya dan kembali pada kehidupan lamanya? Atau malah cinta yang lama dia pendam malah berbuah manis dengan terbukanya hati sang suami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eilha rahmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Kakek
Erina mengerjapkan matanya, tersentak. Dering Handphone yang ada di tasnya mengeluarkan suara yang cukup menganggu.
Diraihnya tas yang sejak kemarin malam tergeletak di lantai kamar yang dingin. Lalu dikeluarkannya HP yang sejak tadi berisik itu.
'Nyonya sedang memanggil?'
Dia bergumam, membaca tulisan yang mucul di layar HPnya.
Nyonya siapa?
Sepertinya Erina masih belum sepenuhnya sadar dari tidurnya. Dia mulai mengingat-ngingat, dibiarkannya HP itu berdering berulang kali dalam genggamannya.
27 panggilan tak terjawab, dari Nyonya?
"Astaga!" Dia tiba-tiba memekik, teringat akan sesuatu. Handphone ini kan milik pria yang menabraknya kemarin lusa. Lalu ini Nyonya siapa? Apa jangan-jangan ini majikannya yang menelfon? Bagaimana ini, apa ku angkat saja tapi aku harus ngomong apa.
Erina bingung harus bagaimana, dia berfikir sebentar tapi akhirnya memutuskan untuk membiarkan saja HP itu sampai berhenti berdering dengan sendirinya. Dari pada nanti salah ngomong mending di diamkan saja. Begitu pikirnya.
Dia mengeliat, merentangkan tangannya ke kiri dan ke kanan masih terduduk di atas sofa. Kemarin malam usai dia mengganti bajunya dengan setelan piyama merah muda, dia memutuskan untuk tidur di sofa yang ada di kamar itu. Dia tidak berani lancang tidur begitu saja di tempat tidur. Lagi pula dia akan merasa lebih aman dan nyaman tidur di sofa panjang ini.
Erina melongok ke arah tempat tidur, tidak ada orang disana. Mungkin lelaki itu benar-benar tidak pulang tadi malam. Dia beringsut, membereskan selimut yang habis dia pakai semalam setelah itu menyeret kakinya menuju kamar mandi.
Suasana pagi di rumah itu terlihat begitu sibuk, para pelayan sibuk menyiapkan sarapan untuk para tuan yang ada di rumah ini. Erina duduk di meja dapur, memperhatikan setiap gerakan lihai koki yang sedang memasak.
"Selamat pagi Erina" sapa Bibi Sofi yang baru saja keluar dari ruangan.
"Selamat pagi Bibi" Seperti biasa Erina selalu tersenyum cerah, secerah mentari yang bersinar pagi ini.
"Ayo duduk di meja makan, kita sarapan dulu"
"Baik"
Erina mengikuti langkah Bibi Sofia. Sesampainya di meja makan, Erina cukup terkejut dibuatnya. Ternyata makanan sudah lengkap terhidang di meja. Sejak kapan?
Bukannya tadi mereka masih memasak, Oh mungkin mereka memasak untuk diri mereka sendiri. Mereka juga manusia, jelas harus makan.
"Erina" panggil Bibi Sofia.
"Iya, Bi"
"Kalau kamu tidak keberatan, setelah sarapan bisa ikut Bibi menjenguk kakek di rumah sakit?"
Kakek?
Oh, iya!
Kakek yang harus kuhormati kan, karenanya juga aku dan laki-laki sialan itu harus menikah.
"Erina" Suara Bibi Sofia memecah lamunan Erina.
"Eh, iya, baik Bi" Erina mengangguk setuju.
Aduh, kenapa tiba-tiba dadaku jadi deg degan ya.
"Baiklah, habiskan sarapanmu. Setelah itu kita bersiap, ya"
Erina mengangguk, lalu fokus menghabiskan makanan yang ada dipiringnya.
Selesai sarapan, Pak Tan sudah siap dengan mobilnya. Menunggu Erina dan Bibi Sofia yang sedang mengemasi keperluan untuk kakek.
Usai berkemas mereka langsung berangkat menuju rumah sakit. Mobil yang dikendarai Pak Tan melintas cepat di jalan raya. Sepanjang perjalanan Erina hanya menyandarkan kepalanya di kaca jendela. Matanya terpejam, namun pikirannya berusaha meredam semua rasa cemas yang berkecamuk hebat dalam hatinya.
Nanti aku harus bilang apa pada kakek. Aku takut salah bicara nanti, bisa-bisa cucu nya marah dan menghukumku.
Semoga kakek orang yang baik, seperti Bibi Sofia. Tapi bagaimana kalau dia malah lebih kejam dari Tuan Arga? Arrghh.... Aku takut sekali.
Erina meremas tangannya yang mulai berkeringat, perasaannya sangat tidak nyaman.
Tuhan... Selamatkan aku.
Tak terasa 35 menit sudah berlalu, Pak Tan menepikan mobil. Lalu bergegas keluar membukakan pintu penumpang untuk Erina.
Apa ini tidak terlalu berlebihan? Seharusnya Pak Tan lebih mengutamakan Bibi Sofia kan
Kenapa malah membukakan pintu untukku,
Setelah Erina turun dari mobil, Pak Tan segera berlari ke bagasi untuk mengangkut barang-barang keperluan kakek yang sudah di bawa dari rumah.
"Mari Nona" Pak Tan mempersilahkan Erina dan Bibi Sofia untuk berjalan terlebih dahulu, sedangkan dia mengikuti di belakang sambil membawa barang bawaan.
Wah, rumah sakit orang kaya memang beda ya
Erina menyapukan pandangannya kesekitar, sambil kakinya terus mengikuti langkah kaki Bibi Sofia menuju lift.
Sepertinya rumah sakit ini lebih pantas dijuluki hotel berbintang lima, gumam-gumam dalam hati Erina.
Mereka sampai di depan pintu kamar, Pak Tan sigap membuka perlahan.
Erina menelan salivanya berulang kali. Dia benar-benar nervous, pikiran liarnya mulai bermunculan menerka-nerka kejadian apa yang akan menimpanya hari ini.
"Kakek" Bibi Erina mengelus pergelangan tangan pria tua yang mulai keriput itu. Matanya perlahan terbuka "Ini Sofi, datang bersama cucu mantu kakek"
"Hheemm"
Eh! Mereka sama! Kakek dan cucunya kok bisa sama, suka menjawab hhemm, hhemm tidak jelas. Erina bergumam dalam hati
"Erina, mendekatlah" Bibi Erina menarik lengan Erina "Perkenalkan dirimu"
Apa? Aku harus ngomong apa Bibi??
"Selamat pagi kakek, apakah tidur kakek semalam nyenyak?" Erina mengelus lembut punggung tangan lelaki tua itu. "Saya Erina, istri Tuan Arga kek"
"Erina" Suara kakek terdengar sangat pelan, tangannya mengusap wajah Erina yang masih tersenyum lebar. Terlihat air mata meluncur dari sudut mata tuanya.
Sepertinya lelaki tua ini menyukaiku, sepertinya dia juga baik. Senyuman Erina semakin mengembang.
"Kakek sudah makan? Erina suapi ya kek"
Kakek mengangguk lemah. Bibi Sofia dan juga Pak Tan saling pandang namun juga bahagia. Sejak dua hari yang lalu kakek sangat susah sekali kalau di suruh makan. Tapi setelah kedatangan Erina, sepertinya hati kakek mulai luruh.
"Lekas sembuh ya kek, biar bisa cepat pulang" Celoteh Erina riang sambil memasukkan sesuap bubur hangat kemulut sang kakek.
Kakek tidak berkata sepatah katapun, hanya celoteh riang yang keluar dari mulut Erina dan beberapa kali diselingi suara tawa kakek yang sesekali terdengar. Namun, baik Bibi Sofi maupun Pak Tan merasa sangat takjub. Baru kali ini raut wajah kakek terlihat begitu bahagia.
"Kenapa aku tidak melihat Arga sejak tadi?" Kakek yang sudah selesai makan tiba-tiba menanyakan keberadaan cucunya.
"Arga masih di kantor kek" Bibi Sofia menimpali.
"Kenapa dia pergi berkerja, bukannya baru kemarin kalian melangsungkan pernikahan?"
Erina bingung hendak menjawab apa, dia yakin bekerja hanyalah sebuah alasan bagi Arga, agar dia tidak perlu melihat wajah Erina.
Sudahlah kakek, terserah maunya dia apa. Pernikahan ini dia yang memaksa kok! Kalau malah dia yang kabur, itu masalahnya bukan masalahku.
Yang penting aku sudah melakukan semua yang tertulis di dalam surat perjanjian itu.
"Suruh dia kemari secepatnya!" perintah kakek pada Pak Tan.
"Baik, Tuan Besar" Pak Tan membungkukkan badannya, kemudian berlalu pergi mungkin dia akan menelfon Arga di luar ruangan agar tidak mengganggu kakek.
Pintu belum tertutup sempurna, dua orang perawat datang bersama dua orang lainnya masuk kedalam ruangan.
"Lho, Nona paket!"
Suara laki-laki itu terdengar familiar di telinga Erina.
Dia, dia orang yang kemarin lusa menabrakku kan! Kenapa dia disini?
Erina terperangah, bingung. Bagaimana mungkin mereka bertemu dalam keadaan seperti ini?
"Kau benar Nona paketkan? Maaf aku belum tahu namamu"
"Noah, kalian sudah saling mengenal?" Bibi Sofia mengernyitkan dahinya melihat ke arah Erina yang berwajah cemas.
"Iya" Noah
"Tidak" Erina
Mereka menjawab hampir bersamaan, namun jawaban mereka sama sekali berbeda. Mengundang seribu pertanyaan di benak Kakek, Bibi Sofia, dan juga Nyonya besar yang tangannya tak lepas-lepas melingkar di lengan Noah.
.
.
(BERSAMBUNG)
kerjaan bisa di cari, kalau nyawa yang hilang mau nyari dimana 🤣🤣