Jessy, 30th seorang wanita jenius ber-IQ tinggi, hidup dalam kemewahan meski jarang keluar rumah. Lima tahun lalu, ia menikah dengan Bram, pria sederhana yang awalnya terlihat baik, namun selalu membenarkan keluarganya. Selama lima tahun, Jessy mengabdi tanpa dihargai, terutama karena belum dikaruniai anak.
Hingga suatu hari, Bram membawa pulang seorang wanita, mengaku sebagai sepupu jauh. Namun, kenyataannya, wanita itu adalah gundiknya, dan keluarganya mengetahui semuanya. Pengkhianatan itu berujung tragis—Jessy kecelakaan hingga tewas.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua. Ia terbangun beberapa bulan sebelum kematiannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepercayaan Diri Bram
Bram duduk di kursi kerjanya, mengetukkan jarinya ke meja sambil memikirkan kejadian pagi tadi. Matanya sedikit menyipit, berusaha mengingat ekspresi Jessy saat mengamuk di meja makan.
“Kenapa dia tiba-tiba berubah?”
Dulu, Jessy selalu diam dan menurut. Bahkan ketika ibunya menyindirnya habis-habisan, Jessy hanya tersenyum tipis dan menunduk. Tapi pagi ini?
Bram terkekeh kecil, menggelengkan kepalanya. "Mungkin dia cuma lagi lelah."
Ya, itu pasti alasannya. Jessy bukan orang yang suka konfrontasi. Dia terlalu cinta padanya untuk benar-benar marah.
Bram menyandarkan punggungnya ke kursi dan meraih cangkir kopinya. Sambil menyeruput sedikit, dia tersenyum tipis.
"Jessy hanya butuh waktu untuk menenangkan diri. Besok atau lusa, dia pasti kembali seperti biasa."
Lagipula, sudah berapa lama mereka menikah? Bram tahu betul bagaimana istrinya. Jessy mencintainya, mungkin bahkan lebih dari yang seharusnya.
"Dia nggak mungkin pergi dariku. Dia kan sangat mencintaiku."
Dengan penuh percaya diri, Bram meletakkan kembali cangkirnya dan mulai fokus pada pekerjaannya.
Bram baru saja kembali fokus pada pekerjaannya ketika suara langkah kaki berirama terdengar dari luar pintu kantornya. Tak lama kemudian, pintu terbuka tanpa diketuk, dan muncullah seorang wanita dengan senyum menggoda.
“Mas Bram…”
Suara manja itu menyelinap ke telinganya, mengusik konsentrasinya. Bram mendongak dari tumpukan dokumen dan mendapati Fina, sekretarisnya sekaligus istri keduanya yang ia nikahi diam-diam beberapa bulan lalu, sedang berjalan mendekatinya dengan langkah anggun.
Fina mengenakan blouse ketat berwarna merah marun yang menonjolkan setiap lekuk tubuhnya, dipadukan dengan rok pensil hitam yang menempel sempurna di pinggulnya. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, beberapa helai jatuh menutupi bahunya, membuatnya tampak semakin menggoda.
Dia melangkah semakin dekat, lalu tanpa ragu duduk di sudut meja kerja Bram, menyilangkan kakinya dengan anggun.
"Aku bosan, Mas... dari tadi kerja terus," keluhnya, suaranya sedikit dimanja.
Bram menatapnya sekilas sebelum kembali menatap dokumen di hadapannya. "Aku lagi sibuk, Fina."
Fina memajukan bibirnya, pura-pura cemberut. "Sibuk terus, sibuk terus. Aku ini istri kamu juga, lho. Masak aku cuma bisa lihat kamu di kantor begini?"
Bram menghela napas, lalu menutup dokumen yang sedang ia baca. Ia tahu Fina tidak akan berhenti sampai ia memberikan perhatian penuh padanya.
"Fina..." Bram menatapnya dengan tatapan tajam yang membuat wanita itu sedikit gemetar. "Aku tahu kamu nggak cuma datang buat ngomel karena aku kerja."
Fina tersenyum kecil, jemarinya yang lentik mulai bermain-main dengan dasi Bram. "Hmm... benar juga," gumamnya sambil mengusap kain sutra itu perlahan. "Aku kangen, Mas." ucapnya.
Sebelum Bram bisa merespons, Fina mencondongkan tubuhnya dan mencium bibirnya dengan lembut. Bram mengangkat alisnya, sedikit terkejut, tetapi ia tidak menolak.
Fina menarik diri perlahan, matanya berbinar. "Kangen banget."
Bram terkekeh kecil, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi, menikmati bagaimana Fina mulai bertingkah manja. "Kangen? Baru tadi malam kita ketemu."
"Tapi cuma sebentar," protes Fina. "Aku nggak puas."
Bram terkekeh kecil, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi, menikmati bagaimana Fina mulai bertingkah manja.
"Jadi kamu mau apa sekarang?" tanyanya, suaranya lebih rendah, lebih menggoda.
Fina mencondongkan tubuhnya lagi, memperpendek jarak di antara mereka. Aroma parfumnya yang manis langsung memenuhi udara. Ia kembali mencium Bram, kali ini lebih lama.
Saat akhirnya ia menarik diri, Fina membisikkan sesuatu di telinganya. "Aku mau lebih..."
Bram mengernyit. "Lebih apa?"
Fina menatapnya tajam, jemarinya kini menyusuri dada Bram melalui kemejanya. "Aku mau Mas segera menepati janji."
Bram menghela napas. "Janji apa?"
Fina menatapnya penuh harap. "Janji kalau aku bisa masuk ke rumah kita."
Bram mendesah, lalu mengusap wajahnya dengan satu tangan. "Sabar dulu, Fin. Jessy lagi nggak stabil hari ini."
Fina mengerutkan keningnya. "Nggak stabil? Maksudnya?"
"Pagi tadi, dia mendadak marah-marah. Bahkan sampai bikin meja makan berantakan. Aku nggak tahu kenapa, tapi sepertinya dia lagi stres."
Fina tertawa kecil, suaranya terdengar begitu sinis. "Stres? Mungkin dia mulai sadar kalau dia nggak cukup baik buat kamu, Mas."
Bram hanya menatapnya tanpa ekspresi. Fina selalu mengatakan hal-hal seperti itu tentang Jessy, dan meskipun kadang ia setuju, tetap saja ada sesuatu yang membuatnya enggan melepaskan istrinya yang pertama.
Fina menggigit bibirnya, lalu mendekatkan wajahnya ke leher Bram, membiarkan bibirnya menyentuh kulitnya dengan ringan. "Jangan terlalu lama, Mas. Aku capek menunggu."
Bram menutup matanya sejenak, menikmati sensasi yang diberikan Fina. Tangannya terangkat, melingkari pinggang ramping wanita itu, menariknya lebih dekat.
"Aku tahu kamu capek, Sayang," bisiknya, suaranya terdengar dalam dan menggoda. "Tapi kamu tahu kan, aku nggak bisa buru-buru?"
Bram menutup matanya sejenak, menikmati sensasi yang diberikan Fina. Tangannya terangkat, melingkari pinggang ramping wanita itu, menariknya lebih dekat.
"Aku tahu kamu capek, Sayang," bisiknya, suaranya terdengar dalam dan menggoda. "Tapi kamu tahu kan, aku nggak bisa buru-buru?"
Fina merengek pelan. "Aku nggak suka menunggu."
Sebagai balasannya, Bram menariknya lebih dekat dan mencium bibirnya lagi, kali ini lebih dalam. Fina mengerang pelan dalam ciuman itu, tangannya meremas kerah kemeja Bram.
Saat mereka berpisah, Fina menatapnya dengan tatapan menggoda. "Kalau aku terus merengek begini, Mas bakal luluh?"
Bram terkekeh, tangannya masih di pinggang Fina. "Mungkin. Tapi bukan sekarang."
Bram tersenyum puas. Ia menyukai bagaimana Fina selalu menunjukkan rasa ingin memiliki yang begitu kuat terhadapnya. Ia menyukai bagaimana wanita itu selalu berusaha menuntut lebih, meskipun ia tahu, pada akhirnya Fina akan selalu tunduk padanya.
Namun, ketika Fina kembali membahas masalah yang sama, nada suaranya berubah. "Kenapa kamu nggak ceraikan dia saja, Mas?" tanyanya, nadanya merajuk. "Bukankah lebih mudah kalau kamu hanya bersamaku?"
Bram yang awalnya masih tenang kini berubah ekspresinya. Sorot matanya menjadi lebih dingin, dan rahangnya menegang. Ia menatap Fina tajam sebelum akhirnya bersuara.
"Kenapa kamu selalu menanyakan itu, Fina?" katanya dengan nada rendah namun penuh ketegasan. "Aku sudah bilang, jangan bahas itu lagi."
Fina mengerutkan keningnya, merasa tidak puas dengan jawaban Bram. "Kenapa, Mas? Kamu bilang kamu mencintaiku, tapi tetap saja mempertahankan dia."
Bram menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menutup mata sejenak, seolah menahan emosi. Lalu, ia membuka matanya dan menatap Fina dengan tatapan yang sulit ditebak.
"Aku mencintai Jessy."
Fina tersentak. Ia tidak menyangka Bram akan mengatakannya dengan begitu tegas. "Apa maksudmu, Mas? Kalau begitu kenapa kamu menikahiku?"
"Kau tau, aku memang mencintaimu juga, Fina. Tapi Jessy... dia istriku sejak awal. Dia sudah ada di sisiku sebelum kamu datang." ucap Bram sambil menghela nafas.
Fina menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca, tapi ia tidak ingin menunjukkan kelemahan. "Jadi aku ini apa? Hanya pelarian?"
Bram mengusap wajahnya dengan kasar. "Bukan begitu. Aku menikahimu karena aku ingin bersamamu juga. Tapi menceraikan Jessy... itu bukan sesuatu yang bisa kulakukan."
Fina terdiam. Hatinya terasa panas. Dia mencintai Bram dan ingin memilikinya sepenuhnya, tapi sekarang ia mulai merasa seperti orang bodoh yang hanya menjadi bayangan dari istri sahnya.
Bram bangkit dari kursinya, berjalan mendekati Fina, lalu mengangkat dagunya agar wanita itu menatapnya. "Percayalah, aku akan mengatur semuanya. Tapi jangan paksa aku untuk menceraikan Jessy. Kau kan tahu dari awal."
Fina menatap Bram dengan perasaan campur aduk. Ia ingin menuntut lebih, tapi tatapan dingin pria itu membuatnya sadar bahwa Bram tidak akan mengubah keputusannya.
"Baiklah, Mas. Aku nggak akan bahas ini lagi," ucapnya dengan suara lirih, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan kekecewaan.
Bram menatap Fina yang masih berdiri di hadapannya dengan ekspresi penuh kekecewaan. Ia tahu wanita itu tidak puas dengan jawabannya, tetapi ia juga tidak bisa memberikan lebih.
Fina menatap Bram dengan perasaan campur aduk. Ia ingin menuntut lebih, tapi tatapan dingin pria itu membuatnya sadar bahwa Bram tidak akan mengubah keputusannya.
Sebagai gantinya, ia menarik kerah kemeja Bram dan mencium bibirnya dengan penuh emosi. Kali ini, ciuman itu lebih menuntut, lebih dalam, seakan ia ingin memastikan bahwa Bram benar-benar miliknya.
Bram membalas dengan sama ganasnya, menggenggam pinggang Fina erat, membiarkan emosi mereka tumpah dalam ciuman yang semakin memanas.
.mengecewakan
.maaf yah, bkin mles baca klau pov mc mah