Jessy, 30th seorang wanita jenius ber-IQ tinggi, hidup dalam kemewahan meski jarang keluar rumah. Lima tahun lalu, ia menikah dengan Bram, pria sederhana yang awalnya terlihat baik, namun selalu membenarkan keluarganya. Selama lima tahun, Jessy mengabdi tanpa dihargai, terutama karena belum dikaruniai anak.
Hingga suatu hari, Bram membawa pulang seorang wanita, mengaku sebagai sepupu jauh. Namun, kenyataannya, wanita itu adalah gundiknya, dan keluarganya mengetahui semuanya. Pengkhianatan itu berujung tragis—Jessy kecelakaan hingga tewas.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua. Ia terbangun beberapa bulan sebelum kematiannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sindiran Di Pagi Hari
Pagi yang sibuk menyelimuti rumah besar itu. Jessy sudah bangun lebih awal, tapi kali ini bukan untuk menyiapkan sarapan atau mengurus rumah seperti biasanya. Tidak, hari ini berbeda. Hari ini adalah hari di mana Fina—wanita yang selama ini menjadi selingkuhan suaminya—akan datang dan secara resmi masuk ke rumah ini.
"Ini adalah hari yang kutunggu, dimana perempuan gatel itu masuk ke kediaman ini!" ucap Jessy dalam hati dengan senyuman kecil di sudut bibir nya.
Tapi tidak seperti di kehidupan sebelumnya, Jessy tidak akan pergi menemui Chika untuk mengadu atau menangis sendirian. Tidak ada lagi Jessy yang lemah dan pasrah. Kali ini, ia akan menunggu dengan tenang, mengamati segalanya dengan mata kepalanya sendiri.
Dengan sengaja, ia membantu Bram merapikan pakaiannya—tentu saja dengan ogah-ogahan. Ia berpura-pura tidak tahu, seolah tidak ada yang akan terjadi hari ini. Sikapnya tetap tenang, bahkan ia tersenyum sesekali.
"Ada apa dengan istriku?" ucap Bram dalam hati.
Bram, di sisi lain, tampak sedikit canggung. Sepertinya ia tahu ada sesuatu yang berbeda pada istrinya, tapi tidak bisa memastikan apa itu.
"Mas, jangan lupa bilang sama mama, kalau kamu tidak keberatan dengan pembantu baru." ucap Jessy tekan suaminya.
"I...iya sayang!" jawab Bram sedikit terkejut.
Setelah semua siap, mereka keluar kamar dan menuju ruang makan.
Begitu Jessy dan Bram muncul dari bawah arah tangga dan menuju ke ruang makan, suara nyinyir langsung terdengar.
"Hm, akhirnya keluar juga," sindir Mama Ella dengan suara tajam. Ia menatap Jessy dari atas ke bawah seolah sedang menilai sesuatu yang tidak disukainya.
Di meja makan, berbagai hidangan tersaji dengan rapi. Semua masakan hasil kerja pembantu baru yang Jessy rekrut. Namun, bukannya menghargai, Mama Ella justru tampak tidak senang.
"Kamu benar-benar makin malas saja, ya, Jessy?" lanjut Mama Ella dengan nada meremehkan. "Dulu kamu yang sibuk di dapur, sekarang cuma ongkang-ongkang kaki nunggu makanan jadi."
Molly yang duduk di sebelahnya tertawa kecil. "Mungkin Kak Jessy sudah mulai sadar kalau jadi nyonya besar lebih enak. Nggak perlu repot-repot, kan?" katanya dengan nada menyindir.
Jessy tidak langsung menanggapi. Ia berjalan dengan anggun ke kursinya, duduk dengan tenang, dan mulai mengambil makanan dengan santai. Bram hanya bisa melirik ke arah istrinya, jelas terlihat ia merasa tidak nyaman dengan suasana ini.
Merasa diabaikan, Mama Ella mengangkat alis. "Jessy, kamu nggak dengar aku bicara?"
Jessy yang baru mengambil nasi dan lauk, akhirnya mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis. "Dengar, Ma. Sangat jelas, malah."
"Lalu?" Mama Ella menunggu jawaban.
Jessy meletakkan piringnya yang dari tadi masih ia pegang, dengan tenang, lalu menatap mertuanya dengan tatapan yang tajam namun tetap kalem. "Kalau Mama merasa nggak cocok sama cara aku ngurus rumah, silakan Mama yang turun tangan sendiri. Mau Mama masak sendiri? Bersih-bersih rumah juga? Aku nggak akan larang."
Molly mendengus. "Kak Jessy ini, sejak kapan Mama harus kerja di rumah sendiri? Kan udah ada kamu, menantu yang tugasnya urus rumah."
Jessy tertawa kecil. "Oh, gitu? Aku pikir aku ini istri Bram, bukan pembantu rumah tangga. Kenapa harus ngurus rumah sendirian, kalau ada kalian berdua. Bukankah kalian juga bisa berbagi tugas denganku?"
Wajah Mama Ella mulai memerah karena emosi. "Jessy, kamu benar-benar sudah berubah! Kamu nggak menghargai keluarga suami kamu sendiri!"
Jessy menopang dagunya dengan satu tangan dan tersenyum tipis. "Aku menghargai orang yang menghargai aku, Ma. Lagipula, bukannya lebih baik kalau kita punya pembantu? Rumah masih tetap bersih, makanan langsung tersedia, dan semua orang bisa makan dengan nyaman. Mama dan molly tak perlu bersih rumah dan masak, dan aku juga sama. Bukankah itu Win Win?"
Mama Ella mendecakkan lidahnya. "Wan Win Wan Win... tapi dengan uang Bram!"
Jessy mengangkat bahu. "Mas Bram sendiri nggak masalah, kan?" Ia melirik ke arah suaminya yang sejak tadi diam.
Bram terkejut karena tiba-tiba diseret ke dalam percakapan. Ia terlihat canggung, lalu mengangguk pelan. "Y-ya... selama semuanya lebih nyaman, aku nggak keberatan..."
Mama Ella mendengus kesal. "Dasar laki-laki, mudah dibodohi istri sendiri."
Bram menghela napas panjang. "Mama, sudah lah. Jangan memperpanjang masalah yang nggak perlu."
Jessy tersenyum dalam hati. Ia tahu Bram hanya berusaha menengahi. Bukan karena ia benar-benar ingin membelanya, tapi lebih karena ia ingin menghindari keributan.
Namun, itu tidak masalah bagi Jessy.
Jessy tetap tenang, ia mengambil sendok dan menikmati sarapannya tanpa sedikit pun niat untuk mengambilkan nasi dan lauk untuk Bram seperti biasanya. Kali ini, ia ingin melihat bagaimana reaksi semua orang.
Benar saja, tak butuh waktu lama sebelum sindiran kembali dilontarkan.
"Hm, biasanya rajin banget ambilin makan buat suami. Sekarang malah sibuk sendiri," ujar Mama Ella dengan nada tajam. "Gimana sih, Jessy? Itu istrimu, Bram, bukan malah makan sendiri duluan."
"Bram... beri tahu istrimu itu, kenapa ia lupa dengan hal remeh begini saja?" ucap Mama Ella kepada sang anak dengan sendirian untuk Jessy.
Jessy meletakkan sendoknya, lalu menatap mereka dengan ekspresi datar sebelum beralih ke Bram yang duduk di sebelahnya.
"Mas Bram kan punya tangan sendiri," katanya santai. "Bukan begitu, Mas?"
Bram langsung tersentak mendengar pertanyaan itu. Semua mata tertuju padanya, menunggu responsnya.
"Eh, a-aku bisa ambil sendiri. Ya... Aku ambil sendiri saja, ini mah cuma gampang saja. Tak perlu Jessy mengambilnya." jawabnya dengan canggung.
Jessy tersenyum tipis, lalu kembali melanjutkan makan. "Nah, kan? Mas Bram sendiri nggak keberatan."
Mama Ella mendengus kesal. "Jessy, kamu ini istri atau bukan? Dulu kamu selalu melayani suami kamu dengan baik. Kok sekarang jadi begini?"
Jessy menghela napas dan menatap Mama Ella dengan tatapan yang lebih tajam. "Ma, dulu aku memang melakukan semua itu. Tapi kalau Mas Bram sendiri bisa ambil makan, kenapa aku harus repot-repot?"
Molly terkekeh. "Jangan-jangan Kak Jessy lagi mau memberontak, nih?"
Jessy meletakkan sendoknya dan tersenyum miring. "Sembarangan kalau berbicara, aku hanya lelah dan aku nggak mau lagi diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri, ya anggap saja begitu."
Mama Ella semakin geram. "Jessy! Kamu ngomong apa itu?!"
Jessy tetap tenang. Ia melirik Bram sekilas, ingin melihat apakah lelaki itu akan membelanya atau tetap bersikap pasif seperti biasanya.
Namun, seperti yang ia duga, Bram hanya menghela napas panjang dan mencoba menenangkan keadaan.
"Mama, sudahlah. Ini cuma hal kecil, nggak usah dibesar-besarkan," kata Bram akhirnya.
Bram akhirnya mulai mengambil nasi serta lauknya sendiri. Suasana di meja makan terasa sedikit canggung, terutama karena perubahan sikap Jessy yang begitu mencolok sejak kemarin.
Mama Ella, yang merasa menantunya semakin keterlaluan, bergumam pelan dengan nada penuh kekesalan, "Dasar menantu nggak tahu diri... Sudah enak-enakan tinggal di rumah anakku, sekarang malah malas melayani suami sendiri..."
Jessy, yang mendengar gumaman itu dengan jelas, hanya tersenyum kecil dalam hati.