Rania Alesha— gadis biasa yang bercita-cita hidup bebas, bekerja di kedai kopi kecil, punya mimpi sederhana: bahagia tanpa drama.
Tapi semuanya hancur saat Arzandra Adrasta — pewaris keluarga politikus ternama — menyeretnya dalam pernikahan kontrak.
Kenapa? Karena Adrasta menyimpan rahasia tersembunyi jauh sebelum Rania mengenalnya.
Awalnya Rania pikir ini cuma pernikahan transaksi 1 tahun. Tapi ternyata, Adrasta bukan sekedar pria dingin & arogan. Dia manipulatif, licik, kadang menyebalkan — tapi diam-diam protektif, cuek tapi perhatian, keras tapi nggak pernah nyakitin fisik.
Yang bikin susah?
Semakin Rania ingin bebas... semakin Adrasta membuatnya terikat.
"Kamu nggak suka aku, aku ngerti. Tapi jangan pernah lupa, kamu istriku. Milik aku. Sampai aku yang bilang selesai."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCTA 30
"Kamu kenapa...?" tanya Adrasta pelan, bingung sekaligus heran.
Rania tidak menjawab. la hanya memeluk Adrasta makin erat. Hidungnya menghirup dalam aroma tubuh Adrasta, memastikan pria itu benar-benar ada di hadapannya. Aman. Selamat. Dan di saat itulah- Dengan suara yang begitu lirih... penuh emosi... pecah dan bergetar... Rania akhirnya berkata.
"Jangan pernah... jangan pernah pergi tanpa bilang apa-apa lagi, Adrasta... Aku pikir... Aku pikir kamu kenapa-kenapa... Aku pikir Rey sudah menemukanmu... Aku nggak mau kehilangan kamu."
Adrasta terdiam. Ada sesuatu di dadanya yang tiba-tiba terasa sesak, bukan karena luka, bukan karena trauma, tapi karena kalimat gadis itu. Perlahan, Adrasta meletakkan kantong belanjaan di tanah. Tangannya yang besar terangkat, membalas pelukan Rania, merengkuh tubuhnya erat. Se - erat mungkin. Seolah tidak mau melepas.
"Rania..." Suara Adrasta begitu rendah. Getir. Tapi penuh kasih. "Aku di sini... Aku nggak akan kemana-mana... Aku nggak akan ninggalin kamu, Rania. Nggak sekarang. Nggak pernah."
Dan tanpa sadar, Masih dalam pelukannya, Rania kembali bersuara kali ini lebih lirih... lebih jujur... lebih rapuh. "Aku... aku nggak tahu sejak kapan, Tapi... hatiku kayak... kayak mulai milih kamu, Adrasta."
Deg. Adrasta membeku. Jantungnya seperti berhenti berdetak untuk sepersekian detik. "Aku takut..." lanjut Rania. "Aku takut sama perasaanku sendiri. Tapi lebih takut lagi... kalau suatu hari... aku harus kehilangan kamu."
Pelukan Adrasta menguat. Dan untuk pertama kalinya, bibir Adrasta menempel pelan di puncak kepala Rania, begitu lama, begitu dalam. "Kamu nggak akan kehilangan aku, Sayang. Selama aku masih hidup, selama aku masih bisa jagain kamu... nggak akan ada yang bisa ngambil kamu dariku. Termasuk Rey."
Rania melepaskan pelukannya dari Adrasta untuk memandang wajahnya. Dengan teguh ia pun akhirnya berkata, "Aku mencintaimu, Adrasta. Aku benar benar sangat mencintaimu." ucap Rania yang secara terang terangan mengungkapkan rasa cintanya kepada Adrasta.
Detik itu dunia seolah berhenti berputar untuk Adrasta. Kata-kata Rania barusan, Pengakuan cintanya, Menyusup ke seluruh rongga dada Adrasta. Menyulut bara dalam dirinya yang sejak lama ia pendam rapat. Membakar semua logika yang selama ini coba ia tahan demi melindungi Rania. Tapi sekarang? Rania sendiri yang membuka pintu hatinya. Dan Adrasta, kehilangan kendali.
"Ulangi, Rania." Suara Adrasta serak, nyaris seperti bisikan maut di telinga gadis itu. "Katakan sekali lagi..." Rania menatapnya gugup, malu, tapi tidak lari.
"Aku mencintaimu, Adrasta." Hanya butuh sedetik bagi Adrasta untuk menarik tengkuk Rania dan merengkuh bibir gadis itu dalam ciuman yang keras, dalam, dan penuh letupan rasa.
Ciuman itu seperti luapan dari luka, rindu, cinta, sekaligus rasa memiliki yang menyesakkan dadanya selama ini. Rania terkejut-tapi tidak menolak. Sebaliknya, tubuhnya justru luluh, lebur, dan perlahan ikut membalas ciuman itu dengan sama laparnya. Adrasta benar-benar meledak.
Tangannya membungkus pinggang ramping Rania erat, mengangkat tubuh gadis itu seperti selembar kertas membawanya masuk ke dalam rumah, ke arah kamar mereka. Dengan tendangan ringan, pintu kamar tertutup kasar di belakang mereka. Nafas mereka berat. Ciuman itu masih terus berlangsung, semakin liar, semakin dalam, semakin menenggelamkan.
Rania bahkan nyaris kehilangan kekuatan di kakinya. Saat Adrasta meletakkannya perlahan di atas ranjang ia tidak segera menyentuh. Tidak tergesa. Sebaliknya, tatapan mata tajam Adrasta justru menyapu seluruh wujud Rania di hadapannya seperti mengukir setiap lekuknya dalam ingatan, seolah berkata, "Kamu milikku... hanya milikku. Aku ingin melihatmu, bukan sebagai pelarian. Bukan sebagai korban. Tapi sebagai wanita yang kucintai, yang aku singgahi seluruh jiwa dan raganya tanpa keraguan lagi," gumam Adrasta dalam desahan berat.