Season kedua dari Batas Kesabaran Seorang Istri.
Galen Haidar Bramantyo, anak pertama dari pasangan Elgar dan Aluna. Sudah tumbuh menjadi pemuda yang sangat tampan. Ia mewarisi semua ketampanan dari ayahnya.
Namun ketampanan juga kekayaan dari keluarganya tidak sanggup menaklukkan hati seorang gadis. Teman masa kecilnya, Safira. Cintanya bertepuk sebelah tangan, karena Safira hanya menganggap dirinya hanya sebatas adik. Padahal umur mereka hanya terpaut beberapa bulan saja. Hal itu berhasil membuat Galen patah hati, hingga membuatnya tidak mau lagi mengenal kata cinta.
Adakan seorang gadis yang mampu menata hati si pangeran es itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon echa wartuti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Kania
Weekend Galen memilih untuk pulang ke mansion. Selain rutinitas setiap minggu, ia pulang lantaran Arabella sendirian di mansion, ayah dan ibu mereka ada perjalanan bisnis.
Setelah kedua orang tuanya pergi, Galen masuk ke kamar, menjatuhkan dirinya di tempat tidur dengan posisi terlentang, menatap langit-langit kamar.
Drrrrt …
Galen menoleh merasakan getaran di dekatnya, membuat fokusnya teralihkan. Ponselnya bergetar, menunjukkan ada panggilan masuk. Layar ponselnya menunjukkan nama Safira. Galen memilih untuk mengabaikan panggilan juga chat dari Safira. Ia lantas memilih untuk berjalan ke balkon, tidak lupa mengambil sebatang rokok untuk menemaninya.
BRAK
"Kenapa Kakak gak bilang kalau Kakak suka sama kak Safira?"
Galen yang sedang berada di balkon dikejutkan dengan kedatangan Arabella ke kamarnya. Berdiri dengan satu tangan memegang rokok. Galen menoleh sekilas sebelum kembali menikmati batang bernikotin yang terselip di sela jarinya.
"Kakak —"
"Siapa yang bilang?" Galen menukas ujaran Arabella dengan sebuah pertanyaan.
"Kak Safira sendiri," jawab Arabella.
Galen mendengkus kesal. Ia lantas menghisap tokok dalam-dalam, mengepulkan asap berwarna putih yang terbang bersama dengan kemarahannya.
"Kak Safira tadi telepon. Dia curhat sama aku, dia sedih karena Kakak gak mau komunikasi sama dia lagi," adu Arabella. "Dia akhirnya mengatakan alasannya."
"Dia yang suruh," ucap Galen, ia membuang sisa rokok ke lantai, kemudian menginjaknya.
"Harusnya perasaan itu gak bikin persahabatan kita jadi kaya gini, Kak," ucap Arabella.
"Gak usah dibahas. Itu hanya masalalu," ucap Galen.
"Tapi, Kak —"
"Ara …."
"Oke, aku tidak akan bahas lagi."
Memang tidak seharusnya karena sebuah perasaan cinta yang bertepuk sebelah tangan, hubungan baik itu menjadi sirna, tetapi Galen terpaksa melakukan itu.
"Oh iya, Kak. Anak baru itu masih penasaran sama Kakak," ucap Arabella mengalihkan pembicaraan.
"I don't care," balas Galen tidak peduli.
"Bisa gak sih, kakak gak dingin kaya gini. Kutub es aja kalah dinginnya sama Kakak," ledek Arabella.
Galen tidak memberikan respon apapun. Ia kembali mendengar ponselnya berdering. Galen lantas kembali ke kamar, melihat ada satu pesan dari Zayn.
"Kakak pergi dulu," pamit Galen.
"Ke mana?" tanya Arabella.
"Club."
"Ikut."
"Dua tahun lagi."
"Kakak …," rengek Arabella.
"Apa?"
"Club malam itu kan milik papa. Harusnya aku bisa kapan saja masuk ke sana," protes Arabella.
"Jangan macam-macam, Ara." Galen menatap adiknya tajam.
Arabella tidak takut, ia justru terkekeh telah berhasil membuat Galen kesal.
"Kakak pergi dulu." Galen mengecup kening Arabella sebelum pergi.
"Aku ke apart kakak boleh?" tanya Arabella.
"Boleh?"
"Sama Lucyana."
Galen berhenti berjalan mendengar nama Lucyana, lantas menimang-nimang permintaan Arabella.
"Boleh?" tanya ulang Arabella.
Galen berbalik lantas menjawab, "boleh."
Setelah mengatakan kalimat itu Galen kembali mengayunkan langkah, berjalan ke garasi rumah, memilih mobil mana yang akan ia pakai. Pilihannya jatuh pada mobil Jeep berwarna hitam. Mobil besar itu semakin membuat Galen terlihat semakin gagah. Terlahir dari keluarga kaya raya, memiliki fisik yang nyaris sempurna adalah keberuntungan terbesar dalam hidup Galen. Namun sayangnya, dengan kesempurnaan yang ia miliki tidak bisa membuat Safira tunduk padanya.
Pukul dua belas malam Galen masih berada di club malam bersama ketiga temannya, menghabiskan waktu dengan minuman. Setiap weekend mereka selalu pergi ke club, terkadang pergi ke sirkuit untuk balapan. Mereka memang seperti anak nakal dan liar, tetapi ada satu hal yang baik di dalam diri mereka, mereka tidak suka free sex ataupun mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Sekali mereka melakukan itu maka habislah mereka.
Keempat pemuda itu masih mengobrol, bercanda, juga saling mengejek satu sama lain. Sampai semua itu terhenti oleh seseorang yang masuk tanpa ijin ke ruangan itu.
BRAK
"Galen"
"Anj*ng!" umpat Zayn.
Bukan cuma Zayn yang mengumpat, Sam dan Alden juga melakukan hal sama. Galen sendiri lebih bersikap acuh, tidak peduli pada perempuan yang baru saja masuk ke ruangan itu, dia adalah Kania bersama Amara, juga Gea. Ketiga perempuan itu mamakai pakaian yang sangat seksi, membuat Zayn, Sam, dan Alden mual.
Galen? Jangan ditanya seberapa malas matanya untuk sekedar melirik perempuan itu.
"Ngapain kalian ke sini?" tanya Sam tidak suka. "Kita gak terima lon*e."
Zayn, Alden tertawa terbahak-bahak, tapi tidak dengan Galen. Laki-laki dingin itu hanya mengukir senyuman sinis.
Kania menggeram dengan kedua tangan mengepal kuat, tidak terima dengan perkataan juga perlakuan teman Galen itu.
"Aku ke sini untuk Galen, tidak ada urusannya sama kalian!" geram Kania.
"Emang dasar perempuan tidak tahu malu! Sudah ditolak ribuan kali masih aja ngejar," ejek Alden. "Gak ada capenya. Kita yang lihat aja cape."
"Dia kan memang sudah gak tahu malu. Orang dia sudah kenal akrab sama yang namanya malu," ucap Sam nyeleneh mengundang rasa Zayn dan Alden.
"Mending kamu sama tuh dua antek-antek kamu pergi. Lagian Galen gak suka barang bekas, dia lebih suka barang yang masih tersegel," ucap Zayn terkesan sedang menghina Kania.
"Sana pergi main sama sugar daddy kamu," imbuh Sam.
"A-pa maksud kalian?" tanya Kania pada Zayn sambil menahan kesal, tetapi dari nada bicaranya Kania terlihat gugup.
"Kamu tahu maksud ucapanku, bicth. Mau kami tunjukin bukti kalau kamu itu ani-ani," ucap Alden.
Galen memilih diam, menikmati perdebatan ketiga temannya dengan Kania. Semua yang ketiga temannya menang benar, tidak sulit bagi mereka mendapatkan informasi siapa pun yang mereka mau.
"Sudah dengar, 'kan? Pergi sekarang atau mau di paksa?" Suara Galen memang pelan, tetapi mampu membuat siapa pun yang mendengar merasa merinding. Belum lagi sorot matanya yang tajam, mampu mengintimidasi setiap orang.
Tetapi Kania tidak bisa mundur, sebab ada rencana yang harus ia lakukan dan Kania merasa saat itu adalah kesempatan baginya. Kania tersenyum miring lantas memasang ekspresi polos.
"Tapi Galen …."
Kania menjatuhkan dirinya di pangkuan Galen, membuat Zayn, Sam, dan Alden geram.
"Dasar perempuan gak punya malu!" maki Zayn lantas berdiri, ia ingin menarik Kania dari pangkuan Galen tetapi dihentikan oleh Galen.
Melihat itu, Kania tersenyum penuh kemenangan. "Lihat, Galen saja tidak menolak. Kenapa kamu yang repot?"
"Bangun!"
Tawa Kania memudar mendengar perkataan Galen, kini Zayn yang mengukir senyum penuh kemenangan.
"Gal —"
"Kamu tidak tuli, 'kan? Bangun!" perintah Galen, suaranya pelang tetapi penuh tekanan.
"Gal--argrht!" Perkataan Kania terhenti karena Galen mencengkram lehernya. Hampir saja lehernya terbakar oleh rokok yang ada di tangan Galen.
"Perempuan sampah kaya kamu gak pantas berada dalam satu ruangan dengan kami." Galen berdiri tanpa aba-aba membuat Kania jatuh ke lantai. Hal itu mengundang tawa ketiga temannya. "Keluar!" bentak Galen.
Kania langsung beringsut mendengar suara keras Galen. Ia lantas buru-buru keluar bersama dua temannya.
"Ini gila, Galen benar-benar mengerikan!" ucap Amara.
"Tapi kamu dapat fotonya, 'kan?" tanya Kania sambil menetralkan napasnya.
"Dapet dong." Amara menunjukkan foto yang diambilnya secara diam-diam, foto dimana Kania sedang duduk di pangkuan Galen.
"Good." Kania tersenyum puas. "Lihat saja dua bocah itu akan aku buat tidak berkutik."