Bismarck telah tenggelam. Pertempuran di Laut Atlantik berakhir dengan kehancuran. Kapal perang kebanggaan Kriegsmarine itu karam, membawa seluruh kru dan sang laksamana ke dasar lautan. Di tengah kegelapan, suara misterius menggema. "Bangunlah… Tebuslah dosamu yang telah merenggut ribuan nyawa. Ini adalah hukumanmu." Ketika kesadarannya kembali, sang laksamana terbangun di tempat asing. Pintu kamar terbuka, dan seorang gadis kecil berdiri terpaku. Barang yang dibawanya terjatuh, lalu ia berlari dan memeluknya erat. "Ana! Ibu kira kau tidak akan bangun lagi!" Saat melihat bayangan di cermin, napasnya tertahan. Yang ia lihat bukan lagi seorang pria gagah yang pernah memimpin armada, melainkan seorang gadis kecil. Saat itulah ia menyadari bahwa dirinya telah bereinkarnasi. Namun kali ini, bukan sebagai seorang laksamana, melainkan sebagai seorang anak kecil di dunia yang sepenuhnya asing.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Akihisa Arishima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Monster Stampede
Seminggu setelahnya, ketika sore menjelang malam, suasana di desa Fischerdorf terasa hening bagaikan ketenangan sebelum badai. Langit mulai memerah di ufuk barat, tetapi ketegangan perlahan menyelimuti udara. Tiba-tiba, dari arah timur—desa tetangga—kawanan hewan-hewan liar berlarian tak tentu arah, menandakan ada sesuatu yang mengusik mereka.
Seraphina berdiri di beranda rumahnya, jantungnya berdegup kencang. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Sebagai mantan petualang, instingnya berteriak keras—bahaya besar sedang mendekat.
"Ini... ini bukan pertanda baik," gumamnya sambil mengepalkan tangan. "Akan ada serangan."
Tak butuh waktu lama, firasatnya menjadi kenyataan.
Dari kejauhan, suara langkah kaki kasar dan raungan liar menggema, mengguncang udara senja yang hening. Bayangan-bayangan bengkok mulai bermunculan dari balik pepohonan. Goblin-goblin itu jauh lebih mengerikan dari yang dibayangkan—kulit mereka kehijauan dan kasar bak kulit kayu, dengan otot-otot yang menggembung tak wajar. Mata mereka bersinar merah menyala, penuh kebuasan haus darah. Gigi tajam mencuat dari rahang mereka yang ternganga lebar, meneteskan liur bagaikan binatang buas yang lapar.
Sebagian mengenakan baju besi usang dan berkarat, sementara yang lain membawa senjata primitif—kapak besar dengan noda darah kering, tombak kasar, hingga belati bergerigi. Beberapa goblin yang lebih besar memiliki tanduk kecil di dahinya, menandakan status mereka sebagai pemimpin kelompok. Dengan gerakan liar dan cepat, mereka menyerbu keluar dari hutan.
Lonceng tanda bahaya berdentang nyaring, memecah keheningan dan menyeret semua orang ke dalam kenyataan yang mengerikan—malam ini, desa Fischerdorf akan menjadi medan pertempuran hidup dan mati.
"GOBLIN!!" teriak seorang penjaga di menara pengawas.
Kepanikan segera menyebar. Warga desa berhamburan ke jalan, sebagian mencari perlindungan sementara yang lain memeluk keluarga mereka dengan ketakutan. Tangisan anak-anak bercampur dengan suara para ibu yang memanggil-manggil orang tercinta.
Seraphina bergegas ke tengah kerumunan, suaranya menggelegar meskipun hati kecilnya ikut diliputi kekhawatiran. "SEMUA TENANG!" teriaknya, mencoba menguasai situasi. "Berkumpul di halaman rumahku! Kita akan mengamankan kalian di sana!"
Hans, yang berada di sisi Seraphina, segera menyiapkan surat darurat. Dengan tangan gemetar, ia menuliskan permohonan bantuan kepada tuannya, Heinrich.
"Kita butuh bala bantuan secepat mungkin," gumamnya sembari menggulung surat itu dan mengikatnya pada kaki seekor elang terlatih. "Terbanglah secepat angin..." bisiknya sebelum melepaskan elang itu ke udara.
Anastasia dan Katarina melangkah keluar dari rumah dengan wajah penuh kewaspadaan. Di tangan mereka tergenggam senjata—Mauser C96 yang berkilat di bawah cahaya senja. Udara terasa tegang, suara lonceng darurat masih menggema di seluruh penjuru desa.
Dengan gerakan terlatih, Anastasia menyerahkan dua pistol Mauser kepada Seraphina dan Hans. Tatapannya tajam dan penuh keyakinan.
"Gunakan ini hanya jika keadaan benar-benar genting, Ibu… Paman Hans," ucapnya tegas, suaranya menusuk di tengah riuh rendah kepanikan.
Hans menerima pistol itu, menimbang beratnya di tangan dengan ekspresi serius. "Terima kasih, Nona… Senjata ini akan sangat membantu," ujarnya mantap.
Seraphina memandangi senjata di tangannya dengan ragu. Meski ia pernah menjadi petualang, senjata seperti ini terasa asing dan mematikan. "Apa kau yakin, putriku? Bukankah ini senjata berhargamu?" tanyanya dengan nada khawatir.
Anastasia tersenyum tipis, berusaha menenangkan ibunya. Dengan santai, ia mengeluarkan pistol Mauser miliknya sendiri dari sarung di pinggangnya. "Jangan khawatir, Bu. Aku sudah membuat beberapa pucuk lagi. Ini bukan satu-satunya," jelasnya.
Pistol yang ia berikan adalah senjata baru—barang pesanan khusus yang tiba beberapa bulan lalu, dibawakan oleh August dan para pengawalnya dari kota Drachenburg. Senjata ini menjadi bukti bahwa Anastasia telah mempersiapkan segala kemungkinan.
Sementara itu, Katarina kembali setelah memastikan adiknya dititipkan kepada seorang warga yang dipercaya. Ia menoleh ke arah Anastasia, suaranya tegas namun mengandung kecemasan.
"Nona Anastasia, kita harus memastikan semua penduduk mengungsi ke tempat aman sebelum goblin mencapai desa," ucapnya, mata birunya memancarkan tekad.
Anastasia mengangguk, menatap ke arah gerombolan goblin yang mulai mendekat di kejauhan. "Ya. Kita harus bergerak cepat."
Dengan pistol di tangan dan semangat juang yang berkobar, kedua gadis itu bersiap menghadapi ancaman yang mendekat—seperti dulu, sebelum mereka bereinkarnasi. Di medan perang, mereka pernah berdiri bersama di atas kapal yang sama, dan kini, di kehidupan baru ini, mereka kembali berdiri berdampingan untuk melindungi apa yang berharga.
Hans, yang tengah sibuk mengatur para kesatria, mendekat dengan wajah serius. "Nyonya Seraphina, saya sarankan agar penduduk segera dipindahkan ke wilayah Nyonya Gertrud di sebelah barat. Lokasinya cukup jauh dari jalur pergerakan goblin. Saya juga sudah menyiapkan beberapa kesatria untuk mengawal mereka dengan aman," ucapnya tegas.
Seraphina mengangguk pelan, meski kekhawatiran masih terpancar di wajahnya. "Baik, Hans. Kita tidak bisa membiarkan mereka tetap di sini dengan bahaya yang semakin mendekat. Tolong pastikan mereka berangkat secepat mungkin dan jaga keselamatan mereka," ucapnya, suaranya tegas namun lembut.
Dengan cepat, Hans berlari menuju para kesatria dan memberi perintah tegas untuk segera berangkat serta mengawal warga. Di tengah kepanikan, mereka mulai memandu keluarga demi keluarga menuju tempat perlindungan. Suara tangisan anak-anak bercampur dengan doa lirih para ibu, mengiringi gemerincing senjata yang disiapkan. Ketegangan menyelimuti udara saat langkah kaki para pengungsi bergema di jalanan desa yang mulai gelap.
Anastasia memeriksa perlengkapannya—dagger di pinggang sebelah kiri dan pistol Mauser di sisi lainnya. Ia menghitung jumlah peluru dengan cermat, memastikan semuanya cukup. Setelah merasa yakin, ia menoleh ke arah Katarina yang telah bersiap dengan pistol di tangannya, sorot matanya penuh kewaspadaan.
"Ingat," ucap Anastasia dengan suara tegas, matanya memancarkan tekad. "Kita bukan hanya dua gadis biasa di dunia ini. Kita adalah prajurit."
Katarina tersenyum tipis, meski hatinya berdebar keras. "Dan seperti dulu, aku akan selalu berdiri di sisimu, Laksamana."
Mereka berdua melangkah ke garis pertahanan, siap menghadapi kegelapan yang datang menghampiri. Malam ini, di bawah langit yang mulai menghitam, mereka kembali bertarung—bukan di lautan, tetapi di tanah yang kini mereka sebut rumah.
Suara gemuruh yang semakin mendekat membuat bulu kuduk Anastasia dan Seraphina meremang. Keduanya refleks menggerakkan telinga mereka, menangkap suara langkah kaki berat yang mengguncang tanah. Tidak butuh waktu lama hingga pemandangan mengerikan itu muncul di depan mata—ratusan goblin menerjang pagar desa yang rapuh. Kayu-kayu penahan berderak keras, hingga akhirnya roboh dihempas kekuatan monster-monster liar itu.
"Astaga… jumlah mereka…" gumam Katarina, suaranya tercekat melihat lautan makhluk hijau itu membanjiri gerbang desa.
Mata Seraphina menyipit, menghitung kasar jumlah musuh yang bergerak. "Setidaknya ada lima ratus ekor… termasuk beberapa hobgoblin, mage goblin, dan petarung goblin di antara mereka," ujarnya dingin. "Mereka sudah berkembang biak dengan cepat di dekat perbatasan."
Salah satu petualang menggertakkan giginya, jari-jarinya mencengkeram gagang pedang erat. "Lima ratus ekor... Dengan jumlah kita yang hanya sepuluh orang, ini bukan pertempuran yang mudah."
"Kita tidak bisa membiarkan mereka menembus lebih jauh," Seraphina menambahkan, suaranya tetap tenang meskipun situasinya begitu menegangkan. "Jika mereka masuk ke desa, maka semuanya akan berakhir."
Hans, yang berdiri di dekat Seraphina dan Anastasia, menyapu pandangan ke arah kawanan goblin. "Kelompok pertama warga sudah bergerak ke tempat aman. Tapi, jika goblin-goblin itu mengejar, mereka tidak akan punya kesempatan bertahan."
Katarina mengokang pistolnya, berdiri di belakang dua mage yang mulai merapal mantra. "Kalau begitu, kita harus menahan mereka di sini."
Anastasia melirik Katarina sesaat, memastikan gadis itu siap. "Kau fokus di garis belakang. Lindungi mage dan support. Jangan biarkan mereka mendekat."
"Dimengerti, Nona Anastasia!" jawab Katarina mantap.
Seraphina melangkah maju, matanya tajam mengamati pergerakan musuh. "Hobgoblin adalah pemimpin mereka. Jika kita bisa menjatuhkan mereka lebih dulu, kawanan goblin akan kehilangan formasi dan menjadi kacau."
"Semua orang, dengarkan aku!" suaranya lantang, menembus gemuruh pertempuran. "Kita mungkin kalah jumlah, tapi kita tidak akan mundur! Bertarunglah untuk keluarga kita, untuk desa ini—jangan biarkan mereka melewati garis ini!"
Para ksatria dan petualang yang tersisa merespons dengan sorakan semangat, meskipun wajah mereka tegang di hadapan gelombang goblin yang semakin mendekat.
Anastasia melirik Seraphina dari samping, terkesan dengan karisma alami yang di pancarkan oleh ibunya itu.
"Formasi segitiga! Mage di tengah, petarung di depan, support di belakang!" perintah Seraphina cepat dan tegas. "Kita fokus pada hobgoblin dulu! Mereka otak dari gerombolan ini!"
Hans yang berdiri di samping Katarina mengangguk dan berteriak kepada yang lain. "Dengar perintah Nyonya Seraphina! Bentuk formasi sekarang juga!"
Dalam hitungan detik, kelompok kecil mereka bergerak cepat membentuk formasi bertahan. Mage mulai merapal mantra, petarung di garis depan mengangkat senjata mereka, sementara support bersiap memberikan bantuan dan penyembuhan.
Dari sisi timur, hobgoblin lain melangkah maju, kapaknya terangkat tinggi. Raungan haus darahnya membakar semangat pasukan goblin di belakangnya.
Seraphina mencengkeram gagang pedangnya lebih erat, lalu memusatkan mana di seluruh tubuhnya. "Katarina, tembak kakinya!"
"Dimengerti!" Katarina membidik dengan tenang, menarik pelatuk pistolnya. Dor! Dor! Dua peluru melesat cepat, menghantam lutut hobgoblin dan membuat makhluk itu limbung.
Inilah saatnya.
Dengan kecepatan luar biasa, Seraphina melompat ke depan. Udara di sekitarnya bergetar, kilatan mana membungkus pedangnya. "Kau pikir bisa menyentuh desa ini? Bermimpilah!"
Dalam satu tebasan bertenaga, ia mengiris leher hobgoblin itu hingga kepala besar makhluk itu terpisah dari tubuhnya. Darah hijau menyembur deras di udara.
"Hebat…" gumam Hans takjub.
Namun, Seraphina tidak berhenti di situ. Ia berbalik dengan gerakan gesit, memotong dua goblin yang mencoba menyerangnya dari samping. "Anastasia, di sisi kirimu!"
Anastasia bereaksi cepat, menembakkan peluru tepat di mata goblin yang melompat ke arahnya.
Sementara itu, salah satu mage selesai merapal mantra besar. "Api penghancur, melahap semua yang jahat—Flame Burst!"
Ledakan api raksasa menyapu puluhan goblin di garis depan, membakar mereka hingga menjadi abu. Beberapa hobgoblin yang tersisa menggeram marah, tapi formasi bertahan mereka mulai goyah.
"Kita mulai mendesak mereka!" seru Hans penuh semangat.
Seraphina mengacungkan pedangnya tinggi-tinggi. "Jangan beri mereka waktu untuk mundur! Hajar mereka sampai habis!"
Anastasia menembakkan sisa pelurunya, kemudian mengganti magazine dengan gerakan cepat. Terkadang, ia juga menggunakan daggernya untuk menebas musuh yang mendekat. Katarina tetap di belakang, menembak dengan akurat untuk melindungi mage dan support.
Seraphina bergerak seperti badai di medan pertempuran, setiap tebasannya membelah goblin yang berani mendekat. Ia memimpin dari depan, menjadi kekuatan pendorong yang menjaga moral pasukan tetap tinggi.