Seorang pemuda tanpa sengaja jiwanya berpindah ke tubuh seorang remaja di dunia lain. Dunia dimana yang kuat akan dihormati dan yang lemah menjadi santapan. Dimana aku? Itulah kata pertama yang diucapkannya ketika tiba di dunia yang tidak dikenalnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mdlz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedelapan
Mendapati pertanyaan dari ayahnya yang kebingungan dari semua orang yang berada disana. Arsa tidak bisa menahan senyum di wajah tampannya, dia memasang mimik geli saat melihat ekspresi kedua orang tuanya.
“Hahaha…,” Arsa tertawa riang, memberikan jawaban yang menurutnya bisa menyakinkan. “itu karena Rumput Awan Merah. Kekuatanku kembali ke Tahap Pembentukan Tubuh tingkat Kedua. Dan tanpa sengaja menerobos ke tingkat Kelima.”
“Tanpa sengaja? Tanpa sengaja bagaimana?” desak Wahyu Nugraha, masih sulit untuk mempercayai perkataan dari putranya itu.
Arsa masih tersenyum, berkata lain untuk mengalihkan pembicaraan. “Ayah, ibu, aku juga berburu beberapa binatang buas. Bahan-bahan yang berharga sudah aku jual, sebagaian dagingnya aku bawa pulang untuk persediaan dirumah.”
“Ayo! hari ini kita makan daging. Kebetulan aku mendapat daging rusa yang istimewa. “Imbuh Arsa sembari menoleh kearah adik perempuannya.
“Benarkah? Horeee.. kita makan daging..,” Teriak Lita dengan gembira.
Arsa lalu mengeluarkan daging Rusa Tanduk Tunggal. Daging Rusa ini mengandung energi alam yang cukup melimpah. Dapat memperkuat tubuh dan memperlancar peredaran darah.
“Kamu mendapat daging Rusa Tanduk Tunggal sebanyak ini?” seru Wahyu dengan takjub.
Romo juga bertanya dengan penasaran. “Tuan muda, apakah Tuan Muda masuk ke area pinggiran perbatasan?”
Pasalnya, semua orang tahu, bahwa binatang buas Rusa Tanduk Tunggal tidak ditemukan keberadaanya di area pinggiran Dalam. melainkan di area pinggiran perbatasan, kawasan yang lebih dalam dari Hutan Kegelapan.
Arsa tersenyum, mengangguk dan menanggapi. “Hanya kebetulan masuk sedikit.”
Mendengar jawaban Arsa, Romo terdiam, Ayunda mengerjapkan mata, Wahyu Nugraha tercengang. namun mereka tidak bisa berkata-kata dan hanya bisa menghela napas panjang.
*
Segera semua orang sibuk dengan kegiatan masing-masing, mempersiapkan makan malam. melihat ibunya sibuk menyiapkan bumbu yang dibutuhkan. Arsa menghampirinya di ruang dapur.
“Bu, mulai sekarang, ibu tidak boleh lagi bekerja keliling seperti sebelumnya. aku berburu banyak binatang buas, beberapa koin emas yang aku peroleh, aku rasa cukup untuk kebutuhan ibu dan Lita. “Ujar Arsa sambil mengeluarkan sekantung koin emas dari tas ruang.
“Hei! Banyak sekali!” Seru Ayunda dengan takjub, menatap koin emas dan wajah Arsa secara bergantian.
“Lumayan, aku punya cara untuk menjebak beberapa binatang buas, sehingga hasil buruannya cukup memuaskan. “Jelas Arsa sambil menyerahkan koin emas itu kepada ibunya.
“Tapi..” sebelum Ayunda menyelesaikan kalimatnya, Arsa langsung menyela.” tidak ada tapi, Bu! Ibu adalah Ibuku, bukan Ibu orang lain. Tidak boleh ada yang merendahkan ibu lagi mulai hari ini. Ibu percaya saja padaku?”
Melihat tatapan tegas putranya, tanpa sadar, bulir air mata mengalir di pipi Ayunda. Wanita paruh baya ini langsung memeluk putranya dengan sangat erat. “Ibu percaya! Ibu sangat percaya! Terima kasih, Nak! Terima kasih.
“Ibu adalah segalanya bagiku, “bisik Arsa dengan gigi terkatup, ada penekanan dari setiap kata yang terlontar.
*
Melihat Arsa sudah mendekat ke tempat pemangganan daging, Lita pun beranjak. Tangan kecil ini menarik tangan kakaknya, berceloteh riang bak burung yang berkicau di pagi hari.
Selang beberapa saat, semua hidangan telah siap di meja makan. Semua orang duduk di meja yang sama, termasuk dengan Romo yang sudah dianggap sebagai anggota keluarga.
Meskipun seorang kepala pelayan, Romo bukanlah orang lain bagi Wahyu dan keluarganya. Pria ini sudah dianggap sebagai keluarga sendiri, tidak ada perbedaan perlakuan terhadapnya.
Selesai santap malam, Arsa berkata pada ayahnya. “Ayah, aku masih memiliki Rumput Awan Merah, dua rumpun ini untukmu.”
“Mungkin Ayah bisa menerobos ke Penyempurnaan Qi tingkat Ketujuh.” mengatakan itu, Arsa mengeluarkan dua rumpun Rumput Awan Merah dan meletakkannya diatas meja.
Semua orang memandang takjub. Wahyu tidak bisa tidak berseru, “ Arsa, kamu benar-benar menemukan harta karun! Jika dijual, ini harganya bisa ribuan koin emas.”
“Ayah, jangan menjualnya! serap elixir ini untuk Kultivasi Ayah! Aku sudah memberi Ibu koin emas untuk kebutuhan kita. “Sanggah Arsa atas ucapan ayahnya.
Wahyu terdiam, menoleh kearah Ayunda, dan mendapati Ayunda menganggukkan kepala, sebagai konfirmasi atas apa yang dikatakan oleh Arya.
Mengeluarkan dua rumpun Rumput Awan Merah lagi, Arsa kembali berkata. “Ini masih ada dua, untuk Ibu satu rumpun, dan untuk Paman Romo satu rumpun.”
Sebelum ada tanggapan, Arsa sudah mengeluarkan sekantung koin emas dari tas ruangnya, dan menyerahkannya kepada Romo, “Paman, ini untuk Paman dan Keluarga, semoga bisa membantu kebutuhan Paman.”
Romo terdiam, tercengang untuk beberapa saat. Romo berusaha menolak, “Tuan Muda, saya tidak berani. Ini terlalu banyak—“
“Paman adalah keluargaku juga.” sela Arsa memutus perkataan Romo, lantas melanjutkan. “kebetulan aku mendapatkan hasil buruan yang cukup bagus dalam dua hari terakhir. Jadi, hasil yang aku peroleh, pastilah untuk keluargaku.”
Romo menelan ludah dengan tidak percaya. menoleh kearah Wahyu, yang kini tampak menganggukkan kepala sambil tersenyum. Melihat respon ini, Romo bangkit dari duduknya.
Berdiri dan hendak berlutut, namun di tahan oleh Arsa.” Paman, Paman adalah Pamanku. Orang yang selalu hadir untuk Ayahku, untuk Ibuku, dan juga untuk adikku dalam kondisi apapun.”
“Paman bukanlah orang lain bagiku. Status kepala pelayan hanyalah sebuah nama dan status dalam pekerjaan. Dan itu tidak berarti Paman harus berlutut kepada yang lebih muda sepertiku.” imbuh Arsa, membuat suasana semakin hening.
Wahyu Nugraha dan Ayunda saling memandang. Mereka merasa bahwa putranya jauh lebih dewasa dari sebelumnya. Bahkan ketika berucap, sikapnya selalu tenang dan menyakinkan.
‘Dia putraku, dia adalah putaku, Arsa adalah putraku.’ gumam Ayunda di dalam hati, merasa sangat bangga terhadap putranya itu. Tanpa disadari, apa yang dipikirkan Ayunda, adalah senanda dengan apa yang dipikirkan oleh Wahyu Nugraha.
“Terima Kasih, Tuan Muda,” sahut Romo dengan anggukan kepala.
“Kakak, semua mendapat hadiah. Lalu, bagaimana denganku?” Protes Lita sambil menggembungkan kedua pipinya.
“Oh, iya! Kakak lupa!” kelakar Arsa dengan menepuk dahinya sendiri, seolah telah melupakan sesuatu.
“Kakak!” sahut Lita dengan sangat kesal, kedua pipinya semakin menggembung, membuat semua orang tertawa melihat tingkah lucu gadis kecil itu.
“Ini! setelah meyerap satu, konsolidasikan dulu dan berlatih. Jika kultivasimu sudah stabil, serap yang kedua, ulangi langkah pertama dan serap yang ketiga, keempat dan kelima.” bersamaan dengan ucapanya, Arsa mengeluarkan lima Daun Tumpang Lawang kepada adiknya.
Semua orang yang hadir kembali terkejut, jenis tanaman obat yang dikeluarkan oleh Arsa saat ini juga tergolong langka, bahkan bisa dibilang sudah tidak ada lagi di temukan di pasaran.
Meskipun mereka membobol rumah harta karun sebuah distrik, atau bahkan kerajaan Elanor sekalipun, tidak mungkin akan menemukan tanaman obat yang dikeluarkan oleh Arsa.
Keberuntungan macam apa yang telah diperoleh putranya? Itulah pertanyaan yang berputar di kepala Ayunda dan Wahyu saat ini, itu pula yang menjadi pertanyaan dari benak Romo yang tidak jauh disana.
“Ingat! Jangan beritahu siapa pun tentang tanaman obat ini! Nanti akan menjadi masalah. “peringat Arsa pada semua orang.
Semua orang mengangguk setuju, termasuk dengan Lita. Tetapi gadis kecil ini langsung bergerak, menyambar tanaman obat yang masih berada di tangan kakaknya.
Mencium pipi kiri kakanya itu sebentar, Lita berlari kecil menuju kamarnya seraya berteriak. “Terima kasih kak, Kakak memang yang terbaik.”
***
Keluarga Bohim.
“Terima kasih atas kerja keras anda, Patriak Bohim, “ucap Telu Limo, tersenyum puas. Dia adalah seorang Tuan Muda dari salah satu keluarga terkemuka.
“Oh tidak, Tuan Muda. Orang tua ini hanya dengan tulus membantu kepentingan Tuan Muda. “Balas Iwan Bohim sedikit membungkuk, senyum indah menghiasi wajah keriputnya.
“Hmm…” Telu Limo terdiam sejenak, lalu berkata. “baiklah. Mulai bulan depan, lima puluh persen suplai kapas untuk distrik Florence akan kuserahkan padamu.”
“Yang penting anak itu sudah lenyap dari muka bumi. Sehingga tidak ada lagi yang mengangguku untuk mendapatkan cintanya Mei-Mei. “lanjut Telu Limo sembari melipat kedua tangan di belakang punggung.
Mendengar apa yang diucapkan Telu Limo, Iwan Bohim, Sang patriak Bohim ini langsung tersenyum sumringah, seakan dirinya sedang melayang di udara hingga sampai kelangit ketujuh.
Betapa tidak, jika hal ini terus berlanjut hingga kurun waktu satu tahun saja, maka diperkirakan Keluarga Bohim akan melambung menjadi keluarga kelas satu di kota Dreams.
Penasaran, Iwan Bohim memberanikan diri untuk bertanya. “Tuan Muda sedang mendekati Mei-Mei , anak dari Keturunan Tionghoa dari Ibukota itu?”
Telu limo mengangguk, senyum bangga terlihat jelas dari wajahnya. Seolah dirinya adalah sosok yang paling pantas mendapatkan gadis cantik yang dimaksud.
Keluarga Limo merupakan keluarga kelas satu dan teratas di Kota Dreams. Bahkan keluarga ini juga merupakan keluarga terkemuka di kota Distrik Florence.
Hampir tiga puluh persen perdagangan Distrik Florence dikuasasi oleh keluarga Limo, Salah satunya adalah usaha pengadaan kain dan bahan baku kapas.
Sedangkan Mei-Mei, gadis ini merupakan salah satu Nona Muda keluarga Sutoyo, Keluarga teratas di Kota Distrik Florence. Bahkan Keluarganya memiliki hubungan baik dengan pihak kerajaan Elanor.
Sebagai Keluarga Terkemuka yang memiliki puluhan hektar ladang yang khusus digunakan untuk menanam padi, pihak kerajaan Elanor tentu saja harus bekerja sama dengan keluarga Sutoyo. Paman Mei-Mei pun di angkat sebagai pejabat dikerajaan Elanor. Sehingga Telu Limo berpikir, Jika berhasil menikahi Mei-Mei, maka Distrik Florence akan berada di bawah kekuasaanya, yang tidak menutup kemungkinan akan merambah ke Ibu Kota Kerajaan.
Akan tetapi, rencana Telu Limo mendapat batu sandungan dari seorang pemuda. Yang tidak lain dan tidak bukan, pemuda itu adalah Arsa. Pasalnya, dua tahun yang lalu, Mei-Mei sempat berkunjung ke Kota Dreams.
Selama tiga bulan penuh, gadis itu tinggal di kota kecil ini guna mempelajari tanaman obat. Dan sebuah kebetulan, usaha keluarga Nugraha sangat sesuai dengan tujuan kunjungan Mei-Mei. Membuat kehadiran gadis ini cukup intens di lingkup Keluarga Nugraha.
Selama kunjungan itu, Mei-Mei terlihat akrab dengan Arsa. Bahkan acapkali memuji Arsa di depan banyak orang. Hal ini membuat dada Telu Limo terasa sesak, selain takut rencana keluarganya akan gagal, rasa cemburu dan iri hati telah mempengaruhi akal sehatnya.
Agar tujuannya berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan, Telu Limo berniat melenyapkan keberadaan Arsa. Siasatnya adalah bekerja sama dengan Keluarga Bohim, pihak yang merupakan pesaing bisnis bagi Keluarga Nugraha.
Di sisi keluarga Bohim, meskipun menyadari bahwa dirinya sedang di manfaatkan oleh Telu Limo, Patriak Bohim tetap menerima kerja sama itu. Kesempatan untuk meningkatkan kekayaan keluarganya tidak akan datang dua kali. Yang penting keluarganya, tidak peduli dengan apa yang terjadi di keluarga lain.
Lagi pula, sudah bertahun-tahun keluarga Bohim menabur ketidaksenangan terhadap Keluarga Nugraha. Namun tetap tidak mampu melenyapkan keluarga itu, baik dari segi bisnis maupun kekuatan.
“Patriak! Patriak! Ada berita besar.” lapor seorang penjaga, yang secara tiba-tiba memasuki Aula tamu dengan napas tersengal-sengal.
“Kurang Ajar! Apa yang kamu lakukan, ha? Bukankah sudah aku katakan bahwa ada tamu terhormat dan tidak bisa diganggu.” bentak Patriak Bohim dengan wajah memerah marah, siap memberikan pukulan kepada penjaga itu.
“Tunggu, Patriak! Kita dengarkan dulu, berita apa yang dibawa penjaga ini.” kata Telu Limo, tangan kanannya memegang tangan patriak Bohim yang hendak memukul.
Gemetar dan ketakutan, penjaga itu berkata dengan terbata-bata. “Anu, Patriak. Anu….anu—-“
“Anu, anu, apa! Cepat katakan!” bentak patriak Bohim tidak sabar.
Dengan keringat dingin membasahi punggung, si penjaga melanjutkan laporannya. “Anu… Arsa, dia sudah kembali. Arsa sudah kembali tadi sore, Patriak.”