realita kehidupan seorang gadis yang dari kecil cacat akan kasih sayang yang sebenarnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uppa24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
percakapan yang berat!!
Namun, yang paling mengganjal adalah kenapa ia menutupi hal ini dari Elvanzo dan orang lain yang dekat dengannya. Mengapa Aluna merasa perlu menjaga identitasnya dari semua orang? Dan apakah dia sengaja menghindari Elvanzo agar rahasia itu tidak terungkap lebih cepat?
Di antara perasaan kebingungannya, satu hal yang pasti bagi Elvanzo—ini bukan hanya tentang bisnis atau kehidupan profesional Aluna. Ini adalah tentang dirinya sendiri yang merasa tertinggal, seakan ada satu lapisan besar dari diri Aluna yang selalu tertutup rapat dan tak pernah ia ketahui. Ia harus mencari tahu lebih jauh, entah bagaimana caranya.
Elvanzo kini berada di persimpangan jalan. Ketidakpastian perasaannya terhadap Aluna semakin besar, tetapi semakin ia mencoba untuk lebih memahami dunia yang dimiliki Aluna, semakin terungkap sisi-sisi baru yang sebelumnya ia abaikan. Apa yang akan terjadi setelah seminar ini? Akankah Elvanzo bisa lebih dekat dengan Aluna, atau akankah jarak itu terus terjaga lebih kuat lagi?
...~||~...
Setelah mendapatkan pesan dari Yuri dan Alendrox, Elvanzo merasa sedikit lebih tenang, meskipun masih terkejut dengan kenyataan yang ia temui. Namun, ia merasa ada yang belum jelas, dan rasa penasarannya mendorongnya untuk bertanya lebih lanjut pada Alendrox yang mungkin tahu lebih banyak mengenai perjalanan bisnis Aluna dan seketika itu menelpon alendrox.
“halo ale, bisa kita bicara sebentar?” tanya Elvanzo dengan nada hati-hati. “Tentang Aluna, tentang bisnisnya.”
Alendrox terdiam sejenak, memahami arah pembicaraan yang sedang dimulai, namun tetap tenang dan terlihat sedikit berpikir. Setelah memastikan tak ada yang mengganggu percakapan mereka, ia akhirnya menjawab.
“Aluna itu bukan seperti yang kau lihat selama ini, Vanzo,” jawab Alendrox. “Bisnis itu, yang baru saja kau lihat di seminar itu, dimulai dua tahun lalu. Saat itu, dia mengalami hal yang sangat buruk.” Alendrox terlihat berhenti sejenak, memberikan ruang sejenak bagi Elvanzo untuk menyerap kata-katanya. "Dia ditipu habis-habisan oleh orang yang sangat ia percayai. Usahanya bangkrut dalam semalam. Tak ada yang tahu banyak tentang itu, karena Aluna memilih untuk menyembunyikannya. Itu alasan mengapa dia memutuskan untuk melanjutkan kuliah online selama empat semester terakhir. Itu adalah saat di mana dia mencoba mencari pijakan baru dalam hidupnya."
Elvanzo terkejut mendengar cerita tersebut. Ia tak pernah menyangka Aluna harus melewati pengalaman seberat itu sendirian. Dalam hatinya, Elvanzo merasa prihatin dan sedikit merasa bersalah karena selama ini ia hanya melihat sisi Aluna yang ‘dingin’ dan ‘profesional’, tanpa pernah memikirkan bahwa ada luka besar yang pernah ia alami.
“Aluna memang tidak suka bicara tentang masa lalu itu, apalagi tentang kesalahannya yang dia rasakan. Karena itu, dia memilih untuk mulai semuanya dari awal, mulai bisnis itu dari nol meskipun sudah mengalami kegagalan besar," lanjut Alendrox dengan nada yang lebih rendah. "Tapi satu hal yang pasti—dia tidak ingin orang lain merasa kasihan padanya. Bahkan teman dekatnya pun, kecuali kita, mungkin tak akan tahu apa yang terjadi."
Elvanzo mendengarkan dengan seksama, serasa tertekan oleh rasa campur aduk yang semakin besar. Rasa kagum mulai tumbuh terhadap Aluna, namun di saat yang sama, ada perasaan kesal karena ia merasa seperti orang terakhir yang mengetahui cerita tentang gadis yang sudah begitu lama dekat dengannya.
“Tapi... kenapa dia tidak memberitahuku? Kenapa dia memilih untuk menutup diri begitu rapat?” tanya Elvanzo lebih kepada dirinya sendiri, meskipun ia menoleh ke Alendrox untuk mendapatkan jawaban.
Alendrox menghela napas pelan. “Karena Aluna bukan orang yang mudah berbagi tentang kelemahannya. Dia menganggap itu semua sebagai kegagalan pribadinya. Bahkan dia lebih memilih untuk membangun sebuah bisnis baru untuk membuktikan kepada dirinya sendiri, dan mungkin juga kepada orang lain, bahwa ia bisa bangkit kembali."
Elvanzo terdiam, mencerna semua yang baru saja dikatakan oleh Alendrox. Semakin banyak yang ia pahami tentang Aluna, semakin banyak perasaan yang ingin ia ungkapkan kepada gadis itu. Namun, ia tahu bahwa untuk mendekati Aluna, ia tidak bisa sembarangan—butuh waktu dan pengertian yang lebih dalam. Bagaimanapun, Aluna masih memilih untuk berjuang dengan cara yang berbeda, bahkan terkadang sangat tertutup.
"Aku ingin membantu. Aku ingin dia tahu bahwa aku ada untuknya," gumam Elvanzo pelan, walau hanya ia yang mendengarnya.
Namun, Alendrox hanya berkata. “Berhati-hatilah, Vanzo. Aluna sudah sangat terbiasa dengan sendirian. Juga... dia selalu merasa, entah benar atau tidak, bahwa orang yang terlalu dekat bisa membuatnya jatuh lagi. Kamu harus bijak dengan langkahmu.”
Elvanzo tersenyum kecut mendengar kalimat Alendrox. Namun, dalam hati, ia merasa memiliki tekad yang kuat. Setelah mendengar kisah di balik keperkasaan dan keputusan yang diambil Aluna, ia menyadari bahwa, lebih dari sebelumnya, ia ingin memberi ruang bagi Aluna untuk berbicara jika ia siap—tanpa paksaan.
Ini bukan lagi soal pekerjaan, perasaan canggung, atau bahkan jarak yang selama ini terjaga begitu rapat. Ini soal seseorang yang pernah terluka, yang mencoba mencari cara untuk sembuh dalam cara yang tak terduga. "Dan Elvanzo, meskipun tahu itu sulit, tahu betul bahwa peranannya bukan hanya untuk mengoreksi apa yang terputus, tetapi untuk memberi tempat bagi Aluna untuk tumbuh." Setelah seminar yang mengungkap banyak hal tentang Aluna, Elvanzo merasa cemas dan ingin segera menyelesaikan segala ketegangan yang dirasakannya. Ia merasa seperti baru saja dikejutkan oleh sebuah dunia yang sangat berbeda dengan yang ia kenal dari Aluna, dan itu membuatnya bingung.
Setelah menutup telpon Akhirnya elvanzo Pulang dari seminar, dan memutuskan untuk mengunjungi rumah Aluna di kampung. Keputusan itu muncul begitu saja dalam benaknya. Entah kenapa, ia merasa ada yang perlu diselesaikan, sesuatu yang tidak bisa disembunyikan lagi.
Sesampainya di rumah Aluna, keadaan sepi. Rumah itu jauh lebih sederhana daripada yang ia bayangkan—tidak mewah, namun terasa hangat dengan nuansa rumah yang akrab. Elvanzo masuk perlahan, berharap Aluna sedang berada di dalam.
Namun, tak terlihat sosok Aluna. Hanya ibu Aluna yang sedang duduk di ruang tamu, mengatur barang-barang di rak. Ibu Aluna tersenyum hangat saat melihat Elvanzo.
“Ah, Elvanzo! Kamu datang juga?” suaranya terdengar ramah, meskipun ada nada kelelahan di wajahnya. “Aluna sedang di luar, mungkin akan sedikit lama.”
Elvanzo mencoba tersenyum meskipun ia merasa canggung. Ia memutuskan untuk duduk dan berbicara dengan ibu Aluna. “Iya, Tante. Saya hanya ingin sedikit berbicara dengan Aluna,” katanya, mencoba membuka percakapan.
Ibu Aluna menyandarkan tubuhnya ke kursi dan tersenyum lembut. “Anakku itu, Elvanzo, dia suka menyendiri. Kalau kamu ingin berbicara dengannya, kamu tahu dia lebih suka menghindari keramaian.”
Suasana pun mulai menjadi lebih tenang. Terkadang, Elvanzo merasa kurang tahu tentang kehidupan pribadi Aluna, dan hari itu adalah pertama kalinya ia datang ke rumahnya, mencoba menyelami sedikit lebih dalam siapa Aluna sebenarnya.
Namun, ketika ibu Aluna mulai bercerita, Elvanzo mulai merasa gelisah. “Sejak kecil, Aluna memang sudah terbiasa untuk hidup keras. Kami bukan orang kaya, dan banyak sekali saat-saat sulit yang harus ia jalani sendirian… dengan ayahnya yang, sayangnya, tidak pernah menjadi sosok yang baik,” jelas ibu Aluna perlahan, seolah menceritakan bagian terberat hidupnya.
Elvanzo mendengarkan dengan seksama, mengamati bagaimana ibu Aluna berbicara dengan mata yang penuh kesedihan. “Dia… selalu dipukuli, selalu dilecehkan… sampai aku memutuskan untuk bercerai dan keluar dari hubungan itu. Aku tidak bisa membiarkan dia terus menderita. Waktu itu, saya hanya bisa menangis, tidak tahu bagaimana cara membantunya.”
Kata-kata itu seakan menyayat hati Elvanzo. Ternyata, jauh di balik sosok Aluna yang tegar, ada begitu banyak luka yang harus disembunyikan. Sesuatu yang selama ini ia lihat sebagai ketangguhan Aluna, ternyata adalah hasil dari sebuah perjuangan besar dan pengorbanan yang luar biasa.
“Ibu… saya tidak tahu… Saya tidak tahu kalau itu yang terjadi…” Elvanzo mengucapkannya dengan berat hati, sulit membayangkan betapa sulitnya hidup yang dijalani Aluna. Tiba-tiba ia merasa seperti baru mengenal Aluna.
Ibu Aluna menarik napas panjang, lalu berkata dengan penuh rasa kasih. “Aluna tidak pernah mengeluh tentang itu. Dia justru berusaha untuk terus maju, membangun masa depannya dengan tangan dan usahanya sendiri. Dia adalah anak yang luar biasa, meski kadang saya khawatir terlalu banyak yang dia simpan untuk dirinya sendiri.”
Elvanzo terdiam. Rasa bersalah menggelayuti pikirannya. Dia tahu bahwa Aluna harus menjalani hidup yang jauh lebih berat dari yang dia bayangkan, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa—terlebih ketika mengetahui bahwa perasaan dan hubungan antara mereka semakin jauh.
Namun, di tengah perbincangan itu, ibu Aluna melanjutkan dengan nada yang lebih serius. “Aluna bukan hanya berjuang untuk dirinya, Elvanzo. Sejak kecil, dia sudah menjadi penanggung jawab keluarga. Bahkan ketika duduk di bangku SMP, dia sudah bekerja untuk membantu kami memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tidak ada yang bisa dilakukan, dan suaminya—ayahnya—selalu memukulnya jika marah. Sakit hati saya melihatnya harus menanggung semua itu sendiri.”
Elvanzo merasa seperti sebuah berat batu menekan dadanya. Ia tak bisa lagi menyembunyikan rasa kasihan dan empati yang tumbuh dalam dirinya.
“Kadang, saya merasa dia tidak punya waktu untuk dirinya sendiri, selalu memikirkan bagaimana bisa memberi kami kehidupan yang lebih baik,” lanjut ibu Aluna, dengan suara yang lebih lembut namun penuh beban. “Dan itulah kenapa, meskipun dia sudah masuk universitas, dia harus bekerja keras demi mewujudkan itu semua. Itu juga yang akhirnya membuat kami semakin terpisah.”
Perlahan, Elvanzo mulai mengerti. Aluna bukan hanya gadis yang memilih untuk mandiri, tapi juga yang selalu merasa terikat pada masa lalu yang kelam. Bahkan setelah ia menempuh kuliah dan mendirikan bisnisnya, luka-luka itu masih mengikutinya, dan sangat wajar jika dia lebih memilih untuk menjadi sosok yang terpisah dari orang lain.
Ketika perbincangan itu berakhir, Elvanzo hanya bisa menghela napas dalam-dalam. Tentu saja ia merasa sangat bersalah karena tidak pernah melihat semuanya lebih dalam. Tidak pernah berpikir tentang betapa besar beban yang Aluna pikul.
Malam itu, sebelum pulang ke kota, Elvanzo berjanji kepada dirinya sendiri. Jika nanti Aluna mau berbicara dengan dia, ia akan berusaha mendengarkan, tidak hanya sebagai seorang teman, tetapi sebagai seseorang yang siap membantunya mengatasi semuanya—segala kesulitan dan rasa sakit yang selama ini dia sembunyikan.