Sepeninggal suami, Nani terpaksa harus bekerja sebagai seorang TKW dan menitipkan anak semata wayangnya Rima pada ayah dan ibu tirinya.
Nani tak tau kalau sepeninggalnya, Rima sering sekali mengalami kekerasan, hingga tubuhnya kurus kering tak terawat.
Mampukah Nani membalas perlakuan kejam keluarganya pada sang putri?
Ikuti kisah perjuangan Nani sebagai seorang ibu tunggal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dilema Titik
Hidung Tyas kembang kempis menahan kesal, sejak semalam dia memilih mendiamkan suaminya dan pagi ini dia bangun sang suami sudah tak ada di sisinya.
Hatinya teramat sakit, kelakuan Yanto di belakangnya dengan beraelingkuh, membuat wanita itu kecewa.
"Kamu kenapa Yas? Dari kemarin kamu ngga ada cerita sama ibu. Pulang acak-acakan, langsung ngurung diri aja di kamar," tegur Titik.
Tiba-tiba tubuh Tyas ambruk, untung ada Titik di sebelahnya.
"Ya Allah gusti kamu kenapa Yas!" pekik Titik sambil menepuk pipi Tyas pelan.
Beruntung keduanya berada di ruang keluarga jadi Titik tak perlu meminta bantuan pada tetangga untuk menggotong tubuh Tyas.
Yanto? Jangan di tanya lelaki itu ke mana, setelah kejadian kemarin, dia memilih pergi lagi entah ke mana
Titik mengolesi minyak angin pada hidung Tyas. Dia bersyukur karena tak lama Tyas siuman.
Tubuh Tyas dingin, Titik tak tau apa yang terjadi dengan putri sulungnya.
"Mau ke puskesmas Yas? Badan kamu dingin gini," ujar Titik khawatir.
Tyas menggeleng, dia ingat hari ini mereka harus bayar angsuran Berta.
"Bu gimana ini, kita harus bayar angsuran mas Yanto, belum lagi cicilanku yang lain," lirihnya.
Kepalanya udah hampir mau pecah memikirkan semua tagihan yang silih berganti berdatangan ke rumahnya.
Dari cicilan paling kecil, hingga paling besar, semua memenuhi kepala Tyas.
"Tyas lapar Bu, apa ada makanan?" tanyanya.
"Kamu tunggu sebentar ya, ibu mau ambil lauk," ujar Titik.
"Ambil lauk di mana Bu?" tanya Tyas heran saat melihat Titik justru hendak keluar rumah.
"Udah kamu tenang aja, yang penting perut kita kenyang, hati pun senang," ucap Titik semangat.
Dia berencana mendatangi kediaman anak tirinya. Apa lagi kalau bukan mau mengambil masakan Nina.
Titik yakin jam segini rumah itu sudah sepi dan hanya ada Dibyo di sana.
Tyas tak peduli, perutnya sangat melilit, pagi tadi dia sudah muntah-muntah, oleh sebab itu saat ini dia lemas dan kelaparan.
Titik mengintip lewat belakang rumah Nina, memastikan jika rumah itu sudah sepi.
Lalu dia mendekat, terlihat sang suami yang tengah menonton televisi di ruang tengah.
Pintu dapur di rumah Nina dan sebagian warga di sana hampir sama semua, pintu terbagi dua, jadi bagian bawah di tutup atasnya bisa di buka berfungsi sebagai jendela.
"Shuut!" kode Titik pada Dibyo.
Lelaki yang masih sah menjadi suaminya itu lalu menoleh dengan senyum terkembang.
"Ibu ..."
Titik lantas membuka pintu dan mendekati Dibyo. Keduanya duduk di depan meja makan.
Seperti niat awalnya, Titik bergegas membuka tudung saji di atas meja. Kali ini hanya ada sayur sop, dua potong ayam serta tahu dan tempe saja.
"Nani masak ini aja pak?" gerutunya.
"I-iya bu, kamu ke sini cuma mau nyari makanan aja Bu?" tegur Dibyo lemah.
Titik melengos lalu menutup kembali makanan di meja dan menatap Dibyo.
"Ya enggak juga sih, mau nemuin bapak juga. Gimana pak ada duitnya?" tanya Titik penuh harap.
Dibyo tersenyum lalu mengangguk, dia berlalu meninggalkan Titik seorang diri menuju kamarnya.
Titik sangat senang karena Dibyo masih bisa di perdaya olehnya. Sungguh bucin sekali Dibyo ini.
"Ini Bu, tebuslah Dita, aku kasihan melihat kamu sedih," ujar Dibyo.
Nani dan Dibyo adalah orang-orang baik, sayang ya mereka selalu saja bertemu dengan orang-orang tak tau diri seperti Titik dan keluarganya, yang selalu ingin memanfaatkan mereka.
Titik merasa heran karena Dibyo bisa mendapatkan uang dengan jumlah yang besar dalam sehari.
"Ini bapak dari mana? Minta sama Nina?" cecar Titik.
Dibyo menggeleng lalu menjelaskan jika dia berhasil memanfaatkan lelaki yang tengah dekat dengan putrinya itu.
"Hah! Berarti lelaki yang suka dengan Nina orang kaya dong pak!" pekiknya.
Dibyo mengedikkan bahu, "entahlah Bu, cuma kata Nina dia memiliki toko mebel di pasar, dekat dengan toko Nina," jelas Dibyo."
"Apa! Toko Nina? Maksud bapak apa? Dekat dengan toko Nina bekerja?" cecar Titik bingung.
"Ya ampun Bu, kamu ketinggalan berita ya, Nina kan punya Toko sembako di pasar, bekasnya pak Haji Mursih," jawab Dibyo sambil terkekeh.
Dalam hatinya dia agak bangga dengan pencapaian Nina, terlebih lagi banyak tetangga yang berkata salut pada putrinya itu
Meski bukan dari uangnya, dia ikut merasa senang kala para tetangga kini memandang keluarganya dengan berbeda.
Hati Titik panas, ternyata mantan anak tirinya itu memiliki banyak uang hingga bisa membeli toko.
Titik pikir saat Nina tak kembali bekerja di luar negeri, anak tirinya itu hanya akan bekerja serabutan.
Justru ia salah dan tak tahu jika sekarang Nani justru sedang berada di puncak kejayaannya.
Titik mengepalkan tangan tak terima. "Kenapa dia tega sekali meminta kita bercerai ya pak! Keterlaluan, harusnya dia banyak sedekah sama janda kaya ibu, ini malah dzolim," dengusnya tak sadar diri.
Titik bergegas mengambil lauk di atas meja makan Nina sambil terus menggerutu.
Dibyo kewalahan karena itu semua adalah jatah makan siangnya.
"Aduh Bu, jangan di bawa semua, sisakanlah bapak satu potong ayam, nanti bapak makan apa?" rajuknya.
Titik menatap sengit suaminya, kekesalan di hatinya dia lampiaskan pada Dibyo.
"Kan ibu dah bilang, minta Nina masak yang banyak, supaya bisa berbagi dengan ibu! Salah sendiri bapak ngga tegas sama anak! Jangan mau kalah sama Nina, dia kan anak bapak, harus nurut apa kata bapak!" ketusnya.
Tanpa mengucapkan terima kasih Titik pulang kembali ke rumah. Dia ingin bergegas ke kantor polisi untuk membebaskan Dita.
Dibyo hanya menghela napas, dia berharap bisa melepas rindu dengan Titik setelah bisa mendapatkan uang, ternyata semua tak seindah bayangannya.
Titik tetaplah Titik, wanita yang hanya datang padanya saat membutuhkan sesuatu saja.
Semenjak di tahan Titik belum pernah melihat wajah anak bungsunya itu, selain tak ada uang, Tyas juga menolak mengantarnya. Titik berharap Dita baik-baik saja.
Namun langkahnya makin tergesa kala melihat rumah sang putri kembali ramai dengan kerumunan orang-orang.
"Ada apa ini? Kenapa kalian masuk tanpa izin!" bentak Titik kesal.
Berta dan beberapa orang yang di hutangi oleh Tyas menatap kesal pada Titik.
Di dalam sana Tyas kembali pingsan dan saat ini tengah di jaga oleh tetangganya.
Untung uang yang dia bawa dia samarkan dengan lauk di plastik hitam, jadilah para penagih tidak mengambil uangnya, pikirnya.
"Kalian kenapa tega sekali! Paling enggak berilah kami waktu jangan kaya gini, datang beramai-ramai!" keluhnya pada penagih hutang.
"Eh dengar ya mak tua, kau dengar sendiri kemarin anak kau ini dah janji akan bayar hari ini, jadi jangan banyak alasan. Kalian mau bayar, atau sesuai kesepakatan akan kulelang rumah ini!" ancam Berta.
"Saya udah malas berurusan dengan anak ibu ya, jadi, dari pada saya rugi mending saya ambil lagi sofa ini! Lumayan masih bagus bisa di jual!" balas Bu Sri ketus.
Dia lalu meminta anak dan suaminya mengangkut sofa dari ruang tamu Tyas.
"Ngga bisa gitu dong Bu, kan Tyas udah bayar juga, kalau mau di ambil, balikin dulu duit Tyas yang udah masuk!" Titik mencegah dua orang yang sedang mengangkut sofa putrinya.
Sungguh Titik merasa dilema, saat ini dia memegang uang yang pasti bisa membayar para penagih hutang.
Namun dia bingung bagaimana lagi dia akan mendapatkan uang untuk menebus Dita nanti.
.
.
.
Tbc