Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 7
Hampir setengah jam Nadira pingsan, beberapa tetangga datang untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Semua bermula saat Sukma menjerit memanggil putrinya di belakang rumah, kebetulan dua wanita seumuran nenek Ratih dan seorang lelaki mendengar teriakannya. Mereka pun datang untuk membantu, membawa Nadira masuk ke dalam rumah.
Tak ada yang tahu penyebab pasti gadis itu pingsan, bahkan saat nenek Ratih bertanya pada menantunya, wanita itu mengaku tak tahu menahu. Ia baru saja keluar kamar mandi dan mendapati putrinya terhuyung ke belakang.
Sebenarnya Sukma sempat mendengar putrinya menyebut kata hantu sebelum pingsan, tapi ia memilih diam. Merasa harus menyelidiki hal aneh yang hanya menimpa mereka. Dengan telaten, Sukma mengoleskan minyak kayu putih di leher dan bawah hidung putrinya, memijat tangan dan kaki juga menyeka keringat yang muncul di kening gadis itu.
“Apa nggak seharusnya dibawa ke bidan saja Nduk putrimu?” tanya mbah Sani, tetangga depan rumah.
“Iya, sudah hampir setengah jam belum siuman juga.” Kali ini Akbar, menantu mbah Giyem ikut berkomentar.
Sukma tersenyum ramah, ia hanya menggeleng pelan. Setelah itu nenek Ratih mengajak para tetangganya duduk di ruang tamu, Wijaya telah menghidangkan teh hangat dan kopi di sana. Sementara di kamar tinggallah Sukma dan Dira saja.
Ibu satu anak itu menghela nafas berat, ia sudah tahu pagi ini gerbang rumah sebelah tertutup rapat, keadaan ini berbanding terbalik dengan yang dilihat dan di dengarnya semalam. Apa Dira pingsan karena terkejut melihat gerbang? tapi kayaknya nggak sesimpel itu deh. Sukma yakin ada hal lain yang menimpa putrinya dan membuatnya tak sadarkan diri.
“Engh…”
“Dira, kamu sudah bangun?” Sukma mengusap kening sang putri, merapikan beberapa helai anak rambut yang berantakan.
“Ibu…”
“Istirahat saja, jangan banyak bicara. Ibu sudah tahu,” ucap Sukma saat Dira berusaha bangkit.
“Ibu, wanita itu tertawa,” bisik putrinya hampir tak terdengar.
“Siapa? siapa Nduk?”
“Dira nggak tahu, suaranya dekat seperti berbisik di telinga. Dira takut Bu.”
“Ssst, sudah… jangan takut ada ibu disini, ibu janji akan menjagamu, tenang ya.” Sukma mengusap pelan kening putrinya, menggenggam erat tangan sang putri berusaha menenangkan.
***
Malam ini adalah kali pertama Nadira berangkat mengaji ke pesantren, gadis itu pergi diantar Wijaya menggunakan motor. Tak lupa membawa kue titipan ibunya untuk kantin, Nadira tersenyum senang setidaknya ia bisa sejenak melupakan segala hal aneh yang terjadi di rumah neneknya.
“Jangan lupa, nanti bawa pulang lagi wadahnya ya,” kata Sukma pada putrinya, gadis itu mengangguk mengerti, “oh iya Dira, ingat jaga sikap. Jangan sembarangan, belajar yang bener.”
“Iya Bu.”
“Kalau sudah selesai, telepon aja pak lek mu Nduk, biar nanti dijemput.”
“Insya Allah,” jawab Dira pada neneknya, ia tak bisa berjanji mengingat beberapa waktu lalu saat kali pertama datang ke pesantren. Ponselnya tak mampu menangkap jaringan sama sekali.
Nadira melambaikan tangan saat motor melaju meninggalkan rumah, ia begitu bersemangat. Tak lama kemudian motor matic milik pak leknya berhenti tepat di depan gerbang, Dira segera turun. “Dira berangkat ya pak lek.”
“Yakin nggak perlu di antar?”
“Nggak perlu Pak lek, orang tinggal masuk aja,” jawabnya terkekeh pelan.
“Baiklah, nanti kuenya langsung antar ke kantin saja ya.”
Nadira mengangguk mengerti, setelah menjabat tangan Wijaya gadis itu mengucapkan salam dan masuk ke dalam pesantren. Di depan mushola, Nadira melihat beberapa santri putri yang masih asyik berbincang, juga beberapa anak lelaki berkejaran. Ia tersenyum senang melihat pemandangan ini.
Setelahnya Nadira memutuskan pergi ke kantin terlebih dulu, di sana ia sudah ditunggu seorang wanita dewasa yang mengaku bernama Maria. Wanita itu menerima kue dan memberikan sejumlah uang sesuai harga kue yang dibawanya.
“Ini wadahnya, nggak aku cuci ya. Nggak apa-apa kan?”
“Nggak apa-apa Mbak, biar nanti aku cuci di rumah,” jawab Nadira sopan. Tersenyum melihat beberapa anak lelaki yang berebut membeli kue buatan ibunya.
“Oh iya, Nadira besok lebih banyak bawa risolesnya ya, kayaknya anak-anak lebih doyan itu deh daripada kue lain.”
“Siap Mbak, nanti aku bilang sama ibu.”
Setelah menerima wadah dan menyimpan uang, Nadira berjalan menuju mushola. Ia merasa begitu canggung sebab tak mengenal satupun dari mereka. Apalagi hijab yang dibelikan ibunya itu selalu saja melorot dan membuatnya jadi berantakan. Nadira kewalahan membenahinya, ia memutuskan duduk di ujung ruang, entah kenapa malas rasanya memulai perkenalan.
Wajar saja, tujuan utama Nadira datang ke pesantren bukan murni ingin mengaji. Ia tertarik datang karena penasaran dengan Rendra, tapi sayangnya Dira tak menemukan lelaki itu di sana.
Nadira tersenyum senang saat sebuah ide melintas di pikirannya, ia lantas berjalan mengendap keluar mushola menuju dapur pesantren di mana ia berjumpa Rendra untuk pertama kalinya. Nadira mengeluarkan ponsel dari saku baju, menggunakan lampu senter ponsel sebagai penerang jalan.
Dan benar saja tebakannya, Rendra duduk di tempat gelap itu seorang diri. Tapi kali ini ia tak sedang bermain game, melainkan merokok.
“Hey, kakak merokok?”
Mendengar suara Dira, Rendra reflek membuang rokoknya ke lantai. Lelaki itu terlihat salah tingkah. Sebenarnya ia tak ingin ada orang lain yang mengetahui kebiasaan buruknya itu. “Kenapa kamu di sini?” tanya Rendra kesal.
“Mencari kak Rendra, kakak sendiri ngapain selalu di sini? Padahal di sini gelap loh, sendirian juga, apa nggak takut? Kenapa nggak mengaji sama yang lain saja?”
“Kita nggak saling kenal, jadi tolong jangan sembarangan mendatangiku seperti ini.”
"Tapi kita sudah kenalan kemarin, kalau kak Rendra lupa boleh kok kenalan lagi. Hai Kak, kenalin nama aku Nadira, salam kenal ya." Nadira mengulurkan tangan, tersenyum lebar menatap lelaki di depannya. Rendra bergeming, benar-benar tak tertarik meladeni gadis itu.
"Kak Rendra, aku cuma ingin akrab dengan Kakak, dan syukur-syukur kalau kita bisa main game bareng."
Rendra menghela nafas kasar, mendadak kesal pada gadis kecil yang sok akrab dan mengganggu ketenangannya itu. “Kalau cuma untuk bermain game, carilah orang lain. Aku tidak bermain dengan anak kecil, kamu mengerti?"
Rendra berbalik badan hendak meninggalkan Dira sendiri, tapi gadis itu segera mencegahnya. “Tapi kemarin kakak panggil aku mbak, jadi... anggap aja aku bukan anak kecil Kak, lagian aku udah lulus SMA kok. Hanya saja belum kuliah karena belum ada biaya," jawabnya terlalu jujur.
Rendra ingat kemarin dengan sengaja ia memanggil Dira dengan panggilan mbak, tentu saja itu hanya untuk menghormatinya di depan ibu Sukma. "I-itu... Karena muka kamu boros aja," jawab Rendra asal.
"A-apa?"
"Sudahlah, lain kali jangan sok kenal lagi. Aku tidak mau dan tidak tertarik mengenalmu." Rendra berjalan cepat meninggalkan dapur, membiarkan Nadira sendiri di dalam gelap.
“Kak Rendra! kak Ren!” Nadira kecewa, lelaki itu pergi begitu saja. Ia pun memutuskan kembali ke mushola, di sana bu nyai Hasna dan teman-teman lain sudah mulai mengaji, Dira memutuskan segera bergabung.
Sementara itu di rumah nenek Ratih, Sukma berencana bertanya pada ibu mertuanya perihal rumah kosong dan hal aneh yang mengganggunya selama ini. Ia merasa ada yang ganjil, sebab hanya dia dan putrinya yang selalu diganggu. Sukma mengetuk pintu kamar mertuanya itu.
Tok tok tok
“ibu… ibu di dalam? boleh Sukma masuk Bu?”
Tak ada jawaban dari dalam kamar, Sukma nekat memutar knop pintu yang ternyata tidak dikunci, ia berhasil membuka pintu kamar ibu mertuanya. Kamar itu kosong, entah kemana mertuanya pergi tanpa pamit.
“Astaga Ibu, berantakan sekali kamarnya,” gumamnya seorang diri. Sukma masuk dan mulai melipat selimut, merapikan sprei dan menyusun beberapa buku ke dalam lemari. Ia menemukan buku hamil milik milik mertuanya saat mengandung sang suami, Sukma tersenyum melihat perkembangan catatan imunisasi suaminya dulu.
Sukma juga menemukan foto-foto kecil Bagas, juga foto pernikahan mertuanya itu. Sukma larut dalam kenangan, tapi ia sadar harus segera menyelesaikan semua dan pergi mencari ibu mertuanya. Saat meletakkan tumpukan terakhir dari beberapa buku dan majalah usang, Sukma menemukan buku catatan kehamilan dengan nama berbeda.
“Meylani? punya siapa ini?”
.
Tbc
terimakasih byk thor,sdh menyuguhkan cerita yang bagus.
semoga bisa ketemu di cerita2 yang akan datang .🙏
senang mendengarnya bu Sukma, pilihan terbaik buat putrimu Nadira
Seno cepat pulang ....ibumu dalam bahaya ,antara hidup dan mati
opor ayam bagian paha
makannya dengan bubur sagu
dikasih merica menambah rasa
dina kalap di lahap cemburu
ada yang menyerah karena lelah
ada himpitan pilu
rayuan rindu dan cemburu
hati2 Sukma ....hidupmu diincar Dina
Rasa ...
di rumah da kejadian aneh
di pesantren juga begitu ...
semoga semua lekas berlalu dan berakhir dengan baik2 saja