Di usia yang seharusnya dipenuhi mimpi dan tawa, Nayla justru memikul beban yang berat. Mahasiswi semester akhir ini harus membagi waktunya antara tugas kuliah, pekerjaan sampingan, dan merawat kedua orang tuanya yang sakit. Sang ibu terbaring lemah karena stroke, sementara sang ayah tak lagi mampu bekerja.
Nayla hanya memiliki seorang adik laki-laki, Raka, yang berusia 16 tahun. Demi mendukung kakaknya menyelesaikan kuliah, Raka rela berhenti sekolah dan mengambil alih tanggung jawab merawat kedua orang tua mereka. Namun, beban finansial tetap berada di pundak Nayla, sementara kedua kakak laki-lakinya memilih untuk lepas tangan.
Di tengah gelapnya ujian hidup, Nayla dan Raka berusaha menjadi pelita bagi satu sama lain. Akankah mereka mampu bertahan dan menemukan secercah cahaya di ujung jalan yang penuh cobaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Askara Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan yang Menanti
Matahari sudah mulai terbenam ketika Nayla kembali ke rumah, mengantarkan tubuh yang lelah setelah seharian penuh kuliah dan pekerjaan paruh waktu. Wajahnya tampak letih, namun di balik mata yang agak sayu itu, ada secercah harapan. Dalam beberapa minggu terakhir, hidupnya terasa lebih ringan, berkat keputusan besar yang diambilnya—menerima bantuan dari kak Arsad. Namun, meskipun beban fisiknya berkurang, rasa cemas masih memikirkan perubahan kak Arsad yang tiba-tiba berubah.
Raka mendekat, duduk di samping Nayla. Ia tahu betul kakaknya sedang berjuang lebih keras daripada yang ia tunjukkan. “Mungkin Kakak bisa bicara langsung sama kak Arsad, ya? Tanyakan apa benar dia ikhlas membantu kita. Jangan sampai kita salah langkah.”
“Kadang aku merasa takut, Ka. Takut kalau kita bergantung sama orang lain terlalu lama,” ujar Nayla dengan suara pelan. “Aku nggak ingin kita jadi beban buat kak Arsad. Tapi di sisi lain, aku juga tidak bisa terus berjalan sendirian. Aku capek.”
Raka terdiam sejenak, lalu berkata dengan tenang, “Kak, kita nggak bisa terus hidup seperti ini. Kita sudah coba bertahan cukup lama. Kalau kak Arsad benar-benar ingin bantu, kenapa nggak kita terima saja? Mungkin itu memang jalan yang terbaik buat kita semua.”
Nayla menatap adiknya. Dalam usianya yang baru menginjak 16 tahun, Raka sudah memiliki kebijaksanaan yang lebih dari sekadar anak remaja. Meski terkadang ia merasa ragu, ia tahu bahwa apa yang dikatakan adiknya itu benar. Mereka harus menerima bantuan, demi kesejahteraan keluarga.
“Mungkin kamu benar, Ka. Mungkin kita memang harus menerima ini, tapi hati ini masih ragu. Apakah kak Arsad tidak akan merasa terbebani nantinya?” Nayla bergumam, merasa sedikit bingung dengan keputusan yang harus diambil.
Raka tersenyum dan meraih tangan Nayla, menggenggamnya erat. “Kak, yang penting sekarang adalah kita bisa maju. Tidak ada salahnya menerima bantuan, asalkan itu untuk kebaikan bersama.”
Nayla terdiam. Perkataannya menyentuh hati, dan ia mulai merasa sedikit lebih tenang. Namun, malam itu, perasaan cemas tetap menghantuinya.
Keesokan harinya, Nayla memutuskan untuk menghubungi kak Arsad. Mereka sepakat bertemu di sebuah kafe kecil di pinggir kota. Begitu Nayla sampai, kak Arsad sudah duduk di meja pojok, tampak lebih santai dibandingkan pertemuan pertama mereka.
“Kak Nayla, terima kasih sudah datang. Aku tahu kamu pasti merasa tidak mudah untuk datang ke sini setelah keputusan besar itu,” kata kak Arsad dengan suara lembut, meski ada sedikit ketegangan di wajahnya.
Nayla mengangguk, duduk di hadapannya dengan perlahan. “Sebenarnya, Kak, aku ingin bicara lebih dalam lagi soal bantuan yang kamu tawarkan. Aku tidak bisa memutuskan begitu saja tanpa memikirkan banyak hal. Aku ingin tahu, kenapa sekarang kamu tiba-tiba berubah?”
Kak Arsad menarik napas panjang. Ia memandang Nayla dengan serius. “Aku sadar bahwa aku telah mengabaikan keluarga selama ini. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan dan kehidupan pribadi, dan itu membuat aku lupa untuk mendukung kalian. Jadi, kali ini, aku ingin memastikan kamu tidak perlu menanggung beban ini sendirian.”
Nayla memandang kakaknya dalam-dalam, mencoba membaca ekspresi yang ada. Rasanya, ada keikhlasan dalam kata-kata kak Arsad, meskipun ia masih merasa sedikit ragu. “Tapi, kak Arsad, aku tidak ingin terus bergantung padamu. Aku tidak ingin merasa seperti kita selalu meminta bantuan.”
“Aku mengerti, Nayla,” jawab kak Arsad dengan lembut. “Tapi bukan berarti kita harus terus berjalan sendirian. Aku ingin kamu tahu, keluarga ini lebih penting daripada apa pun. Jangan terlalu keras pada diri sendiri.”
Nayla mengangguk pelan, merenungkan kata-kata kak Arsad. Di satu sisi, hatinya merasa lega. Tetapi di sisi lain, ia masih merasa terperangkap dalam rasa takut dan kebingungannya. Ini bukan hanya tentang uang atau bantuan materi, tetapi tentang harga diri dan prinsip yang telah ia pegang selama ini.
Namun, satu hal yang ia tahu pasti—keputusan ini bukan hanya miliknya. Ini adalah keputusan untuk keluarga mereka, dan terkadang, menerima bantuan dari orang yang kita percayai adalah hal yang terbaik.
“Kak, aku... aku setuju. Mungkin kita memang harus menerima bantuan ini, untuk ibu, dan juga untuk masa depan kita,” kata Nayla akhirnya, suaranya lebih tenang. “Tapi aku janji, kak Arsad, kita tidak akan selamanya bergantung padamu. Suatu hari nanti, aku akan mampu berdiri sendiri.”
Kak Arsad tersenyum mendengar kata-kata Nayla. “Aku percaya itu, Nayla. Aku akan selalu ada untukmu, untuk keluarga kita.”
Di rumah, setelah pertemuan dengan kak Arsad, Nayla kembali ke rutinitasnya. Walaupun perasaan ragu masih ada, ia mulai merasa sedikit lebih ringan. Raka yang melihat perubahan sikap kakaknya, segera menyambutnya dengan senyum lebar.
“Kak, jadi kita terima bantuannya, ya?” tanya Raka dengan penuh semangat.
“Iya, Ka,” jawab Nayla sambil tersenyum tipis. “Kita akan menerima bantuan dari kak Arsad, tapi aku janji, kita akan tetap berusaha mandiri setelah ini.”
Raka mengangguk. “Kita akan bersama-sama. Kita bisa keluar dari sini.”
Nayla memeluk adiknya erat. Sekali lagi, ia merasakan kekuatan yang ada pada hubungan mereka. Meskipun mereka masih harus melewati banyak tantangan, setidaknya mereka tidak lagi berjalan sendirian.