NovelToon NovelToon
The Secret Behind Love

The Secret Behind Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / Selingkuh / Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Penyesalan Suami
Popularitas:553
Nilai: 5
Nama Author: jhnafzzz

"The Secret Behind Love." adalah sebuah cerita tentang pengkhianatan, penemuan diri, dan pilihan yang sulit dalam sebuah hubungan. Ini adalah kisah yang menggugah tentang bagaimana seorang wanita yang bernama karuna yang mencari cara untuk bangkit dari keterpurukan nya, mencari jalan menuju kebahagiaan sejati, dan menemukan kembali kepercayaannya yang hilang.

Semenjak perceraian dengan suaminya, hidup karuna penuh dengan cobaan, tapi siapa sangka? seseorang pria dari masa lalu karuna muncul kembali kedalam hidupnya bersamaan setelah itu juga seorang yang di cintai nya datang kembali.

Dan apakah Karuna bisa memilih pilihan nya? apakah karuna bisa mengendalikan perasaan nya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jhnafzzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7. Kebebasan.

Karuna duduk di meja makan, menatap surat cerai yang tergeletak di depannya. Pikirannya terasa kosong, tubuhnya lelah, namun hati ini tak kunjung reda. Ethan sedang bermain di ruang tamu, tertawa kecil saat ia memain-mainkan mobil-mobilan favoritnya. Karuna mencoba untuk tersenyum, meski senyumnya terasa sangat tipis dan rapuh. Setiap detik yang berlalu seolah menyisakan luka yang semakin dalam.

Kehidupan mereka kini terbelah menjadi dua dunia yang berbeda. Dunia yang dulu penuh harapan dan kebersamaan, dan dunia yang kini dipenuhi dengan rasa sakit, kepedihan, dan penyesalan. Karuna menggenggam pena dengan tangan yang gemetar. Ia tahu, langkah ini adalah pilihan terakhirnya—talak, yang harus diambil untuk bisa melanjutkan hidup. Tapi, kenapa semuanya terasa begitu kosong?

Pikirannya kembali terbayang pada malam terakhir pertemuan mereka. Damian yang begitu tegas dan dingin, seperti seseorang yang telah mati rasa terhadap semuanya. Meskipun ia berjanji untuk tetap memberikan nafkah untuk Ethan dan dirinya, tapi semuanya terasa begitu berat. Uang tak akan bisa menggantikan kehilangan yang dirasakannya.

Karuna menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri, dan mulai menulis surat itu. Setiap kata yang tertulis di atas kertas terasa seperti beban yang tak bisa ia lepaskan. Tapi ia tahu, ini adalah langkah yang harus diambil. Ia harus mengakhiri semuanya untuk bisa hidup lagi.

Tiba-tiba, pintu rumah terbuka dengan keras, dan suara langkah kaki yang dikenalnya memasuki ruang tamu. Karuna menoleh dengan cepat. Damian berdiri di ambang pintu, mengenakan jaket hitam dan wajah yang tampak lebih lelah dari biasanya.

"Karuna," Damian berkata, suaranya datar dan tidak menunjukkan ekspresi apapun.

Karuna menatapnya dengan mata yang tajam, meskipun hatinya sedang terluka. Ia mencoba menahan amarah yang mulai mendidih. "Kamu datangmau bicarain sesuatu lagi kan? Mau bicara apa lagi sih, Damian? Apa yang masih bisa dibicarain?" jawabnya dengan nada yang keras, meski suaranya serak.

Damian tidak menjawab langsung. Ia melangkah masuk, duduk di kursi yang ada di dekat meja makan, namun tetap menjaga jarak. "Aku tahu ini sulit untuk kamu, Karuna," ujarnya pelan, "tapi aku harus bicara soal beberapa hal."

"Hal apa lagi yang ingin kamu bicarakan? Apakah kamu merasa perlu lagi untuk memberi nasihat atau justru menyakiti aku lebih dalam lagi?" Karuna berkata dengan suara yang semakin tajam, meskipun ia berusaha menahan air mata.

Damian diam, seolah berpikir sejenak. "Aku... aku cuma ingin kamu tahu kalau aku akan tetap membantu kamu dan Ethan," katanya akhirnya, "aku sudah berbicara dengan pengacara tentang hak asuh dan lain-lain. Aku ingin semuanya selesai dengan baik-baik."

"Dan apa yang akan terjadi setelah semuanya selesai?" Karuna menatapnya, bertanya dengan mata penuh kebingungan. "Kamu pergi begitu saja, dan aku yang harus menanggung semua ini sendirian?"

Damian tampak menghela napas, seakan sudah tidak sabar lagi untuk mengungkapkan isi hatinya. "Karuna, aku bukan orang jahat. Aku hanya merasa terjebak. Aku sudah cukup menderita dalam pernikahan ini. Semua yang aku lakukan, aku lakukan untuk diriku sendiri, untuk kebahagiaanku."

"Dan kamu pikir aku tidak merasa terjebak? Kamu pikir aku bahagia dengan kondisi ini?" Karuna tak bisa menahan amarahnya. "Kamu pergi, dan kamu berharap aku bisa bahagia dengan uang yang kamu beri? Uang tidak bisa menggantikan apa-apa, Damian. Tidak ada yang bisa menggantikan kehadiranmu di sini, sebagai suami dan ayah bagi Ethan."

Damian menatapnya dengan tatapan kosong, namun ada sedikit kekasaran yang muncul di wajahnya. "Kamu tidak pandai merawat diri, Karuna," katanya tiba-tiba, memecah keheningan. "Kenapa tidak mulai urus badanmu lagi? Kalau kamu bisa lebih menjaga diri, mungkin aku masih bisa melihatmu seperti dulu. Coba kamu masih kaya dulu, mungkin masih ada yang bisa kepertahankan."

Karuna terdiam sejenak, terkejut dengan kata-kata Damian. Ada rasa sakit yang menyayat di hatinya, lebih dalam dari yang ia bayangkan. "Jadi, ini masalah fisik ku yang kamu permasalahkan? Aku harus mulai merawat tubuhku untuk kamu? Setelah semuanya yang kamu lakukan padaku, ini yang kamu pedulikan?" suaranya bergetar, namun ia mencoba tetap tegar.

"Jangan buat ini lebih sulit dari yang sudah ada," Damian menjawab, lebih keras. "Aku sudah memberi kamu uang untuk biaya hidup kalian berdua. Cobalah untuk menghargainya. Aku bekerja keras, dan aku memberikan gajiku untuk rumah tangga kita, tapi sepertinya itu tidak cukup buatmu."

Karuna merasa tubuhnya kaku, hatinya nyaris berhenti berdetak. "Jadi itu yang kamu pikirkan? Setelah bertahun-tahun kita hidup bersama, kamu merasa hanya dengan memberi 30% dari gajimu sudah cukup? Dan kamu masih punya keberanian untuk mengkritik tubuhku?" Karuna berdiri, berjalan menjauh dari meja makan, merasa semua yang terjadi semakin menyesakkan.

Damian tampak seperti tidak peduli, menatapnya dengan dingin. "Kamu perlu mengerti, Karuna. Kamu terlalu banyak menghabiskan waktumu untuk hal-hal yang tidak penting."

Karuna merasa seolah dunia runtuh di sekitarnya. Uang, kritik, dan kebohongan yang sudah menumpuk begitu lama, kini menyeretnya ke dalam jurang yang tak terlihat ujungnya. "Aku tidak butuh uangmu, Damian," katanya menekan setiap kata yang ia ucapkan. "Aku tidak butuh apapun darimu lagi. Kamu yang memilih untuk pergi, kamu yang memilih kebohongan itu, dan kamu yang memilih untuk mengakhiri semua ini. Jangan pernah datang lagi untuk memberi aku nasihat ataupun uang."

Damian terdiam, kemudian berdiri dari kursinya, berjalan ke arah pintu tanpa berkata-kata. Sebelum keluar, ia menoleh sekali lagi, menatap Karuna dengan mata yang penuh kebekuan. "Jangan menyesal nanti," katanya pelan, kemudian menutup pintu dengan keras.

Karuna terdiam di tengah ruang makan, tubuhnya gemetar. Kata-kata Damian terus berputar di kepalanya. Ia merasa seperti kehilangan semuanya, bahkan dirinya sendiri. Namun, ia tahu, tidak ada lagi jalan mundur. Ia telah membuat pilihannya. Meski hatinya hancur, ia tahu bahwa itu adalah keputusan yang paling tepat—untuk dirinya, untuk Ethan, dan untuk masa depan mereka.

Pagi yang cerah itu terasa berat bagi Karuna. Setelah meninggalkan surat cerai di meja makan semalam, ia memutuskan untuk segera pergi ke kantor pengacara. Dengan hati yang tak menentu, ia menatap Ethan yang sedang sarapan, wajah anaknya yang masih polos dan penuh tanya. Mungkin ia belum sepenuhnya mengerti apa yang terjadi, tapi Karuna tahu bahwa Ethan merasakan ketegangan di rumah ini.

Karuna mencoba untuk tersenyum padanya, meskipun senyum itu terasa seperti sebuah kebohongan. "Mama akan pergi sebentar, ya. Kamu tetap di rumah bersama Bibi," katanya lembut, mencoba meyakinkan anaknya, meskipun ia sendiri merasa terpuruk. Ethan mengangguk dengan wajah bingung, seperti biasanya. Ia tidak tahu betapa besar beban yang sedang ditanggung oleh ibunya.

Sesampainya di kantor pengacara, Karuna duduk di ruang tunggu yang sepi. Pikiran dan perasaan berkecamuk dalam dirinya, semuanya terasa seperti kabut yang gelap. Ia memandangi jam di dinding yang berdetak perlahan, setiap detik terasa begitu berat. Sungguh, ia tak pernah membayangkan akan sampai pada titik ini. Pernikahannya yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi keretakan yang tak bisa lagi dipulihkan.

Tak lama, pintu ruang pengacara terbuka. Seorang pria paruh baya dengan setelan jas rapi keluar, menyapa Karuna dengan senyum yang tidak sepenuhnya tulus. "Karuna? Silakan masuk, kami sudah siap untuk membahas surat cerai anda."

Karuna mengangguk dan masuk ke dalam ruang pertemuan. Di sana, pengacara itu sudah mempersiapkan beberapa dokumen, dan Karuna duduk di hadapannya dengan perasaan yang teramat berat. Ia menatap kertas-kertas itu sejenak, namun tak bisa menghilangkan bayangan Damian yang masih menghantui pikirannya.

Pengacara itu memulai percakapan. "Kami sudah memeriksa dokumen pernikahan anda, dan seperti yang sudah anda diskusikan sebelumnya, kami akan memulai proses perceraian. Tentunya, kami juga perlu membahas mengenai hak asuh anak dan pembagian harta bersama."

Karuna mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. Semua kata-kata itu terasa seperti sebuah rutinitas yang tak bisa dihindari. Pengacara itu melanjutkan pembicaraan tentang langkah-langkah yang akan dilakukan, namun Karuna tidak bisa sepenuhnya fokus. Sebuah pertanyaan terus berputar di kepalanya: Apakah ini benar-benar jalan yang harus diambil?

Setelah percakapan panjang yang seolah tak ada ujungnya, Karuna keluar dari kantor pengacara dengan langkah yang berat. Ia merasa seperti seorang pejuang yang baru saja kehilangan arah, tak tahu lagi kemana harus melangkah. Ia tahu perceraian ini adalah yang terbaik, tapi mengapa rasa sakit ini begitu mendalam?

Di jalan pulang, telepon Karuna berdering. Itu adalah panggilan dari nomor yang sudah sangat dikenalnya—nomor Damian. Dengan tangan yang gemetar, ia menjawabnya.

"Damian, kita sudah bicara cukup banyak," jawab Karuna, mencoba untuk tetap tenang. "Kamu sudah membuat keputusanmu. Aku juga sudah membuat keputusan. Aku tidak ingin ada lagi pembicaraan yang sia-sia."

Damian terdiam sejenak, lalu kembali berbicara, kali ini dengan nada yang lebih keras. "Kamu pikir ini mudah buat aku, Karuna? Aku sudah berusaha untuk memberikan yang terbaik, tapi kamu terus menuntut lebih! Bahkan aku yang berusaha memberi uang untuk kalian berdua, kamu masih merasa kurang. Apa yang sebenarnya kamu inginkan?"

Karuna terdiam sejenak, napasnya terasa sesak. "Apa yang aku inginkan, Damian?" suaranya mulai bergetar, namun ia berusaha menahan tangis. "Aku hanya ingin kamu ada di sini. Aku ingin kita hidup sebagai keluarga, bukan seperti ini. Tapi kamu... kamu memilih untuk pergi. Kamu memilih untuk menghancurkan semuanya. Dan setelah itu, kamu merasa berhak memberi aku uang dan kritik tentang tubuhku. Itu yang kamu pikirkan? Itu yang kamu anggap sebagai bentuk perhatian?"

Damian tidak menjawab langsung. Suara diam yang lama itu semakin membuat Karuna merasa hancur. Namun akhirnya, Damian berbicara dengan nada yang lebih lembut. "Aku tidak bisa kembali, Karuna. Aku sudah terlalu jauh terperangkap dalam kebohongan ini. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu..... aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku tidak bermaksud menyakitimu."

"Kalau kamu tidak bermaksud menyakitiku, Damian. Kenapa tidak berbicara dengan jujur sejak awal?" Karuna berkata dengan suara yang keras. "Kenapa harus ada wanita itu? Kenapa harus ada kebohongan yang membebani kita berdua?"

"Karuna," suara Damian kali ini terdengar lebih rendah, "aku sudah membuat pilihan. Aku tahu ini menyakitkan, tapi ini yang terbaik. Untuk kamu, untuk aku, dan untuk Ethan."

Karuna menutup matanya, menahan air mata yang ingin tumpah. "Damian, tidak ada yang terbaik dalam ini. Semua sudah hancur. Dan aku tidak ingin kamu kembali lagi hanya untuk memberiku alasan-alasan omong kosong. Tidak ada yang akan bisa memperbaiki apa yang telah kamu rusak."

Damian terdiam di ujung telepon. Setelah beberapa detik yang terasa sangat lama, ia akhirnya menghela napas dan berkata pelan, "Baiklah, Karuna. Aku akan pergi. Aku akan tetap bertanggung jawab untuk Ethan, tapi aku tidak bisa lebih dari itu."

Karuna menutup telepon dengan perasaan kosong. Semua kata-kata Damian seolah melayang jauh, tak ada yang bisa menyentuh hatinya lagi. Ia tahu, ini adalah akhir dari semuanya. Tapi rasa sakit yang ditinggalkan lebih dari sekadar perpisahan. Itu adalah perasaan hampa yang sulit dijelaskan.

Malam itu, setelah makan malam sederhana bersama Ethan, Karuna duduk di ruang tamu dengan pikiran yang penuh. Ethan yang telah tertidur di sofa, terlihat begitu damai, seolah tak ada yang salah dengan dunia. Karuna menatap wajah anaknya, dan dalam diam ia berjanji pada dirinya sendiri. Ia akan kuat untuk Ethan. Ia akan menjadi orang tua yang cukup untuk anaknya, meskipun hatinya hancur.

Ketika malam semakin larut, Karuna membuka dokumen cerai yang masih ada di mejanya. Dengan tangan yang gemetar, ia menandatangani surat itu. Setiap garis tanda tangan yang ditorehkan di atas kertas terasa seperti luka baru yang harus ia hadapi. Namun, meskipun perasaannya sakit, ia tahu ini adalah langkah yang harus ia ambil untuk bisa menemukan kebebasan kembali. Kebebasan dari kebohongan dan pengkhianatan yang telah menjerat hidupnya.

Tapi perjalanan mereka belum berakhir. Karuna tahu, meskipun semuanya telah berakhir dengan Damian, perjuangannya baru saja dimulai. Untuk dirinya, untuk Ethan, dan untuk kehidupan baru yang harus ia bangun dari puing-puing yang tertinggal.

1
Kei Kurono
merasa terhubung dengan tokoh-tokoh dalam cerita.
Alhida
Terpesona☺️
Alucard
Nggak sabar nunggu kelanjutannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!