Jingga lelah dengan kehidupan rumah tangganya, apalagi sejak mantan dari suaminya kembali.
Ia memilih untuk tidak berjuang dan berusaha mencari kebahagiaannya sendiri. dan kehadiran seorang Pria sederhana semakin membulatkan tekadnya, jika bahagianya mungkin bukan lagi pada sang suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deodoran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
"Mami....Papi......" Sapa Jingga saat melihat Danish yang duduk diruang kerjanya tengah melakukan panggilan Video ke Swiss.
Jingga datang dengan segelas teh hangat yang ia letakkan diatas meja kerja Danish.
Sudah lama sekali ia tidak bersua dengan kedua mertuanya yang baik hati itu.
Nenek dari pihak Ibu mertuanya memang berdarah Swiss maka dari itu keluarga besar ibu Danish mayoritas tinggal dinegeri tersebut.
Beberapa bulan yang lalu Sang mertua perempuan terserang penyakit Stroke ringan sebagian tubuhnya tak bisa digerakkan lagi,untungnya ia masih bisa berbicara. Maka dari itu mereka memutuskan untuk tinggal disana demi kenyamanan dan kesembuhan Ibu Danish.
"Jingga! Mami beberapa kali menelponmu tapi kau tak pernah aktif." kesal Gisella wanita paruh baya berdarah campuran Indonesia swiss itu. Ia terlihat duduk di atas kursi roda dengan sang suami yang begitu setia dibelakangnya.
"Maaf....mami, itu karena Jingga jarang terhubung lagi dengan Jaringan." Jelas Jingga dengan raut wajah bersalahnya. Ia kemudian merampas Ponsel Danish dan membawanya keluar ruangan. Jingga meladeni kedua mertuanya berbicara selama hampir Satu Jam.
"Apa yang dikatan Mami? mengapa Panggilannya dimatikan padahal aku juga Rindu dengan mereka." ujar Danish Datar seraya mengambil ponsel dengan layar mati yang disodorkan Jingga
"Mami mau istirahat, katanya salam aja sama Abang, Papi juga berpesan terus berusaha untuk memperbaiki penjualan Produk perusahaan."
"Hanya itu pesan untukku?"
"Hemm, satu lagi Katanya mami masih menunggu kabar baik dari kita." Jingga tersenyum pahit. Ia teringat Danish yang ngotot untuk menunda memiliki momongan dengan alasan ia belus siap jadi ayah dan Jingga yang terlalu muda.
Jingga mengusap perut ratanya, ia masih berharap benih sang suami tumbuh dirahimnya setelah melepas alat kontrasepsinya dua bulan yang lalu.Namun iya tak lagu peduli apakah kelak kehadiran anak membuat Danish bertahan disisinya ataukah pergi meninggalkannya.
Bahagiaku!
Bahagiaku!
Hanya itu yang Jingga kejar sekarang, bukan lagi bahagia bersama Danish dan anak mereka.
"Kau....sudah siap?" Tanya Danish ragu.
Jingga menggeleng, "aku selalu siap bang. Abang lah yang sebenarnya tak pernah siap." jawab Jingga kemudian tersenyum getir.
"Kalau begitu......." Danish tak jadi melanjutkan perkataannya karena ponsel ditangannya tiba tiba bergetar. Sebuah panggilan suara yang berasal dari Alea.
"Jawablah Bang, mungkin mbak Alea butuh bantuan Abang." Jingga menyahut melihat salah tingkah Danish yang ragu menjawab panggilannya.
Jangan tanya bagaimana perasaan Jingga. Hatinya yang terluka bagai diremas dengan garam dan perasan jeruk nipis.
Sakit sekali!
Namun saat hendak berbalik Danish menahan pergelangan tangan istrinya.
"Iya....aku sudah tau lea."
"Aku tetap ikut...."
"Sudah dulu, aku sibuk sampai jumpa di Villa."
Danish terlihat buru buru mematikan ponselnya.
"Acara Reuni berpindah di Villa, akan ada pesta barbeque disana malam ini, kau mau ikut? Jam satu siang kita berangkat." Kali ini Danish tidak main main dengan ajakannya, ia sangat berharap Jingga bergabung dengan teman temannya tak peduli disana ada Alea atau tidak.
"Maaf Bang....aku juga punya Acara.Rencananya siang nanti aku mau ke Perkebunan." ucap Jingga yakin! padahal sebelumya sama sekali tak ada rencana kesana, jawaban itu hanya sebuah spontanitas.
"Sama siapa?" Sorot mata Danish begitu tajam.
"Sendiri!" Jingga melepas genggaman Danish, yang ia butuhkan sekarang adalah menangis didalam kamar mandi sambil menjalankan Air di shower.
.
.
.
Ayah Jingga adalah salah satu penanam modal di perusahan Danish. Puluhan hektar tanah perkebunannya digunakan Perusahaan untuk menanam Tanaman Teh yang menjadi bahan utama salah satu minuman kemasan, produk Danish. Karena itulah selain Nafkah dari Danish, direkening Jingga juga mengalir sedikit keuntungan perusahaan untuk dirinya.
Jingga keluar sebelum Danish, ia bahkan tidak berpamitan pada Danish yang masih bersiap dikamar mandi.
"Mobil istriku kemana?" tanya Danish melihat digarasi tak ada mobil Sang istri. Sementara supir pribadinya masih disana membersihkan mobil mobil yang lainnya.
Danish sudah begitu rapi dan wangi bersiap untuk pergi kepuncak merayakan Reuni bersama teman teman sekolahnya dulu.
"Ibuk Keluar pak katanya mau keperkebunan." jawab sang supir hati hati. Ia benar benar takut kena marah padahal tadi sudah menawarkan diri untuk menyupiri Jingga.namun majikan perempuannya itu menolak.
Padahal biasanya Jingga tak pernah pergi sendiri jika ke perkebunan, ia pasti membawa Art dan supir.
Jika Masih area dekat Jingga memang dibebaskan membawa kendaraan sendiri namun perkara keluar kota Danish sudah mewanti wanti Jingga harus disupiri, apalagi Ini Jingga akan melakukan perjalanan lintas Provinsi tepatnya di Jawa Barat.
"Apa!! Dan kau membiarkannya menyetir sendiri?" bentak Danish. Ia meremas rambutnya yang tadi sudah rapi dengan pomade. Kini kembali terlihat berantakan.
"Sial!"
"Sial!"
Danish masuk kedalam mobil sportnya dengan perasaan marah, ia marah kepada sang Supir dan Jingga. Namun didalam hati kecilnya kemaran terbesar Danish sebenarnya ditujukan untuk dirinya sendiri.
Danish memutar kemudi menuju Perkebunan namun urung ia lakukan karena lagi lagi panggilan Dari Alea menghentikan niatnya.
Danish menjawab sebentar panggilan teleponnya lalu kembali mengemudi menuju villa.
ia berfikir akan bergabung sebentar dengan teman temannya kemudian menyusul sang Istri.
.
.
.
"Dari mana kau tahu aku ada disini?" Jingga yang tengah duduk ditengah teriknya matahari heran dengan dengan kedatangan Koa.
Hari ini penampilan Koa adalah yang tersantai yang pernah ia lihat. Pria itu hanya mengenakan celana pendek cargo berwarna hitam dipadukan kaos dengan warna senada. Tak ada ransel berisi peralatan lukis maupun topi yang melekat ditubuhnya.
Kaca mata hitam menjadi satu satunya aksesoris yang melekat pada Wajah Koa.
"Sepertinya kita memiliki ikatan batin." Jawab Koa. kemudian duduk disamping wanita dengan mata sembap itu.
"Hari ini aku tidak melukis...."lanjut Koa memberitahu.
"Kenapa?" Jingga mengerutkan Alis.
"Ingin berlibur!"
"Sepertinya kita benar benar memiliki ikatan batin," Jingga tersenyum dengan mata merahnya. Moodnya benar benar begitu cepat berubah.
"Mau ke Perkebunan bersamaku?" Ajak Jingga dengan semangat namun itu tak berlangsung lama karena Koa malah menggelengkan kepalanya.
"Kita ketempatku saja." kini giliran Koa yang mengajak Jingga dan tanpa fikir panjang wanita itu segera menarik tasnya lalu berdiri.
"Ayooook!!!"Seru Jingga bahagia. Padahal belum mengatakan akan pergi kemana.
"Kita naik motor, Mobilmu tinggal saja disini. nanti malam kita ambil lagi." usul Koa saat Jingga hendak berjalan menuju HRV nya. Dan lagi lagi Jingga tak menolak ia malah berlari lari kecil menuju motor matic Koa persis seperti anak umur belasan tahun. Koa dibuat terus tersenyum melihat tingkah wanita bersuami itu.
Pandangan Jingga begitu dalam kepada pria yang kini memakaikannya helm. mengapa ia baru sadar jika setiap sikap, perlakuan dan tutur kata Koa benar benar menenangkan untuknya.
Koa adalah pelipur laranya!
Jingga memiliki banyak teman sebenarnya namun tak ada yang sampai pada tahap sahabat sehingga ia tak bisa membagi ceritanya kepada siapapun. Tapi dengan Koa yang baru dikenalnya ia justru begitu terbuka.
"Apa aku tampan?" Koa mengusap lengan Jingga dengan lembut.
"Hemm....kau tampan Koa."
"Kau juga cantik, sayangnya wanita cantik ini istri orang. Ayok...keburu sore."
Jingga tak banyak bertanya ia membiarkan Koa membawanya kemana saja.
Jingga melingkarkan kedua tangannya begitu erat dipinggang Koa seakan enggan untuk melepasnya, posisi wajahnya yang beradu dengan punggung bidang Koa terasa sangat menenangkan.
pria itu lantas mengelus genggaman tangan Jingga diperutnya.
"Menangislah....." Koa seakan tahu apa yang ada difirkan Jingga.
Jingga menggeleng, namun gerak tubuh dan perasaannya seakan tak sejalan. Ia enggan menangis tapi mata sialannya justru mulai berembun dan mengeluarkan air mata yang begitu banyak.
"Manusia yang bahagia bukan berarti tidak menangis Jingga....." Saat Koa mengucapkannya suara Jingga semakin sesegukan. Ia benci karena terus mengatakan akan bahagia tapi nyatanya malah terasa begitu sakit.
Sakit sekali sampai Jingga merasa rasa perih ini tak akan pernah ada obatnya. Mungkin nanti akan sembuh tapi bekasnya akan selalu ada.
Sedikitpun Jingga enggan melepas Koa sampai akhirnya motor matic itu memasuki tiba disebuah jalanan sepi berbatu dimana hanya terdapat sedikit rumah disisi kiri dan kanannya.
"Ini dimana?" saking menikmatinya Jingga tidak sadar ia sudah naik motor selama hampir dua jam. Matahari pun perlahan meredup, dari sela sela pepohonan besar ia bisa melihat semburat jingga raksasa disana.
"Apa ini masih di Jakarta?" Jingga bertanya lagi karena Koa mengabaikan pertanyaan pertamanya.
"Hemm....ini masih Jakarta."
Motor mereka melewati sebuah surau yang nampak Ramai, Jingga kemudian mencubit pelan pinggang Koa sebagai isyarat jika mereka seharusnya singgah namun Koa melewatinya begitu saja.
"Nanti saja, sang Jingga keburu tenggelam..."
Tak lama kemudian mereka tiba disebuah pantai yang sedikiti tersembunyi, ada sebuah dipan beratap rumbia dibawah pohon kelapa. Koa tak pernah melepas genggaman tangannya pada Jingga, dengan sabar ia menuntun Jingga melewati jalan yang sedikit berbatu sambil terus menjaga keseimbangan agar wanita yang nampak rapuh itu tidak terjatuh.
"Koa ini indah sekali." Jingga menggigit bibirnya kuat, menahan isak tangis agar tak lolos keluar.
"Semuanya sama. Sang Jingga yang setiap hari kita lihat, dan sang Jingga yang ada disini tak ada bedanya. Bahkan jika harus keujung duniapun dia tak akan pernah berbeda, yang berbeda hanya sudut pandang kita."
"Sepertinya aku harus bergeser jauh dari pijakanku kini, untuk menatap sesuatu yang lebih indah lagi." Jingga berujar penuh makna dan hanya dirinya yang paham. Ia kemudian menoleh pada Koa.
"Koa," panggil Jingga lembut, keduanya saling bertukar pandangan dengan sorot netra yang memancarkan luka dan binar kebahagiaan secara bersamaan.
"Temani aku hingga akhir.....mungkin pijakanku kini begitu kuat namun aku akan berusaha bahkan jika harus melepas satu satunya alas kaki yang kupunya, maukah kau mengulurkan tanganmu saat itu?" Air mata begitu indah mengalir di kedua pipi Jingga, hingga membuat Koa dengan berani mengusapnya dan mengecup sepasang netra indah itu.
"Bahkan jika aku harus menggendongmu karena kau tak kuat berlari dari sana akan kulakukan! Jika ada yang mematahkan kakiku ditengah jalan pun tetap akan kulakukan! Aku akan menemanimu hingga akhir. Sampai kau bisa berteriak pada Semesta jika Kau sudah bahagia seutuhnya!" Jawab Koa tegas.
Bagaimana hati Jingga tidak menghangat mendengar tutur kata Koa. Ia tak tahu hubungan semacam apa yang mereka jalani, yang jelas Jingga tak bisa menemukan rasa aman dari siapapun sekarang selain dari Pria yang kini ia peluk erat itu.
"Kau janji Koa.....aku sama sekali tak memiliki seseorang disisiku Kini." Jingga menangis pilu, suaranya terdengar terputus putus.
"Hemm aku berjanji akan selalu ada untukmu sampai kau yang memintaku pergi."
Jingga menggeleng lemah, " Tidak akan....tidak akan Koa."
semoga ada karya baru yg seindahhh ini... aamiin
semua karya author yg pernah aku baca keren semua... 👍👍👍
(sedih banyak penulis yang keren yang gak lanjut disini)
But , sedih banget pas baca kalau kemungkinan novel ini menjadi novel terakhir kakak di Noveltoon 😭
Kakak mau pindah kemana?