Di sebuah taman kecil di sudut kota, Sierra dan Arka pertama kali bertemu. Dari obrolan sederhana, tumbuhlah persahabatan yang hangat. Setiap momen di taman itu menjadi kenangan, mempererat hubungan mereka seiring waktu berjalan. Namun, saat mereka beranjak remaja, Sierra mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan cemburu tak terduga muncul setiap kali Arka terlihat akrab dengan gadis lain. Akankah persahabatan mereka tetap utuh, ataukah perasaan yang tumbuh diam-diam akan mengubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winsmoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Setelah sesi foto-foto dengan peserta workshop selesai, Siera akhirnya bisa bernapas lega. Matanya menyapu area café kecil yang ia kelola. Beberapa peserta workshop masih terlihat duduk santai di sudut ruangan, menikmati minuman dan obrolan ringan.
Siera melangkah cepat ke arah sudut café, tempat Arka menunggu. Lelaki itu masih setia duduk di sana, bersandar santai pada kursinya dengan satu tangan menopang dagu. Ponselnya tergeletak di meja, dan pandangannya tertuju keluar jendela.
“Sorry, Ka. Lo jadi nungguin gue,” ucap Siera dengan nada penuh rasa bersalah. Ia menunduk, jemarinya sibuk merapikan rambut yang sedikit berantakan akibat berlari ke sana kemari sepanjang acara.
Arka menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. Senyum itu, tenang, hangat, dan selalu berhasil membuat Siera merasa sedikit lebih ringan. “Nggak masalah kok, Sie. Aku yang mau nunggu, dan aku suka. Lagipula, ini weekend. Nggak ada yang perlu dikejar.”
“Tapi lo jadi nunggu berjam-jam, Ka.” Siera melirik jam tangannya, rasa bersalah menyelinap lagi.
Arka menghela napas ringan, senyumnya masih terukir. Sambil menggoyangkan kakinya perlahan, ia bergumam, “Sepuluh tahun pun aku sanggup nungguin kamu.”
Siera langsung mendongak, alisnya berkerut. “Apa, Ka? Barusan lo ngomong apa?”
“Nggak, Sie,” jawab Arka sambil terkekeh kecil, mencoba mengalihkan. “Aku beneran nggak masalah kok harus nungguin kamu.”
Ia berdiri perlahan dan merapikan jaketnya. “Jadi, mau langsung jalan sekarang?”
Siera menggeleng pelan, matanya mengarah ke dalam café. “Kayaknya nggak bisa, Ka. Gue harus balik ke studio dulu. Barang-barang masih berantakan banget.”
“Kalau gitu, biar aku bantu,” ucap Arka tanpa ragu.
“Eh, nggak usah, Ka. Ada kok yang lain buat bantu,” Siera mencoba menolak halus, tapi sorot mata Arka langsung menghentikan kata-katanya.
Arka menunjuk ke arah Diki dan Tiwi, yang tampak sibuk melayani pelanggan. “Yang lain siapa? Lihat deh. Pegawai kamu aja masih kewalahan. Mereka bahkan nggak sempat istirahat.”
Siera menoleh, mengikuti arah tangan Arka. Benar juga, Diki dan Tiwi terlihat lelah, namun tetap melayani dengan senyum yang dipaksakan. Beberapa peserta workshop masih tampak menikmati obrolan di meja mereka.
“Udah, nggak papa. Biar aku bantu,” ujar Arka sambil melangkah lebih dulu menuju studio.
Siera hanya bisa menghela napas, akhirnya mengikuti di belakangnya. Matahari sore mulai condong ke barat, memberikan semburat keemasan pada kaca jendela café. Langkah kaki mereka terdengar pelan di lantai keramik.
“Ka, gue ngerepotin banget, nggak sih? Harusnya gue nambah pegawai lagi kali, ya,” gumam Siera pelan, lebih pada dirinya sendiri.
“Kamu nggak ngerepotin sama sekali, Sie,” jawab Arka tegas, namun suaranya tetap lembut. Ia berhenti sejenak, menoleh ke arahnya. “Kalau menurut kamu perlu tambah pegawai, nggak masalah. Tapi saran aku, pilih yang lebih selektif. Biar tim kamu makin solid.”
Siera menatap punggung Arka yang kini kembali melangkah ke arah studio. Senyumnya muncul tanpa sadar, kecil namun tulus. “Thanks, Ka,” gumamnya pelan, kali ini cukup untuk dirinya dengar.
***
Arka membuka pintu restoran dengan sopan, mempersilakan Siera masuk lebih dulu. Restoran itu tidak terlalu besar, tapi nyaman dengan pencahayaan hangat dan dekorasi minimalis. Aroma rempah dan masakan khas Nusantara segera memenuhi udara, membuat perut Siera yang sejak tadi kosong mulai meronta.
“Jadi, ke sini kamu mau ngajakin aku?” tanya Siera, nada suaranya sedikit penasaran. Matanya menyapu ruangan, mencoba menebak alasan Arka memilih tempat ini.
“Iya, kamu pikir kita mau ke mana?” balas Arka dengan nada usil, sebuah senyuman kecil tersungging di wajahnya.
“Isshh… Ya nggak mikir mau ke mana-mana sih,” jawab Siera dengan nada setengah kesal, meski ada rasa malu yang ia sembunyikan. Entah apa yang sebenarnya ia harapkan. Di kepalanya tadi sempat terlintas bayangan tempat yang lebih spesial, lebih istimewa.
Arka tertawa pelan, senyum usilnya berubah menjadi tawa ringan yang sukses membuat Siera semakin salah tingkah.
“Ya sudah, yuk duduk dulu. Sekalian ada yang mau aku obrolin juga,” kata Arka sambil mempersilakannya duduk di salah satu meja dekat jendela.
Setelah memesan makanan, suasana di meja mereka terasa hening sejenak. Siera menyesap segelas lemon tea yang baru saja diantarkan pelayan, mencoba mengalihkan rasa gugup yang entah kenapa muncul tiba-tiba.
“Sie…” Arka akhirnya membuka suara. Nada suaranya lembut, tapi jelas mengisyaratkan bahwa ini bukan obrolan biasa.
Siera langsung menegakkan punggungnya, jantungnya berdegup lebih cepat. “Hmm?” gumamnya pelan, memilih untuk tidak memotong ucapan Arka.
Arka menatapnya serius, matanya seolah ingin meyakinkan Siera bahwa apa yang akan dia sampaikan ini penting. “Orang yang kamu cari… sudah aku temukan lokasinya.”
Mata Siera membulat. “Maksud lo, anak part-time di studio?”
“Iya, Sie,” jawab Arka singkat, tapi cukup untuk membuat Siera terkejut..
“Dia di mana sekarang, Ka?” Suara Siera sedikit gemetar, campuran antara rasa lega dan penasaran yang membuncah.
Arka menghela napas pelan, menatapnya dengan ekspresi penuh pertimbangan. “Sayangnya, lokasinya cukup jauh. Lokasi terakhirnya ada di Lampung.”
Siera terdiam, mencoba mencerna informasi itu. Sejenak, perasaan lega sempat menyelimuti hatinya karena akhirnya ada kabar tentang Chika. Namun, rasa itu segera tergantikan oleh kekecewaan. Ia menghela napas panjang, menatap Arka dengan sorot mata lelah. “Lampung? Seriusan, Ka?”
“Iya, Sie,” jawab Arka pelan. Nada suaranya tetap tenang. “Makanya aku pikir ini harus kamu pertimbangkan. Kamu nggak mungkin ke sana cuma untuk nemuin dia, kan.”
Siera menunduk, matanya tertuju pada meja kayu yang tergores sedikit di ujungnya. Pikirannya melayang jauh. Ia tahu Arka benar. Melakukan perjalanan sejauh itu hanya untuk mencari Chika, yang bahkan mungkin tidak ingin ditemukan, terasa tidak masuk akal. Tapi di sisi lain, rasa penasaran terus mengganggu hatinya.
“Gue masih kecewa sih,” gumam Siera akhirnya, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Aku ngerti, Sie,” ujar Arka sambil mencondongkan tubuhnya sedikit, matanya penuh perhatian. “Tapi ada cara lain biar kamu ngobrol sama dia. Orang suruhan aku masih nyari kontak terbarunya. Kalau udah ketemu, aku langsung kasih tahu kamu, oke?”
Siera menggigit bibirnya pelan, hatinya bergejolak. Namun, ia tahu tidak ada gunanya terus memaksakan hal ini. Dengan berat hati, ia mengangguk kecil. “Hmm... kalau dipikir-pikir, nggak usah deh, Ka,” katanya lirih. “Barang yang dia ambil memang lumayan nilainya, tapi kalau dia sampai pergi sejauh itu... yaudahlah. Udah aku ikhlasin juga kok.”
Arka menatapnya dengan raut wajah penuh pengertian. Ia tahu ini bukan keputusan yang mudah untuk Siera, tapi juga tahu bahwa melepaskan adalah pilihan terbaik untuk saat ini.
“Kalau itu keputusan kamu, aku dukung, Sie,” katanya sambil tersenyum tipis. “Tapi ingat, kalau kamu berubah pikiran atau butuh bantuan lagi, aku selalu ada, ya.”
Pernyataan itu membuat Siera menoleh, tatapannya melunak. Ada rasa hangat di dadanya yang perlahan menggantikan kekecewaan.
walah sipa yah...